KPAI: Setop Sebar Info Simpang Siur soal Penganiayaan di Pontianak

10 April 2019 18:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPAI Susanto saat konferensi pers terkait peretas Website anak dibawah umur di Bareskim Polri. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPAI Susanto saat konferensi pers terkait peretas Website anak dibawah umur di Bareskim Polri. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Polisi terus mendalami kasus penganiayaan siswa SMP di Pontianak, Kalimantan Barat. Kasus ini sempat beredar liar di media sosial karena informasi yang simpang siur dan sangat cepat menyebar.
ADVERTISEMENT
Ketua KPAI Susanto mengimbau kepada semua warga untuk berhenti menyebar informasi yang tak valid di media sosial. Informasi tak valid itu justru dapat merugikan korban dan berdampak lain bagi pelaku yang juga masih di bawah umur.
"Semua pihak agar tidak menyebarkan/menviralkan identitas korban dan pelaku, agar yang bersangkutan tidak mendapatkan stigma negatif dan berdampak kompleks," kata Susanto dalam keterangannya, Rabu (10/4).
Berikut pernyataan lengkap Ketua KPAI Susanto soal kasus penganiayaan siswa di Pontianak, Kalimantan Barat.
Viral kasus penganiayaan anak di Pontianak telah menyita perhatian publik. Pemberitaan terhadap kasus dimaksud terus berlangsung melalui berbagai media cetak, online maupun elektronik. Menyikapi kasus tersebut, KPAI menyatakan sebagai berikut;
1. Agar tidak menimbulkan informasi yang simpang siur sehingga berpotensi merugikan anak dan rentan menjadi “secondary victim” baik anak korban maupun pelaku, kami berharap semua pihak menghormati proses penyidikan yang sedang dilakukan kepolisian, sehingga tidak terjadi persepsi yang salah terkait pelaku maupun korban, dan semua anak yang terlibat diproses sesuai ketentuan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
ADVERTISEMENT
2. Pemerintah daerah melalui Dinas terkait harus memastikan upaya rehabilitasi yang tuntas kepada korban, penyediaan pendampingan hukum, psikososial dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah agar korban dan pelaku tidak mendapat stigma dan perlakuan salah akibat viralnya berita tersebut.
3. Semua pihak agar tidak menyebarkan/menviralkan identitas korban dan pelaku, agar yang bersangkutan tidak mendapatkan stigma negatif dan berdampak kompleks. Penyebaran identitas korban dan pelaku merupakan pelanggaran hukum. Menurut UU 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 19 (1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Sedangkan Pasal 97 ditegaskan bahwa Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
4. Agar seluruh satuan pendidikan meningkatkan upaya preventif, membangun sinergi antara sekolah, orangtua dan masyarakat untuk memastikan anak tumbuh karakternya dengan baik, melakukan deteksi dini secara tepat agar anak tidak rentan menjadi pelaku aktivitas menyimpang.
5. Orangtua perlu meningkatkan perhatian dan kualitas pengasuhan keluarga, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang unggul, mengisi hari-harinya dengan aktivitas positif dan memiliki visi ke depan.
6. Seiring dengan pesatnya dunia digital, dewasa ini anak rentan terpapar dampak negatif dan mengimitasi perilaku yang tak pantas bahkan melanggar hukum, maka satuan pendidikan dan keluarga perlu meningkatkan pengetahuan digital dalam mencegah dan selalu mengingatkan anak tidak menyalahgunakan media sosial pada aktivitas negatif, seperti bullying dan bentuk pemanfaatan negatif lainnya, sehingga anak tetap dalam koridor yang positif dalam memanfaatkan dunia digital.
ADVERTISEMENT