Korupsi Soeharto Sistematis, Hampir Tak Mungkin Bisa Terpecahkan

6 Desember 2018 19:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi ICW dengan tema 'Jangan Lupakan Korupsi Soeharto'. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi ICW dengan tema 'Jangan Lupakan Korupsi Soeharto'. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi yang menyeret nama Presiden ke-2 RI Soeharto hingga kini tak menemui titik terang. Meski telah bertahun-tahun Soeharto wafat, kasus korupsi selama 32 tahun ia berkuasa itu kini masih diingat oleh sejumlah pihak.
ADVERTISEMENT
Direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid menilai kasus korupsi Soeharto tergolong sebagai grand corruption. Kasus itu menurutnya sulit dipecahkan karena sistematis.
“Korupsi ini sistemik, bukan yang incremental, Soeharto enggak terlibat, Soeharto itu grand corruption. Sebuah korupsi yang melibatkan aparat negara, aparat legislatif, sehingga hampir enggak mungkin grand corruption bisa dipecahkan,” ucap Usman dalam diskusi di kantor ICW, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, pada Kamis (6/12).
Soeharto dengan Wiranto di belakangnya. (Foto: Reuters.)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto dengan Wiranto di belakangnya. (Foto: Reuters.)
Akibatnya, dia melanjutkan, banyak rintangan muncul untuk menuntaskan kasus ini. Setidaknya ada tiga rintangan yang membuat kasus ini stagnan.
“Pertama korupsi itu dilakukan sistemik sedemikain rupa, dibungkus dengan Keppres (keputusan presiden), tentang tata niaga itu sebenarnya korupsi. Kalau Anda periksa di perjanjian dengan BUMN, dengan luar, itu juga terjadi,” sambung praktisi hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar yang turut hadir dalam diskusi.
ADVERTISEMENT
Kedua yakni adanya regenerasi koruptor. Menurutnya, korupsi bukannya mengurang, tapi justru menyebar ke berbagai tingkatan. Tidak hanya legislatif tapi juga sampai kepada yudikatif. Sementara itu, kata Fickar, tidak ada regenerasi dari para aparat penegak hukum.
“Salah satu kegagalanya kita tersandera regenerasi korupsi. Kita lihat faktanya, regenarasinya cepat, aparatnya ya itu-itu juga, ya artinya tidak mampu juga sidangkan perkara-perkara zaman orde baru. Terjadilah ada penyanderaan aparat hukum,” jelasnya.
Paspampres mengawal Presiden Soeharto (Foto: Dok. TNI AD )
zoom-in-whitePerbesar
Paspampres mengawal Presiden Soeharto (Foto: Dok. TNI AD )
Kemudian yang ketiga adalah soal pembuktian di mata hukum. Merujuk peraturan yang tertuang di KUHAP, ada 5 alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, surat, dan keterangan terdakwa, ditambah dengan alat bukti elektronik.
“Nah ini susahnya, membuktikan alat-alat korupsi di orde baru. Agak sulit gitu, siapa yang bertanggung jawab. Mestinya semua orang taulah di Keppres, di perjanjian, cuma sulit untuk identifikasi," kata Fickar.
ADVERTISEMENT
"Ada kendala di teknis yuridis di teknis pembuktian. Itulah sebabnya kemudian KPK dikasih kewenangan untuk menembus itu. Apa misalnya?Penyadapan,” pungkasnya.