news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Yono, 26 Tahun Mengayuh Becak untuk Nafkahi Keluarga

23 November 2017 19:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yono, tukang becak di Perumnas Depok. (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yono, tukang becak di Perumnas Depok. (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pagi itu Yono hanya bisa melamun. Duduk termenung menanti rezeki yang tak pasti, bersama becak sewaannya yang selalu setia menemani mangkal di Perumnas Depok.
ADVERTISEMENT
Sesekali pria 47 tahun itu menegur orang yang lewat, menanyakan kabar mereka sembari tersenyum. Sudut matanya berkerut, senyuman itu tulus.
“Yon!” tiba-tiba seorang wanita paruh baya memanggil Yono dari kejauhan. Dengan sigap, Yono langsung mengendarai becaknya untuk menghampiri wanita tersebut.
Ternyata dia ingin ke pasar Depok Jaya, dan meminta Yono untuk mengantarnya ke sana. “Biasa, ya, Yon, nanti tunggu saya di luar,” kata wanita itu.
“Ya, Bu Haji,” jawab Yono sembari menundukkan becaknya agar penumpangnya dapat naik dengan mudah. Setelah memastikan wanita itu sudah duduk dengan nyaman, dia mendorong becaknya ke arah jalan raya.
Dengan sekuat tenaga Yono mendorong becaknya. Urat-urat tangannya sampai terlihat. Jalan menuju jalan raya itu menanjak. Tidak mungkin dia kayuh becaknya sekarang, rantainya bisa putus jika bebannya terlalu berat.
ADVERTISEMENT
Sampai di jalan raya, dia berhenti sejenak untuk menghela napas sembari menunggu kesempatan menyeberang. Ketika jalan kosong, dia mengambil ancang-ancang dan mengayuh becaknya di sisi jalan.
Jarak antara tempat Yono mangkal dengan pasar terdekat tidak terlalu jauh. Namun memang, kalau berjalan kaki pulang pergi, ya, capek juga. Apalagi kalau sambil bawa belanjaan.
Selang 10 menit, akhirnya mereka sampai. “Sebentar, ya, Yon, saya cuma beli sayur sama sembako,” kata Bu Haji.
“Ya, Bu, mari," kata Yono sambil mengangguk.
Lalu Yono menunggu sambil mengobrol dengan tukang becak lain yang mangkal di belakang pasar. Perbincangan mereka dalam bahasa Jawa.
Tak lama, Bu Haji keluar dengan belanjaannya yang cukup banyak. Yono langsung menghampiri Bu Haji untuk membawakan belanjaan dan menaikkannya ke atas becak. Dia tata sedemikian rupa sehingga Bu Haji masih bisa naik.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan pulang, Bu Haji meminta Yono untuk menepi di warung nasi yang ada di pinggir jalan. “Ini buat kamu makan siang nanti,” ucap Bu Haji. Dia membelikan nasi bungkus berlauk sayur terong. Sederhana memang, tapi setidaknya Yono tidak perlu keluar uang lagi untuk makan siang.
Yono mengantar Bu Haji sampai ke rumahnya, sekaligus mengangkut belanjaan ke dalam. Bu Haji lalu memberi Yono 25 ribu rupiah untuk jasanya.
Yono cukup beruntung, hari itu diawali dengan pendapatan yang menurut dia cukup lumayan, sementara teman satu pangkalannya belum dapat penumpang. Uang sewa becaknya yang sehari Rp 3.500 sudah tertutupi.
Selesai melayani Bu Haji, Yono kembali memarkirkan becaknya di pos satpam setempat yang merangkap jadi pangkalan becak itu. Lokasinya yang berada dekat sekolah dan pertigaan membuatnya jadi tempat strategis untuk menunggu penumpang.
ADVERTISEMENT
Yono kembali menunggu. Kini matahari mulai meninggi dan udara terasa makin panas. Kebetulan, tidak ada awan hari itu. Langit berwarna biru polos.
The Last Generation of Becak (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Last Generation of Becak (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
Beruntung, masih ada cukup banyak pohon di Perumnas Depok. Yono berlindung dari sengatan sang Raja Siang di bayang-bayang payung alam yang ada tak jauh dari pangkalannya.
Ketika meneduh sambil sesekali meneguk bekal air minum yang ia bawa, dua orang wanita muda berhenti di depan becaknya. Celingak-celinguk mencari di mana tuan dari becak yang ingin mereka tumpangi.
“Mau ke mana, Bu?” tanya Yono sembari menghampiri mereka.
“Ke Stasiun, ya, tapi mampir di Alfa depan sebentar,” kata salah satu dari mereka. Lalu Yono kembali mendorong becaknya di tanjakan menuju jalan raya itu. Kali ini bebannya lebih berat, tapi badan Yono yang sudah 26 tahun melakukan rutinitas itu mungkin sudah terbiasa.
ADVERTISEMENT
Dua puluh menit kemudian Yono kembali tiba di pangkalannya. Badannya bersimbah keringat. Yono pun mengelap keringat di mukanya dengan baju yang dia pakai. Sekarang dia kembali menunggu di tempat dia berteduh, tanpa ada kepastian apakah dia akan dapat penumpang lagi atau tidak.
Pengendara ojek online lalu lalang satu per satu di depan Yono. Dia melihat dengan mata penuh harap. Kalau tidak ada ojek online, orang-orang kompleks itu biasanya menggunakan becaknya untuk pergi ke stasiun Depok Baru, atau setidaknya ke pinggir jalan raya.
Namun Yono tidak menyimpan dendam. Dia tidak mau ikut-ikutan ribut seperti kebanyakan penyedia jasa transportasi umum konvensional yang memprotes keberadaan ojek online.
Kalau dipikir-pikir, bahkan taksi yang ber-AC pun kalah bersaing. Apa kabar becak yang masih bertenaga manusia dan jalannya pelan? Yono sambil tertawa kecil berkata begini.
ADVERTISEMENT
“Aku percaya sama Allah, rezeki sudah Dia yang atur,” katanya.
Sebetulnya Yono punya motor di Pemalang, kampung halamannya. Namun dia tidak mau memakai motor itu, karena dipakai anaknya untuk pulang pergi sekolah di kampung.
"Daripada harus keluar ongkos untuk dia bolak-balik, kalau pakai motor satu liter bisa untuk 3 hari," terang Yono.
Tak lama, seorang pengendara ojek online menghampiri Yono, mereka bercanda layaknya teman akrab.
The Last Generation of Becak (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
The Last Generation of Becak (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
Jam menunjukkan pukul 11.30. Waktunya Yono mengantar pesanan katering ke salah satu sekolah di sana. Selain mengantar penumpang, Yono melakukan hal semacam ini demi menambah penghasilan. Lumayan, dia dapat upah 20 ribu rupiah dari sana setiap hari masuk sekolah.
Selesai mengantar katering, dia kehausan, “bensin” nya pun habis. Di bawah pohon yang teduh, dia membuka nasi bungkus pemberian Bu Haji dan menyantap makanan itu dengan nikmat.
ADVERTISEMENT
Selesai makan, Yono masih kehausan, tapi air minumnya habis. Yono mengajak kumparan (kumparan.com) yang mengikutinya sejak pagi, Rabu (22/11), mampir ke rumahnya untuk mengisi botol air minum. Lokasinya tidak terlalu jauh, 5 menit berjalan kaki masuk ke dalam perkampungan yang ada di samping kompleks perumahan.
Yono tinggal di sebuah kontrakan petakan. Luasnya 4 x 4 meter. Cukup untuk dia sendiri. Kontrakan yang beratapkan asbes itu terasa seperti oven di siang yang terik. Apalagi, hanya ada satu kipas kecil dan ventilasinya tidak memadai untuk sirkulasi udara yang baik.
“Ayo kita buruan pergi panas di sini,” kata Yono mengajak segera pergi dari kontrakannya.
Singkat cerita, sampai sore Yono belum dapat penumpang lagi. Sampai akhirnya sekitar pukul 16.00, seorang wanita yang Yono panggil Uni menghampirinya.
ADVERTISEMENT
“Yon, itu di samping ada kayu bekas, kamu pindahkan ke tempat lain bisa? Kamu jual juga tidak apa-apa nanti uangnya buat kamu,” kata wanita itu. Dia meminta Yono untuk merapikan kayu sisa renovasi rumahnya.
Yono mengaku, dari kayu-kayu yang baru saja dia dapat, setidaknya 150 ribu rupiah bisa dia kantongi. Itu pun kalau ada yang mau beli. Uang lelah memindahkan kayu yang cukup banyak itu tidak bisa dia bawa hari itu juga.
Akan tetapi, sebagai gantinya, Uni menawarkan Yono makan dan minum di rumahnya. Setidaknya untuk mengganti tenaga yang dia keluarkan. Yono menolak tawaran itu, bukan karena tidak mau.
“Pak Haji (ayah Uni) sedang ada di rumah, tidak enak ah,” terang Yono.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan semacam itulah yang menolong Yono selama ini. Penghasilannya dari menarik becak sekarang tidak seberapa. Hari itu saja, kalau dia hanya mengantar penumpang, pendapatannya tidak sampai 40 ribu rupiah. Hanya cukup untuk makan sehari dan bayar cicilan di bank untuk membeli motor.
Pria yang harus menghidupi 3 kepala di kampung halamannya ini mengaku belum mau beralih profesi. Dia masih merasa pendapatannya sebagai tukang becak cukup untuk menghidupi anak-anaknya.
“Sebulan bisa transfer 500 ribulah ke kampung,” kata Yono. Jumlahnya tidak melulu segitu. Kalau sepi, dan memang sekarang makin sepi pelanggan, dia tidak bisa kirim apa-apa ke anak istrinya.
Namun itu masih dia syukuri. Setidaknya, penghasilannya lebih baik ketimbang ketika dia masih menjadi pedagang asongan di Senayan tahun 1988 dulu. Terlebih, satu anaknya sekarang sudah menikah, bebannya berkurang satu.
ADVERTISEMENT
Yono adalah salah satu dari segelintir tukang becak yang masih bertahan di Depok. Dia dan teman-temannya sebetulnya sadar, profesinya sudah tidak untung lagi. Terlebih ketika sudah ada ojek online.
“Nantilah, kalau sudah tidak bisa narik lagi baru berhenti,” kata Yono pasrah.