Kisah Mereka yang Mengabdikan Diri di Hutan Leuser

3 Desember 2018 14:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pengabdi Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Para pengabdi Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pagi masih terlalu dini di Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara. Kabut yang menyelimuti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) belum sepenuhnya dilumat mentari. Sekelompok kera saling berkejaran berebut makanan. Terdengar pula suara jangkrik, sahutan kicauan burung, dan gemuruh sungai alas menyatu bak irama simponi.
ADVERTISEMENT
Di sudut stasiun beberapa lelaki masih mengenakan sarung, duduk di atas kursi plastik seraya menikmati kopi dan lepat, kudapan khas tanah Gayo terbuat dari sagu berbungkus daun pisang. Sementara dari arah dapur, dua wanita sibuk mempersiapkan hidangan sarapan pagi.
“Kalau masuk hutan selalu bawa ini untuk mengisi kekosongan perut,” obrolan mereka sambil melihat ke arah ujung pohon menanti munculnya orangutan.
Muhammad Isa, pengabdi Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Isa, pengabdi Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Beberapa lelaki itu bernama Arwin, Marlan, Muhammad Isa, Maskur, dan Matseri. Mereka saban hari bekerja menjaga Stasiun Penelitian Ketambe seluas 450 hektare di dalam Taman Nasional Gunung Leuser. Bagi mereka, berada di sana bukan sebatas mencari rezeki. Namun karena panggilan hati, menjaga hutan demi generasi masa nanti.
Difasilitasi Forum Konservasi Leuser (FKL), penghujung November lalu, kumparan, mendapat kesempatan mengunjungi lokasi Stasiun Penelitian Ketambe ini. Hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser masih begitu asri. Ragam flora dan fauna hidup berdampingan di sana.
ADVERTISEMENT
kumparan juga ikut menyusuri kawasan area penelitian. Berjalan kaki sekitar 2 jam lebih melewati medan terjal hingga mendaki beberapa anak bukit. Pohon besar menjulang tinggi menghiasi perjalanan. Namun, orangutan tak pernah muncul sepanjang perjalanan kami hingga kembali ke kamp stasiun.
Taman Nasional Gunung Leuser telah berdiri sejak tahun 1971. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Taman Nasional Gunung Leuser telah berdiri sejak tahun 1971. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Stasiun Riset Ketambe sebagai laboratorium alam di Taman Nasional Gunung Leuser merupakan stasiun tertua di Indonesia. Berdiri sejak 1971 oleh peneliti berkebangsaan Belanda, Herman D Rijksen yang bekerja untuk Universitas Wageningen, Belanda.
Kini stasiun Ketambe dikelola oleh FKL bersama Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh. Di sanalah Arwin, kepala manager stasiun bersama teman-temannya menghabiskan waktu. Merawat hutan hingga mendampingi para peneliti baik lokal maupun mancanegara.
ADVERTISEMENT
Arwin merupakan putra daerah asli Ketembe. Sejak kecil telah hidup berdampingan dengan alam dan menikmati udara segar Leuser. Pendidikannya hanya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), faktor ekonomi menjadi alasan bagi Arwin tak melanjutkan kuliah. Sejak saat itulah ia mulai aktif di dunia konservasi.
Arwin menceritakan, pertama kali dirinya mulai berteman dengan alam sejak tamat sekolah pada 1997 silam. Sebagai putra daerah, kala itu ia dipercayai sebagai asisten peneliti mendampingi warga berkebangsaan Belanda yang sedang melakukan penelitian tentang kedih (monyet) untuk mengambil gelar doktor.
“Selama empat tahun saya mengikuti dia sebagai asistennya. Masuk jam 3 pulang magrib, itulah awal mula perjalanan saya aktif dikonservasi ini,” ujarnya.
Arwin, Kepala Manager Stasiun Ketambe. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Arwin, Kepala Manager Stasiun Ketambe. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Sejak saat itu, keluar masuk hutan mulai mengisi hari-hari Arwin. Tak hanya mendampingi peneliti, namun juga mengawasi kawasan TNGL. Arwin mengaku sempat nonaktif sejak 2007 hingga 2014 karena terpilih menjadi kepala desa di Ketambe. Namun hatinya tidak tenang, jiwanya sudah menyatu dengan alam.
ADVERTISEMENT
Arwin sempat dicalonkan kembali oleh warga setelah 7 tahun menjabat, namun dirinya menolak dia memilih untuk tetap menjaga hutan saja. Hingga akhirnya bergabung dengan FKL dan dipercayai sebagai kepala manager stasiun.
“Saya sudah lelah tidak sanggup lagi jadi kepala desa. Hati pun enggak tenang, saya lebih nyaman menjaga hutan saja. Sejak saat itu saya ingin tetap konsen menjaga lingkungan saja dan akhirnya bergabung dengan FKL,” katanya.
Muhammad Isa, pengabdi Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Isa, pengabdi Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Sebagai putra daerah asli yang kerap bergaul dengan orang asing jalan-jalan di hutan melihat ragam satwa di dalamnya. Rasa cinta terhadap alam tumbuh semakin besar, bahkan merasa konservasi (menjaga hutan) adalah passion bagi Arwin. Selain sebagai lapangan pekerjaan, juga karena ingin mengabdi menjaga lingkungan.
ADVERTISEMENT
Arwin kini telah berusia 39 tahun. Dia ingin menghabiskan usianya hingga akhir hayat di tanah leuser khususnya di kawasan TNGL. Kecintaannya menjaga hutan telah melekat, Arwin bercita-cita meski kelak telah tiada anak dan cucunya bisa melihat asrinya TNGL mengenal flora, fauna serta menikmati udara segar Leuser.
“Sedih rasanya kalau hutan itu di rusak. Secara pribadi saya akan mengabdikan usia saya menjaga tanah leuser ini sampai saya sanggup. Artinya kalau bisa sampai hayat saya masih setia terhadap leuser. Begitulah kecintaan saya terhadap leuser ini,” ungkapnya.
Begitu juga halnya dengan Muhammad Isa, koordinator riset dan edukasi FKL. Selama 21 tahun telah mengabiskan harinya-harinya di dunia lingkungan. Mendapingi peneliti, melakukan riset hingga membawa siswa dan mahasiswa untuk melakukan penelitian dan belajar tetang alam.
Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Lain Arwin, lain pula cerita Muhammad Isa. Dia mulai aktif berkecimpung di dunia konservasi sejak 1997. Di mana kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa dan sedang magang atau kuliah praktek di Taman Nasional Gunung Leuser. Kemudian melanjutkan penelitian skripsi, menjadi asisten peneliti, hingga didapuk menjadi menager stasiun di tahun 2006 hingga 2011.
ADVERTISEMENT
“Hutan itu adalah sumber kehidupan kita, kalau tidak ada yang mau memperdulikannya saya berfikir siapa lagi yang akan peduli. Di mana air bersih, udara bersih itu berasal dari sana. Semua orang dari eropa ingin meneliti di Leuser. Masak kita orang Aceh tidak mau peduli dengan hutan sendri,” ucapnya.
“Saya akan mengabiskan usia saya di sini sampai tidak sanggup lagi mungkin masuk hutan. Hutan adalah sumber kehidupan manusia. Tanpa udara, tanpa air bagaimana bisa hidup. Maka marilah dijaga sama-sama sumber kehidupan itu. Kita hidup di bumi yang sama, satu sudut rusak maka semua sudut akan merasakan efeknya,” tambah Isa, sambil menyeka peluh diwajahnya.
Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Stasiun Penelitian Ketambe menjadi laboratorium alam yang istemewa. Menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti dalam dan luar negeri, khususnya primata.
ADVERTISEMENT
Selain orangutan Sumatera (Pongo abelii), jenis primata lainnya yang banyak terdapat disana antara adalah kukang sumatera (Nycticebus coucang), monyet ekor panjang, beruk, kedih, sarudung, serta siamang. Ada juga macan dahan dan beruang madu.