Kode Suap untuk Hakim PN Jakarta Selatan: Ngopi

28 November 2018 23:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas KPK memperlihatkan barang bukti hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT)  hakim PN Jaksel (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas KPK memperlihatkan barang bukti hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) hakim PN Jaksel (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
KPK kembali menemukan kode yang digunakan untuk menyamarkan uang terkait dugaan tindak pidana suap. Kali ini, kode itu ditemukan dalam kasus dugaan suap yang akan diberikan kepada dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
"Dalam komunikasi teridentifikasi kode yang digunakan adalah 'ngopi', yang dalam percakapan disampaikan, "Bagaimana? Jadi ngopi ga?"," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (28/11).
Kedua hakim yang diduga menerima suap itu adalah Iswahyu Widodo dan Irwan. Mereka diduga menerima suap bersama-sama dengan Panitera Pengganti PN Jakarta Timur, Muhammad Ramadhan.
Ketiganya diduga menerima suap dari Arif Fitrawan dan Martin P Silitonga. Uang diberikan terkait pengurusan perkara perdata yang sedang bergulir di PN Jakarta Selatan.
Kasus perdata yang dimaksud adalah perkara perdata pembatalan perjanjian akusisi PT CLM oleh PT APMR di Pengadllan Negeri Jakarta Selatan tahun 2018. Dalam kasus ini, pihak penggugat adalah lsrulah Achmad. Sementara pihak tergugat adalah Williem J.V. Dongen dengan pihak turut terguat ialah PT APMR dan Thomas Azali. Ketua majelis hakim yang menangani kasus itu ialah Iswahyu Widodo.
ADVERTISEMENT
"Selama proses persidangan, diindikasikan pihak penggugat melakukan komunikasi dengan MR (panitera pengganti PN Jaktim) sebagai pihak yang diduga sebagai perantara untuk majelis hakim yang menangani perkara di PN Jakarta Selatan," kata Alex.
KPK menduga, Martin melalui Arif kemudian memberikan uang sebesar Rp 500 juta yang kemudian dikonversi menjadi SGD 47 ribu untuk dua orang hakim. Uang diberikan melalui Ramadhan yang diduga merupakan makelar.
Diduga, suap itu adalah untuk mempengaruhi putusan hakim dalam gugatan tersebut. KPK menduga sebelumnya sudah ada uang Rp 150 juta yang sudah diberikan sebelum putusan sela dalam gugatan itu agar hakim tidak memutuskan gugatan tersebut ditolak.
"Untuk mempengaruhi putusan sela agar tidak diputus N.O. yang dibacakan pada bulan Agustus 2018. Dan disepakati akan menerima lagi sebesar Rp 500 juta untuk putusan akhir," kata Alex.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, kode 'ngopi' tersebut merujuk pada pertemuan yang membahas soal realisasi pemberian uang. "Istilah ngopi itu rencana bertemu terkait janji pemberian uang yang telah disepakati antara pihak pengacara melalaui perantara MR, dalam pertemuan itu kedua hakim menanyakan apakah uangnya sudah ada apa belum," kata dia.
Alexander Marwata (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Alexander Marwata (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Kasus ini terungkap dari OTT yang dilakukan KPK pada Selasa (27/11). KPK kemudian menetapkan 5 orang sebagai tersangka.
Iswahyu, Irwan, dan Ramadhan selaku pihak yang diduga penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT
Sementara Arif dan Martin selaku pihak yang diduga pemberi suap disangkakan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.