KONTEN SPESIAL COVER 3 PETUGAS KPPS MENINGGAL

Korban Nyawa Pemilu Serentak

2 Mei 2019 10:27 WIB
Konten Spesial: Petugas KPPS Meninggal. Foto: Fitra Andrianto/kumparan dan Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten Spesial: Petugas KPPS Meninggal. Foto: Fitra Andrianto/kumparan dan Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Sukaesih belum bisa menyembunyikan kesedihannya. Perempuan paruh baya itu masih terpukul dengan kepergian suaminya, Rudi Mulia Prabowo. Ketua Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di Kecamatan Pisangan Baru, Jakarta Timur, meninggal lima hari setelah hari pencoblosan, Senin (22/4).
ADVERTISEMENT
Ia mengembuskan napas terakhir diduga karena serangan jantung akibat kelelahan. Rudi kurang tidur sejak beberapa hari menjelang pemilu untuk mempersiapkan hajatan demokrasi itu. “Honor cuma 500-an ribu saja sampai nyawa taruhannya,” keluh Sukaesih kepada kumparan, Sabtu (27/4).
Kelelahan juga dialami Niman, Ketua Panitia Pemungutan Suara Kelurahan Cimpaeun, Depok, Jawa Barat. Ia dan tim bertugas menerima logistik pemilu dan mendistribusikannya ke TPS. Kesibukan itu dimulai jauh hari sebelum pencoblosan.
Konten Spesial: Petugas KPPS Meninggal. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Bila surat dan kotak suara kiriman datang dari KPU, PPS akan menghitung ulang dan membaginya untuk tiap TPS. Niman bertanggung jawab terhadap logistik pemilu untuk 76 TPS yang meliputi 18 ribu pemilih.
“Saat itu kita paling cepat istirahat jam satu atau jam dua setiap hari. Kemudian saat kotak suara sudah di kelurahan itu tugasnya juga cukup berat itu harus kita awasi takut ada apa apa,” tutur Niman.
ADVERTISEMENT
Rutinitas itu dilaluinya hingga sehari pascapencoblosan. Singkatnya, Niman tumbang setelah kondisi badannya merosot. Kamis (18/4) siang, dia merasakan pusing dan sesak napas hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Beruntung nyawanya terselamatkan.
Hasil pemeriksaan dokter menunjukan tubuhnya kelelahan hebat. Niman harus beristirahat total selama lima hari di rumah sakit. Pemilu 2019 bukan kali pertama dia menjadi PPS. Peran yang sama juga diembannya pada Pemilu 2014. Tetapi, menurutnya, pengalaman lima tahun lalu itu belum seberapa.
“Jujur ini paling capek, dulu kan ada jeda,” ucapnya. “Saya intinya subuh baru pulang”.
Ada ratusan bahkan ribuan penyelenggara dan pengawas pemilu bernasib seperti Rudi dan Niman. Berdasarkan data KPU per Rabu (1/5) malam, total 380 meninggal dunia, 3192 dalam keadaan sakit. Jumlah itu belum termasuk korban dari jajaran pengawas pemilu.
Infografis Korban Nyawa di Pemilu Raya Foto: Putri Arifira
Bawaslu mencatat 79 orang pengawas meninggal. Sementara, korban dari pihak kepolisian hingga saat berita ini diturunkan juga sudah mencapai 22 orang yang wafat. Penyebab kematian para korban beragam. Tetapi, sebagian besar dari mereka mengalami serangan jantung. Rentetan panjang proses pemilu diduga menjadi menjadi pemicunya.
ADVERTISEMENT
“Pada pemilu kali ini, memang pekerjaannya cukup banyak. Bertambah cukup besar Jadi mungkin itu faktor yang membuat mereka cukup kelelahan,” ujar Ketua Komisi Pemilihan Umum, Arief Budiman kepada kumparan.
Pasalnya, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilihan presiden diselenggarakan dalam satu waktu yang sama. Semua bermula pada gugatan terhadap UU Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden yang terpisah disoal sejumlah penggugat. Mereka beralasan, pemisahan pemilu justru membuat anggaran membengkak.
MK, dalam putusannya, akhirnya mengabulkan sebagian gugatan para penggugat. MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan pileg dan pilpres terpisah, menurut MK, membuka celah tawar menawar politik antara capres dan partai politik. Idealnya, hal semacam itu dihindari. "Sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang," kata majelis MK dalam putusannya.
Masalah efisiensi juga masuk dalam pertimbangan MK. Namun, aturan itu tak berlaku di pemilu 2014, karena dikhawatirkan mengganggu proses persiapan yang sudah telanjur berjalan. Alhasil, pemilu serentak baru akan diimplementasikan pada 2019.
Aksi untuk menghormati 225 penyelenggara Pemilu 2019 yang gugur, di Bundaran HI, jakarta, (28/4). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
DPR akhirnya merevisi aturan pemilu, sebagaimana tertuang dalam UU 7/2017 untuk mengakomodir amanat MK. Jadilah, pemilu 2019 dilakukan dengan pileg dan pilpres sekaligus. Konsekuensinya, meski biaya bisa ditekan proses pemungutan dan penghitungan suara lebih panjang dari biasanya. Dalam pemilu 2019, pemilih harus mencoblos lima surat suara.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Komisi II DPR, yang membidangi politik dan pemerintahan, Herman Khaeron menilai beban terbesar pemilu justru berada di tingkat pelaksana paling bawah. Penghitungan suara di TPS yang biasanya tuntas pada malam hari pun molor hingga dini hari. Ini sebabnya, menurut dia, banyak anggota KPPS yang meninggal.
MK dalam putusannya memang menambah waktu penghitungan suara 12 jam sejak hari pemungutan berakhir. Masalahnya, proses itu harus dilakukan tanpa jeda. Kelelahan sejak persiapan masa persiapan pemilu, kata Herman, semakin terakumulasi. “Ini sudah menjadi bencana kemanusian,” katanya prihatin.
Potensi kelelahan petugas di TPS sebenarnya sudah dimitigasi. KPU beberapa kali menggelar simulasi pemungutan hingga penghitungan suara. Sejumlah kebijakan diambil setelah dilakukan evaluasi. Salah satunya, menurut Ketua KPU Arief Budiman, mengurangi jumlah pemilih di tiap TPS dari maksimal 500 orang menjadi 300 orang.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, jumlah TPS diperbanyak. Makanya, jumlah TPS di Pemilu 2019 mencapai lebih dari 800 ribu, meningkat drastis dari Pemilu 2014 yang hanya melibatkan 500 ribuan TPS. Upaya itu diakui Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin belum mampu menekan beban kerja para petugas di lapangan.
Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu, M. Afiffudin. Foto: Farida Yulistiana/kumparan
Dengan maksimal jumlah 300 pemilih tiap TPS, bila di rata-rata setiap KPPS akan menghitung 1.500 surat suara setelah masa pencoblosan selesai. Yang menjadi masalah, UU Pemilu tak memungkinkan ada pembagian waktu kerja bagi KPPS. Alhasil, proses pemungutan hingga penghitungan suara harus dilakukan maraton.
Beban itu juga menjadi masalah bagi pengawas pemilu. Jumlah pengawas yang dimiliki Bawaslu sangat terbatas. Hanya satu orang yang bisa disediakan untuk menjaga satu TPS. “Jadi kalau memang dibilang ideal tidak ideal, ya kerja ini over time,” Afifuddin berujar.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, seleksi bagi penyelenggara dan pengawas di tingkat bawah masih longgar. KPU dan Bawaslu hanya memberi syarat sehat jasmani dan rohani. Calon penyelenggara dan pengawas cuma diharuskan melampirkan surat keterangan sehat. Belakangan baru diketahui sebagian dari mereka punya penyakit bawaan dan sudah berusia lanjut.
Mantan Komisioner KPU, RI Ferry Kurnia Rizkiyansah, menyoroti kurang efisiennya proses rekapitulasi suara berjenjang yang membuat panjang masa kerja pelaksana di lapangan. Dengan mekanisme ini, hasil perhitungan suara dilakukan dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya hingga pusat
Warga memakamkan jenazah Sunaryo (58) di Tempat Pemakaman Umum Rangkah, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (24/4). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Ia berharap ke depan hasil rekapitulasi dari TPS cukup dengan mengirimkan hasil foto C1 plano ke pangkalan data KPU. “Bahwa kemudian ada kesalahan data input tinggal case by case saja,” usulnya.
ADVERTISEMENT
Ferry juga berpendapat, secara teknis Pemilu 2019 tak berbeda jauh dengan Pemilu 2014. Pada Pemilu 2019, kotak suara berjumlah lima buah, hanya bertambah satu dari saat Pemilu 2014. Beban terbesarnya justru terletak pada kerja koordinasi yang banyak menyita energi. Ke depan, alternatif yang mungkin dilakukan adalah memisah pemilu tingkat nasional dan pusat.
"Misalnya 2024 ada pemilu serentak nasional memilih presiden/wakil, DPR RI dan DPD, nanti 2026 kita akan ada pemilu lokal memilih bupati, walikota, gubernur, DPRD Kabupaten/Kota dan provinsi" ujar Ferry.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Herman Khaeron, sepakat perlu evaluasi besar pelaksanaan Pemilu 2019. Baginya, desain pemilihan jelas harus direvisi. Komisi II sudah berencana membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk meninjaunya. Mereka akan menggenjot sisa dua waktu masa sidang untuk merumuskan formulasi pemilu ideal. Masukan itu nanti akan direkomendasikan ke DPR periode selanjutnya untuk menyusun UU Pemilu.
ADVERTISEMENT
Herman juga mendorong penerapan teknologi dalam penyelenggaraan pemilu. “Ini akan membantu mengurangi beban teman-teman di lapangan,” katanya. Ada tiga opsi yang mungkin dipilih, yakni penggunaan e-voting, e-counting, atau e-recap (recapitulation). Ia berharap pesta demokrasi ke depan tak lagi memakan korban nyawa.
Simak ulasan selengkapnya di kumparan dengan topik Korban Nyawa Pemilu Serentak
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten