Kisah WNI di Eropa yang Rindu Masakan Rumah

8 Februari 2019 6:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu gerai toko Asia di Eropa yang menjual bahan makanan asal Indonesia Foto: Daniel Chrisendo
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu gerai toko Asia di Eropa yang menjual bahan makanan asal Indonesia Foto: Daniel Chrisendo
ADVERTISEMENT
Bagi yang tumbuh besar dan terbiasa dengan masakan Indonesia, biasanya akan mengalami tantangan ketika harus hidup di luar negeri. Kalau masih di Asia saja mungkin tidak terlalu bermasalah karena kebanyakkan makanan pokok orang Asia adalah nasi. Namun bagaimana rasanya kalau tinggal di Eropa? Untuk beli beras yang bagus saja harganya mahal. Satu kilogram beras dapat mencapai 3 Euro atau 47 ribu Rupiah. Hal tersebut membuat nasi tidak selalu dapat dikonsumsi sehari-hari. Selain nasi, bumbu-bumbu khas yang biasa digunakan juga tidak selalu tersedia. Itulah alasan mengapa pada zaman dahulu bangsa Eropa rela pergi ke seluruh penjuru dunia untuk mencari rempah-rempah, termasuk Indonesia. Karena rempah-rempah adalah barang mewah di benua biru tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk makan di restoran juga bukan menjadi opsi utama. Selain karena tidak semua kota memiliki restoran masakan Indonesia, harga sekali makan di restoran pun cukup mahal. Untuk membeli nasi goreng saja, harganya dapat mencapai 10 Euro satu piringnya atau sekitar 160 ribu Rupiah. Bagaimana dengan pedagang keliling? Jangan ditanya. Tidak perlu berharap akan ada tukang bakso atau tukang ketoprak berkeliling komplek menjajakan jualannya. Mau tidak mau, memasak sendiri adalah pilihan utama jika ingin menyantap masakan Indonesia. Lalu, masakan Indonesia apakah yang paling sering dibuat oleh orang Indonesia di Eropa? Menempati posisi teratas adalah nasi goreng. Nasi goreng sangat mudah dibuat. Bumbu-bumbunya juga mudah ditemukan. Hanya kecap manis saja yang tidak dapat ditemukan di semua toko karena kecap yang paling sering digunakan di Eropa adalah kecap asin. Masyarakat Indonesia harus pergi secara khusus ke toko Asia yang menjual barang-barang dari Indonesia untuk mendapatkan kecap manis. Alasan lain mengapa membuat nasi goreng sering dilakukan adalah karena waktu memasak yang cepat dan rasanya yang berbeda dengan nasi goreng yang dijual di restoran. “Nasi goreng dis ini enggak otentik (seperti) rasa nasi goreng abang-abang di Indonesia,” kata Hadis Jayanti (32) yang sedang menempuh pendidikan doktor di Göttingen, Jerman.
ADVERTISEMENT
“Jadi mending buat sendiri daripada beli cita rasa abal-abal di restoran Vietnam,” lanjutnya. Makanan lainnya yang mudah dibuat adalah mi instan pakai telur dan sayur. Bahan-bahannya mudah ditemukan dan sangat cocok dimakan pada saat cuaca dingin dan rindu kampung halaman. Ternyata mi instan merk dari Indonesia tidak hanya populer di kalangan warga Indonesia di Eropa tapi juga oleh warga negara lain. Semua makanan yang menggunakan bahan dasar tempe dan tahu juga mudah dibuat, seperti tempe mendoan atau tahu isi. Tahu selalu tersedia di toko, sementara untuk tempe harus untung-untungan. Pasalnya di Eropa, tempe tidak sepopuler tahu, sehingga produksi tempe-pun tidak sebanyak tahu.
ADVERTISEMENT
Tempe biasanya lebih populer di kalangan vegetarian dan vegan yang mengonsumsinya sebagai pengganti daging. Ketika ingin membeli tempe, kadang-kadang tempe sudah habis di toko atau stok yang baru belum tiba. Sementara makanan yang berbahan dasar ayam juga termasuk mudah dibuat seperti ayam goreng, kari ayam, dan sop ayam. Lalu masakkan apa saja yang susah dibuat? Rendang biasanya menjadi salah satu makanan yang tidak mudah untuk dibuat. Alasan utamanya adalah waktu memasak yang sangat lama. Putri Lestari (32) yang sedang menempuh program Erasmus Mundus dalam bidang pendidikan orang dewasa di Inggris, Malta, dan Estonia adalah salah satu orang Indonesia yang mengakui hal tersebut. “Ya, kalau mau rendang ala kadarnya sih ya bisa saja. Tapi rendang yang beneran masaknya lama, sayang listrik,” kata Putri Kompor listrik yang biasa digunakan di Eropa pun juga menjadi pertimbangan untuk memasak makanan Indonesia. Beberapa sajian Indonesia yang memang butuh berada di atas kompor berlama-lama dapat membuat tagihan listrik membengkak. Putri juga mengaku tidak akan membuat masakan yang membutuhkan kunyit, lengkuas, dan kencur. Bahan-bahan tersebut sangat susah ditemukan di Eropa. Cerita Zahrina Mardina (27) beda lagi. Gadis yang pernah berkuliah di Belanda dan Belgia ini mengalami kesulitan untuk membuat sate. Alasannya karena tempat masak sate yang sederhana tidak umum ditemukan di Eropa.
ADVERTISEMENT
Yang ada hanya alat barbecue mewah yang cukup mahal dan hanya bisa digunakan di tempat terbuka yang luas. Selama ia tinggal di asrama mahasiswa, keinginan untuk membuat sate harus dipupuskan. Makanan lain yang sulit ditemukan Zahrina adalah ikan asin dan ikan teri, yang ada biasanya adalah ikan beku atau kalengan seperti tuna. Sementara makanan laut lainnya seperti kepiting, udang, dan cumi-cumi tersedia dengan harga yang sangat mahal. Arieska Sarwosri (31) WNI asal Jawa Tengah yang sedang tinggal di Jerman mengaku rindu dengan lumpia basah Semarang dan serabi Notosuman. Untuk lumpia tantangannya adalah mendapatkan rebung segar sementara untuk membuat serabi, Arieska tidak memiliki penggorengan baja untuk menggoreng serabinya. Eko Sijabat (29) yang tinggal di Glasgow juga mengalami kesusahan untuk membuat gudeg dan masakkan yang berasal dari Sumatra Utara yaitu saksang dan arsik. “Itu bikin saksang kan ada andalimannya. Mau cari di mana? Terus gudeg pakai nangka yang belum matang, enggak ada. Sama arsik butuh lengkuas, andaliman, dan bawang Batak,” jelasnya Begitulah suka duka warga Indonesia yang terbiasa dengan masakan nusantara, namun sekarang harus tinggal di Eropa. Berbahagialah untuk mereka yang tinggal di Indonesia, karena alam yang kaya membuat banyak bumbu-bumbu tersedia dan menjadikan makanan juga bervariasi dalam rasa.
ADVERTISEMENT