Kisah Romo Marsel Perjuangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air di NTT

28 September 2018 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pejuang Air ADES dari NTT, Romo Marsel di Bea Muring, Manggarai Timur, NTT. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pejuang Air ADES dari NTT, Romo Marsel di Bea Muring, Manggarai Timur, NTT. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sekitar 6 tahun lalu, listrik menjadi hal yang mewah bagi masyarakat Bea Muring, Manggarai Timur, NTT. Hal itulah yang dirasakan oleh Romo Marsel saat pertama kali ditugaskan menjadi pastor di Paroki Bea Muring pada 2012 lalu.
ADVERTISEMENT
"Saya tiba di tempat ini dengan fasilitas yang sangat minim, terutama di penerangan. Kami manfaatkan generator, ada sekitar 60 generator di sini yang cuma nyala 4 jam saja," ujar Romo Marsel di Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidrolik (PLTMH) Bea Muring, NTT, Kamis (27/9).
Selama satu bulan pertama, ia mengaku harus berkutat dengan generator yang selalu rusak, berisik, dan berpolusi. Belum lagi, bahan bakar untuk generator yang satu hari membutuhkan modal sekitar Rp 30 ribu untuk satu rumah.
"Waktu itu saya tanya ke seorang tenaga teknis yang perbaiki generator, apakah ada air di sini? Mereka jawab ada. Jadi saya punya pemikiran gimana di sini ada listrik tenaga air," jelasnya.
Sobat Air ADES belajar konservasi air untuk pertanian di Bea Muring bersama Romo Marsel, Manggarai Timur, NTT. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sobat Air ADES belajar konservasi air untuk pertanian di Bea Muring bersama Romo Marsel, Manggarai Timur, NTT. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
Marsel bercerita, ia mulai sering ke Ruteng yang jaraknya sekitar 3 jam perjalanan untuk mencari sinyal internet. Selama lima bulan, ia browsing soal PLTMH hingga mendapatkan nomor pengembang listrik tenaga air dari Solo bernama Budi.
ADVERTISEMENT
Setelah terlibat diskusi dengan Budi, akhirnya disepakati bahwa PLTMH bisa dibangun asal dengan swadaya tenaga dan tunai (sumbangan uang) dari masyarakat setempat. Saat mengutarakan ide tersebut, awalnya masih banyak warga yang ragu atau menolak.
"Saya coba yakinkan, kalau misalnya setuju oke. Kalau enggak, maka saya bisa cari orang yang mau jalankan ini, waktu itu kita langsung bentuk panitia," lanjutnya.
Setelah sosialisasi berbulan-bulan, akhirnya terkumpul 280 warga yang bersedia swadaya tenaga dan tunai. Namun, karena sulitnya pembangunan, akhirnya banyak yang mengundurkan diri.
"Akhirnya tersisa 136 orang, setengah lebih. Ada yang tarik diri dari awal, ada yang pertengahan, ada yang di akhir-akhir. Itu tantangannya," jelas Marsel.
Dengan orang-orang yang tersisa, Marsel tetap melanjutkan pembangunan PLTMH. Mereka harus bersabar, berjuang dari pagi hingga petang memecah batu kapur yang mengeras untuk membangun saluran air PLTMH selama 76 hari.
ADVERTISEMENT
"Dalam perjalanan, kami yakin bahwa yang kami bangun ini adalah yang terbaik karena ada banyak nilai yang kami peroleh," jelasnya.
Namun, setelah enam tahun dibangun, lama-lama aliran PLTMH mulai tertimbun pasir. Aliran air yang mengecil, membuat waktu aliran listrik menjadi semakin pendek hingga hanya 2-3 jam di musim kemarau.
Untuk itu, Sobat Air ADES sengaja datang ke lokasi PLTMH. Tak hanya melihat secara langsung proses PLTMH, tetapi juga menanam pohon untuk mengurangi kemungkinan longsoran pasir.
Masing-masing peserta menanam satu bibit pohon, mulai dari nangka hingga kelengkeng. Bibit-bibit tersebut ditanam di sekitar lokasi PLTMH untuk mengurangi potensi tanah longsor ke aliran PLTMH.