KPK: Tak Ada Motif Politik dalam Penetapan Imam Nahrawi Jadi Tersangka
ADVERTISEMENT
KPK menegaskan tak ada motif politik di balik penetapan status tersangka Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi .
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, mengatakan bila ada motif politik di balik itu, maka penetapan tersangka Imam Nahrawi dilakukan saat ribut pengesahan revisi UU KPK di DPR.
"Itu tidak ada motif politik sama sekali. Kalau mau motif politik mungkin diumumkan sejak masih ribut-ribut (revisi UU KPK) kemarin. Enggak ada," ujar Syarif saat konferensi pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/9).
Syarif juga membantah tudingan Imam Nahrawi yang mengatakan tak ada pemberitahuan sebelumnya yang disampaikan KPK terkait status tersangkanya. Menurutnya, surat penetapan tersangka (sprindik) telah dikirimkan KPK jauh sebelum konferensi pers dilakukan.
"Saya juga ingin mengklarifikasi dari pernyataan Menpora bahwa dia baru mengetahui kemarin (Rabu). Saya pikir itu salah karena kita sudah kirimkan (sprindik) kalau kita menetapkan status tersangka seseorang itu ada kewajiban dari KPK untuk menyampaikan surat kepada beliau. Dan beliau sudah menerimanya beberapa minggu lalu," tegas Syarif.
Sebelumnya Imam Nahrawi mengatakan menghormati dan akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Meski demikian, ia berharap tidak ada unsur lain di luar hukum dalam penetapannya sebagai tersangka. Ia pun mengaku baru mendengar apa yang disampaikan pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
"Saya berharap ini bukan sesuatu yang bersifat politis, bukan yang bersifat di luar hukum. Dan saya akan hadapi dan tentu kebenaran dibuka seluas-luasnya," ungkapnya di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra III, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).
Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka bersama asisten pribadinya yang bernama Miftahul Ulum. KPK telah menahan Ulum pada 11 September 2019.
KPK menduga Imam dan Ulum terlibat kasus dugaan suap penyaluran dana hibah dari Kemenpora kepada KONI. Selain itu, terkait juga jabatan Imam sebagai Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain terkait jabatan Imam selaku Menpora.
Atas perbuatannya Imam dan Ulum disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara sebelumnya yang menjerat mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana, dalam kasus suap hibah KONI. Dalam kasus itu, Mulyana terbukti menerima suap berupa uang sebesar Rp 300 juta, kartu ATM berisi saldo Rp 100 juta, mobil Fortuner hitam metalik nopol B-1749-ZJB, serta satu handphone Samsung Galaxy Note 9.