KPAI Minta Kasus Squat Jump Berujung Kelumpuhan di Mojokerto Diusut

21 Juli 2018 6:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak ketakutan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak ketakutan. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyuarakan protes kepada pemerintah akibat kasus yang menyebabakan cedera berat berupa kelumpuhan yang dialami oleh seorang siswi SMA di Mojekerto, Mas Hanum Dwi Aprilia, setelah menjalani hukuman squat jump di sekolahnya lantaran terlambat datang ke kegiatan ekstrakurikuler Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) di sekolahnya.
ADVERTISEMENT
Seperi keterangan tertulis KPAI yang diterima kumparan pada Sabtu (22/7), Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti berharap kasus tersebut diusut secara tuntas. "Kasus ini harus diusut tuntas motif dan otak pelaku penghukuman fisik yang berpotensi membahayakan anak. Harus ada penegakan aturan agar ada efek jera bagi siapapun pelaku kekerasan di sekolah," kata Retno.
Menurut Retno, pihak sekolah diwajibkan melindungi peserta didiknya, seperti yang sudah diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Retno menambahkan akan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Mojokerto untuk menyelidiki adanya kelalaian pihak sekolah yang memungkinkan kekerasan terjadi."KPAI akan meminta Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto untuk memeriksa pihak sekolah dan menegakan aturan jika sekolah terbukti lalai dalam melindungi peserta didik dari kekerasan," kata Retno.
ADVERTISEMENT
KPAI menyoroti secara serius permasalahan kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan. Berdasarkan data KPAI jumlah kasus kekerasan fisik di pendidikan paling tinggi, data bidang pendidikan KPAI per Mei 2018 ada 161 kasus. Adapun rinciannya sebagai berikut : anak korban tawuran sebanyak 23 (14,3%) kasus, anak pelaku tawuran sebanyak 31 (19,3 %) kasus, anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 (22,4 %) kasus, anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 (25,5%) kasus, dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30 (18,7%) kasus. Tahun 2018 kasus pendidikan menempati posisi ke-4 teratas setelah kasus pornografi dan cybercrime.
Oleh karena itu, KPAI mendorong percepatan Preaturan Presiden (Perpres) tentang Sekolah Ramah Anak. Perpres ini diharapkan dapat memutus rantai kekerasan di sekolah berdasarkan pemenuhan hak-hak anak yang tercantum dalam lima cluster Konvensi Hak Anak.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, menurut data KPAI baru sekitar delapan ribu sekolah dari jenjang SD sampai SMA dan setingkat yang mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Ramah Anak.