Kisah Willem Iskander Membangun Sekolah Guru Terbaik Se-Hindia Belanda

13 Februari 2019 18:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Willem Iskander, guru pribumi di abad 19. Foto: Dok. Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Willem Iskander, guru pribumi di abad 19. Foto: Dok. Kumparan
ADVERTISEMENT
Rasa sakit mengandaskan mimpi Willem Iskander untuk melanjutkan sekolahnya di Belanda. Namun, sakit jugalah yang membuat Willem pulang ke Mandailing untuk membangun kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan 1861, semangat memajukan pendidikan di tanah kelahirannya memasuki tahap baru. Dia membangun Kweekschool (Sekolah Guru) Tano Bato yang cukup sederhana. Bertiang kayu dengan atap rumbia.
Tentunya tidak mudah. Apalagi, hanya sedikit masyarakat yang mau sekolah di sana. Mereka takut jika harus membayar mahal.
Namun, Willem terus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya. Bahkan, dengan metode door to door hingga ke desa terpencil. Hasilnya, kelangkaan murid dapat diatasi. Warga sekitar Panyabungan, bahkan dari wilayah lain di Mandailing, berbondong-bondong untuk menuntut ilmu ke sana.
Sekolah Guru Terbaik Se-Hindia Belanda
Baru satu tahun berdiri, tepatnya September 1863, Gubernur Van den Bosch datang dari Padang untuk menginspeksi sekolah itu. Gubernur Pantai Barat Sumatra ini melaporkan, kunjungannya kepada Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van Belle dalam suratnya, 13 September 1863.
ADVERTISEMENT
Ia menyatakan, kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya dia tulis dengan kata-kata ‘zeer ontwikkeld, hoogst ijverig’ yang artinya sangat cerdik, terpelajar, sangat rajin, dan tekun.
Dari sekolah itulah lahir cendikiawan-cendikiawan muda yang sebagian menjadi guru dan sebagiannya lagi menjadi kepala desa.
“Murid-muridnya tersebar. Bukan hanya di Tapanuli, tetapi juga di Nias, Singkil, Sumatera Barat, dan daerah sekitarnya,” kata Basyral Hamidi Harahap dalam bukunya Peranan Willem Iskander dalam Pembaharuan (1986).
Willem berhasil menjadikan sekolahnya sebagai pusat pertemuan, pembaharuan, serta tempat menyampaikan gagasan-gagasan baru.
“Sekolah Guru Tano Bato tampil sebagai pusat pendidikan dan pelatihan guru yang paling menonjol di seluruh Hindia Belanda,” ujar Basyral.
Dalam tulisan Ardi Ansyah, Willem Iskander, Pelopor Pembaharuan di Mandailing Sumatera Utara (2012) disebutkan, Inspektur Jenderal Pendidikan Bumiputera Mr. J.A. van der Chijs sempat berkunjung ke Kweekschool Tano Bato pada 1866. Dia ingin berdiskusi dengan Willem terkait metode terbaik untuk memajukan pendidikan bumiputera. Willem pun merespons dengan berbagai ide.
ADVERTISEMENT
“Usul-usul itu termasuk peningkatan mutu guru-guru muda dengan cara memberikan beasiswa kepada mereka. November 1869 di Batavia pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengadakan Rapat Dewan (Tweede Khamer) untuk menindaklanjuti usul dari Iskander,” ungkapnya.
Mandailing 1899. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Willem pun mengajukan sejumlah syarat ke pemerintah Hindia-Belanda agar pendidikan guru semakin baik. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan
2. Guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran
3. Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa
Mengajarkan Sastra dan Bahasa
Willem Iskander punya prinsip penting dalam mengajar. Menurut dia, seorang guru harus mampu menyusun atau mengarang buku pelajaran bagi murid-muridnya.
Selain itu, Willem juga mengajarkan Bahasa Belanda di sekolah itu. Bukannya tak nasionalis, hal itu dilakukan demi mengembangkan kemampuan berpikir murid-muridnya akan dunia luar.
ADVERTISEMENT
“Yang menarik adalah pelajaran Bahasa Belanda itu tak hanya diikuti oleh murid-muridnya. Namun, juga penduduk di sekitar sekolah. Yang tersirat di belakang pelajaran Bahasa Belanda adalah agar bahasa penjajah dipahami oleh yang terjajah,” ungkap Basyral.
Tak cuma mengajar, Willem pun pandai menulis prosa. Dia menuliskan gagasan-gagasan pembaharuannya lewat kumpulan prosa dalam ‘Si Bulus-bulus, Si Rumbuk-rumbuk”.
Di sana ia menulis soal banyak hal, mulai keadilan yang hakiki, kekerdilan manusia di hadapan Tuhan, cinta sesama manusia, semangat kebangsaan, serta kritik tajam terhadap golongan feodal.
Berikut salah satu prosa yang ditulis Willem:
Sekolah
Di sana sebuah rumah
Berbangku dan bermeja-meja
Di situ kita duduk
Untuk menuntut ilmu
Segenap anak yang baik budi
ADVERTISEMENT
Hatinya senang di rumah itu
Barulah ilmu kita di situ
Siapa yang mencintai rumah sekolah itu
Dia yang lebih terhormat
Daripada Sutan pencaci itu
Siapa yang rajin sekolah
Cepat ia berilmu
Dia tahu hitungan
Pasti pandai bertutur kata
Buku Peranan Willem Iskander. Foto: Wisnu Prasetyo/kumparan
Selain menulis prosa, Willem juga dikenal sebagai penerjemah yang andal. Dia menerjemahkan karya-karya berbahasa Belanda ke Bahasa Mandailing dan Melayu. Buku terjemahannya yang pertama adalah Si Hendrik Na Denggan Roa, karya aslinya berjudul De Brave karya N. Anslijn Nz. Salah satu buku anak-anak terpopuler di Belanda pada masa itu.
Karya terjemahan lain yang monumental adalah Taringot Di Ragam-Ragam Ni Parbinotoan Dohot Sinaloan Ni Alak Eropa (Beragam Pengetahuan dan Kepandaian Orang Eropa). Karya ini berisi paparan tentang kemajuan teknologi Eropa. Misalnya, informasi seputar surat kabar dan panduan menulis buku.
ADVERTISEMENT
“Hal-hal yang dibahas lainnya antara lain, perkeretaapian, kapal api, penyaluran air minum, astronomi, industri kayu, dan perbankan,” jelas Basyral.
Menikah dan Meninggal di Belanda
Setalah membangun sekolah di Mandailing, Willem kembali berkesempatan melanjutkan pendidikan di Belanda pada 1874, . Dalam koran De Locomotief edisi 31 Juli 1876 yang terbit di Semarang, disebutkan bahwa beasiswa itu didapatkan Willem untuk naik ke tingkat jabatan Guru Kepala atau Hoofdonderwijzer.
Dia diwajibkan membawa delapan orang guru muda dari Hindia-Belanda. Masing-masing dua orangi dari Manado, Mandailing, Sunda, dan Jawa. Namun, proyek itu terhitung gagal karena tiga calon guru itu meninggal pada 1875.
“Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal di Amsterdam karena kesehatan mereka menurun disebabkan berbagai hal. Antara lain, rindu tanah air, cuaca buruk yang tidak cocok dengan mereka, dan masalah lain-lain yang menyebabkan mereka bertiga stres berat,” ungkap Ardi Ansyah.
ADVERTISEMENT
Kematian ketiga rekannya membuat Willem begitu terpukul. Ia seringkali terlihat bersedih dan murung.
Oleh karena itu, Asisten Residensi Mandailing-Angkola Alexander Philifus Godon menyarankan agar Willem menikah. Wilem pun mengamini saran tersebut.
Dia menikahi perempuan Belanda, Maria Jacoba Chiristina Winter pada 27 Januari 1876 di Burgerlijke Stand van Amsterdam. Namun, pernikahan ternyata tak mampu membuat Willem bahagia. Pertengkaran demi pertengkaran di antara pasangan baru itu terjadi hampir tiap hari.
Akhirnya, setelah 103 hari bersama, mereka bercerai. Willem pun semakin banyak pikiran sehingga sakitnya semakin menjadi-jadi.
Hingga ia akhirnya meninggal dunia pada 8 Mei 1876 di Amsterdam. Jasad Willem dimakamkan di Zorgvliet begraafplaats, di pinggir kota Amsterdam.
Sepeninggalan Willem Iskander, Sekolah Guru Tanah Bato dipindahkan ke Padang Sidempuan. Sekolah itu berdiri hingga tahun 1884.
Taman pemakaman tempat jasad Wilem Iskandar bersemayam. Foto: Dok. Wikimedia
ADVERTISEMENT