KPK Cecar Kwik Kian Gie soal Kebijakan SKL BLBI

11 Desember 2017 19:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kwik Kian Gie usai di periksa KPK  (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kwik Kian Gie usai di periksa KPK (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Penyidik KPK memeriksa mantan Menteri Koordinator Ekonomi dan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie. Kwik diperiksa terkait dugaan korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung.
ADVERTISEMENT
Usai diperiksa, Kwik mengaku ditanyai penyidik KPK perihal kebijakannya saat masih menjabat menteri dalam kabinet yang dipimpin Presiden keempat Megawati Soekarnoputri.
"Apa semua yang saya putuskan dan kebijakan apa yang saya ambil keika saya menjabat sebagai Menko Ekuin sekaligus ketua, itu yang ditanyakan," ujar Kwik Kian Gie di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (11/12).
Kwik mengatakan, penyidik menanyakan hal yang dia ketahui soal program pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Fakta-faktanya apa betul saya mengambil keputusan-keputusan ini," ucap dia.
Mengenai adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari tindakan tersebut, Kwik menyebut bahwa hal tersebut bukan menjadi kewenangannya untuk menilai. Ia hanya mengaku mendukung KPK dalam mengusut tuntas kasus ini.
ADVERTISEMENT
Dalam penyidikan kasus BLBI, KPK telah menetapkan Syafruddin Arsjad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, sebagai tersangka. Syafruddin diduga melakukan korupsi terkait penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, yang menjadi salah satu obligor BLBI.
Tambak Dipasena sebelumnya dimiliki Sjamsul Nursalim. Namun, Sjamsul menyerahkan tambak tersebut beserta sejumlah asetnya kepada pemerintah karena tak sanggup mengembalikan utang BLBI.
Yang diserahkan adalah hak tagih atas utang petambak udang Dipasena senilai Rp 4,7 triliun. Rupanya, setelah dievaluasi, hak tagih utang itu hanya Rp 1,1 triliun. KPK menganggap Rp 3,7 triliun itu menjadi kerugian negara.