KPK Dinilai Rentan Digugat Praperadilan Akibat UU Baru Berlaku

17 Oktober 2019 20:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
UU KPK yang baru resmi berlaku pada Kamis (17/10) ini. UU tersebut berlaku otomatis 30 hari sejak disahkan DPR pada 17 September, meski presiden tidak menandatanganinya.
ADVERTISEMENT
Berlakunya UU KPK baru itu disayangkan sejumlah lembaga antikorupsi, termasuk Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM. Sebab UU baru tersebut menghapus sejumlah kewenangan KPK. Sehingga membuat KPK rentan digugat praperadilan.
"UU KPK berlaku membuat tidak jelas. Misalnya soal penyidikannya enggak jelas, soal penuntutan harus berkoordinasi juga tidak jelas seperti apa, kemudian status pegawainya, status penyidik itu juga tidak jelas. Sehingga kalau mereka melakukan tindakan hukum, tentu akan digugat di praperadilan," ujar Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril, saat dihubungi, Kamis (17/10).
Diketahui dalam UU yang baru, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum. Pasal mengenai kewenangan pimpinan KPK sebagai penegak hukum itu dihapus dalam UU yang baru. Sehingga menurut Oce, hal itu membuat kewenangan KPK dalam menangani perkara menjadi tidak jelas.
ADVERTISEMENT
"Ketidakjelasan itu muncul karena memang UU hasil perubahan dirumuskan dengan cara yang aneh sekali menurut saya. Antar pasal satu dengan pasal lain kita temukan saling bertabrakan. Sehingga menimbulkan ketidakjelasan, menimbulkan ketidakpastian, bisa membuat langkah KPK setelah ini akan serba tidak jelas juga," tuturnya.
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Ia mencontohkan ketidakjelasan lebih spesifik soal penyadapan di Pasal 12 D. Pasal itu berbunyi:
(1) Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Hasil Penyadapan yang tidak terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi wajib dimusnahkan seketika.
(3) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Menurut Oce, rumusan pasal tersebut masih belum jelas. Sehingga pasal itu rentan mengkriminalisasi penyidik KPK.
"Hasil sadapan yang tidak terkait perkara itu yang seperti apa? Kemudian dimusnahkan seketika itu kapan? Terus jika disimpan maka dipidana, disimpan itu maksudnya disimpan berapa lama?" kata Oce
"Jadi kan ini malah bisa jadi alat untuk mengkriminalisasi pegawai-pegawai KPK dan penyidik KPK," sambungnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kedua kiri), Saut Situmorang (kedua kanan) dan Alexander Marwata (kanan) mengepalkan tangan saat konferensi pers OTT di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Sehingga Oce berpendapat, langkah yang harus diambil untuk menghentikan ketidakjelasan ini dengan menerbitkan Perppu KPK. Hal itu dianggap lebih tepat dibandingkan dengan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Perppu masih terbuka, masih bisa dilakukan, kalau judicial review itu kan lama, bisa berbulan bulan. Sementara KPK enggak bisa bergerak sama sekali sekarang. Idealnya Perppu diterbitkan presiden, mungkin setelah Presiden dilantik," tutur Oce.
ADVERTISEMENT