KLHK Nilai Banjir Bandang Sentani Bukan karena Pembalakan Hutan

19 Maret 2019 16:30 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara yang menunjukkan dampak banjir di Sentani, Jayapura, Papua, (17/3). Foto: Edward Hehareuw / Via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara yang menunjukkan dampak banjir di Sentani, Jayapura, Papua, (17/3). Foto: Edward Hehareuw / Via REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar konferensi pers terkait bencana banjir bandang di Sentani, Jayapura, Papua, Minggu (17/3) lalu. Dalam kesempatan itu, KLHK membeberkan penyebab bencana banjir bandang di Sentani karena di bagian hulu yang curam dengan jenis tanah mudah longsor.
ADVERTISEMENT
KLHK yang tidak menyebut pembalakan liar atau penggundulan hutan sebagai faktor penyebab banjir bandang, sebagaimana dugaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB).
"Nah, kalau kita lihat lebih jauh, yang sering diasosiasikan kan banjir dan longsor ini karena kondisi tutupan lahannya yang terdegradasi atau gundul. Kita lihat, kalau kondisi tutupan lahan, sebenarnya perubahannya itu tidak signifikan dari waktu ke waktu. Hanya seluas 495, 42 hektar," tutur Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Ída Bagus Putera Parthama, di Kantor KLHK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Selasa (19/3).
"Hanya 3,3 persen saja perubahan selama lima tahun terakhir dari hutan dan nonhutan dari total luas 15.199 hektar. Dari 2012 ke 2017 itu yang berubah tutupannya menjadi non hutan hanya 3 persen. Jadi kurang kuat mengasosiasikan kejadian ini dengan perubahan tutup hutan (menjadi gundul)," ujar Putera.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, BNPB menduga banjir bandang di Sentani akibat adanya pembalakan liar. Dugaan itu disampaikan oleh Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, usai melihat hutan di Gunung Cycloop, Jayapura, yang mulai gundul.
Akibat penggundulan hutan yang tidak terkendali membuat daya serap dan cengkeraman tanah berkurang.
Sejumlah warga melihat rumah yang rusak akibat banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Minggu (17/3). Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati

Titik Longsor dan Gempa Kecil

Menurut data KLHK, hulu sungai di kawasan pegunungan yang mengantarkan banjir ke Sentani, terpantau memiliki banyak titik-titik longsor. Longsor-longsor itu kemudian menggunduk, menjadi bendungan alami yang menahan limpahan air di hulu sungai.
Ditambah, gundukan tanah itu rapuh, sehingga akan segera runtuh saat diterjang debit air yang besar.
“Hulu yang curam dengan jenis tanah mudah longsor, ditambah gempa-gempa kecil, karena kita (berada di zona ring of fire), yang menyebabkan bertambah rentannya hulu-hulu itu, maka sering terjadi longsor-longsor alami. Dan longsor alami ini menciptakan bendungan-bendungan alami, yang sangat tidak stabil,” kata Putera.
ADVERTISEMENT
Putera menjelaskan, saat hujan deras, bendungan tersebut jebol dan membawa segala bahan longsoran ke wilayah penduduk.
“Ketika terjadi hujan deras, bendungan alami ini jebol. Ia ini membawa segala bahan longsoran itu, termasuk pohon-pohon utuh, batu-batu dan sebagainya. Itulah yang menciptakan banjir bandang,” sambungnya lagi.
Menurut Putera, keterangan di atas berdasarkan pada data-data tentang kondisi alam yang ada serta temuan-temuan lapangan di bagian hilir sungai.
“Bendungan alami itu jebol, membawa segala material, batu, kayu, dan lainnya ke bawah. Ini nampak pohon-pohon tercabut sampai ke akar-akarnya. Berarti ini longsor terjadi di hulu,” ucap Putera.
Putera menyebutkan, secara topografi, kawasan yang terdampak bencana banjir bandang Sentani merupakan daerah hamparan banjir. Hal ini karena Kecamatan Sentani berupa dataran yang posisinya rendah, sehingga menjadi kawasan mengarahnya aliran air dari bukit-bukit.
ADVERTISEMENT
“Yang penting saya sampaikan adalah bahwa daerah yang terdampak ini memang kondisinya dari sananya dia adalah hamparan banjir. Jadi dia ke situ memang air itu akan mengarah dari bukit-bukit sekitarnya apabila terjadi hujan tinggi. Ketika terjadi banjir di hulu, ketika curah hujan di hulu, maka ke situlah (hamparan banjir) air ini mengarah,” terang Putera.
Kendaraan terendam lumpur saat banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Minggu (17/3). Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati

Perkembangan Kota

Selain karena posisi daerah itu rendah, banjir bandang juga diperparah karena faktor berkurangnya resapan air karena perkembangan permukiman di hilir sungai. Hal ini membuat genangan jadi lebih besar dan lebih lama, karena tanah sulit menyerap air.
“Perkembangan dari waktu ke waktu kita melihat ada perkembangan kota yang tumbuh. Dan itu tentu juga menyebabkan berkurangnya infiltrasi air yang masuk ke tanah,” kata Putera.
ADVERTISEMENT
Terakhir, yang tidak kalah penting dicatat adalah fakta kecilnya badan sungai yang membentang dari hulu di pegunungan sampai ke hilir di permukiman warga. Lebar sungai yang kecil itu tidak mampu menampung debit air yang besarnya jauh di atas normal dan datang secara mendadak (karena runtuhnya bendungan alami di hulu).
KLHK merilis, hujan deras selama 7 jam membuat debit air sungai naik lebih dari 100 persen. Air yang tidak tertampung itulah kemudian yang menerjang pemukiman yang sejatinya memang sudah merupakan hamparan banjir tadi.
“Secara alami juga, mulut sungainya kecil, sehingga ketika terjadi debit air jauh melebihi kondisi normal, yang terjadi kalau tidak salah dua kalinya dari kondisi normal. Jadi sebenarnya kapasitasnya itu hanya sebesar 91,38 meter kubik per detik, tetapi pada saat kejadian itu hujannya menyebabkan debit banjir 193,21 meter kubik per detik,” ujar Putera.
ADVERTISEMENT