KontraS: Juni 2018-Mei 2019, 72 Kasus Penyiksaan Terjadi di Indonesia

26 Juni 2019 17:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengeluarkan hasil laporan setebal 52 halaman berjudul ‘Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia’. Hasilnya, sepanjang Juni 2018 hingga Mei 2019 telah terjadi 72 kasus penyiksaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Selama satu tahun dari periode Juni hingga Mei 2019 itu kita kumpulkan sedikitnya ada 72 kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia,” ujar peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, dalam peluncuran laporan di Bakoel Coffe, Cikini Jakarta Pusat, Rabu (26/6).
Ia menjelaskan, temuan tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Meski begitu, bukan berarti jumlah kasusnya menurun.
“72 Kasus ini kecenderungannya sedikit menurun dari tahun lalu. Namun kami menemukan penyebabnya jadi ada akses informasi yang minim, terus ada isu nasional yang sedang naik mengenai pilkada atau pilpres. Juga tertutupnya akses bagi keluarga korban untuk memberikan informasi karena tekanan dari aparat,” paparnya.
Dalam laporan yang dikeluarkan demi memperingati hari Dukungan Bagi Korban Penyiksaan Sedunia itu, KontraS juga merinci beberapa provinsi yang mendominasi.
ADVERTISEMENT
72 kasus itu, paling dominan terjadi di 5 provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
“Semisal di Aceh ada pro kontra yang masih mendukung hukum cambuk dan sejenisnya. Terus di Sumatera Utara, ini biasa kita temukan kasusnya terkait dengan sumber daya alam, begitu juga di Sulawesi Selatan,” jelasnya.
“Sementara di NTT dan Papua memang cenderung terjadi kekerasan di lokasi-lokasi perbatasan,“ lanjutnya.
Kasus-kasus kekerasan itu menyebabkan 16 korban tewas serta 114 luka-luka. Korban paling banyak berasal dari warga sipil, disusul kemudian tahanan.
“Korban itu paling banyak adalah warga sipil, dia yang belum diberikan status sebagai saksi satu tersangka kemudian disusul oleh tahanan. Menyebabkan 114 jiwa luka-luka dan 16 jiwa tewas,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Koordinator KontraS, Yati Adriyani, menjelaskan laporan tersebut mereka susun menggunakan dua metode, kualitatif dan kuantitatif. Mereka mengumpulkan informasi dan data melalui pendampingan korban secara langsung serta menggunakan analisa hukum.
“Pertama laporan ini sangat fresh, dalam artian laporan ini sesuatu yang sangat faktual karena kami susun berdasarkan laporan pemantauan dan investigasi peristiwa penyiksaan yang terjadi. Kedua berdasarkan pendampingan hukum,” ujar Yati.