KPU Jawab Tuntutan FUI soal Pemilih Orang Gila hingga Cuti Presiden

1 Maret 2019 20:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana pertemuan perwakilan FUI dengan KPU di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, (1/3). Foto: Efira Tamara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pertemuan perwakilan FUI dengan KPU di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, (1/3). Foto: Efira Tamara/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menemui Forum Umat Islam (FUI) sebagai perwakilan dari pihak KPU. Wahyu datang merespon hal-hal yang disampaikan oleh FUI di kantor KPU.
ADVERTISEMENT
"Saya merespons insyaallah kami bertujuh dalam posisi independen. Saya beberapa kali juga menyatakan hal-hal yang menurut saya, harus saya nyatakan," ujar Wahyu saat menemui perwakilan FUI di kantor KPU, Jumat (1/3).
Hal pertama yang disampaikan oleh FUI yaitu mengenai pembatalan hak suara bagi penyandang disabilitas mental atau gangguan jiwa. Wahyu menjelaskan, penyandang disabilitas mental yang dimaksud adalah tuna grahita.
"Sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan hak pilih kepada tuna grahita. Jadi para ustad ustazah, jadi bukan orang gila yang telanjang kita data, enggak," jelasnya.
Suasana pertemuan perwakilan FUI dengan KPU di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, (1/3). Foto: Efira Tamara/kumparan
Wahyu menyebut jumlah disabilitas yang masuk dalam DPT ada berjumlah 360.482 pemilih. Sedangkan khusus untuk tuna grahita berjumlah 53.842 pemilih.
Wahyu juga merespons soal permintaan cuti untuk Jokowi dalam pencalonannya sebagai capres. Wahyu mengatakan, hal itu merupakan perintah undang-undang yang mengatur hal tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jadi KPU itu bekerja sifatnya melaksanakan UU. Jadi memang berbeda dengan pilkada. Pilkada itu kalau ada pertahana yang nyalon maka harus cuti di luar tanggunan negara dan dia menjadi masyarakat biasa," jelasnya.
"Tapi kalau pilpres tidak demikian. Jadi pada waktu pertahana menjadi capres pada waktu yang bersamaan dia juga jadi presiden. Itu perintah undang-undang," tambahnya.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan soal lokasi tabulasi yang dipertanyakan FUI. FUI mempertanyakan mengapa tabulasi selalu dilakukan di Hotel Borobudur. Bagi Wahyu, tidak masalah lokasi tabulasi dipindah ke lokasi lain.
"Terkait tabulasi. Kita perlu ganti suasana Pak. 2014 tabulasi di kantor KPU. Tidak menutup kemungkinan bisa dipindah dari Hotel Borobudur," ujarnya.
Suasana pertemuan perwakilan FUI dengan KPU di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, (1/3). Foto: Efira Tamara/kumparan
Wahyu juga menegaskan, yang dapat memilih hanya Warga Negara Indonesia (WNI). Jadi, WNA yang memiliki e-KTP tentu tidak dapat memilih.
ADVERTISEMENT
"Sekarang ini sejak ada kasus di Cianjur, Ketua KPU melalui rapat pleno sudah menginstruksikan kepada KPU provinsi dan kabupaten, kota, PPK untuk membersihkan semua pemilih apabila ditengarai yang bersangkutan bukan Warga Negara Indonesia. Ya karena belum tentu yang punya KTP itu WNI," jelasnya.
FUI juga sempat memprotes soal fungai quick count atau hitung cepat berbagai lembaga survei. Namun, KPU menegaskan quick count diperbolehkan.
"Quick count itu tak ada urusannya dengan KPU. Menurut UU diperbolehkan ada quick count. Ada batasannya. Quick count itu diumumkan setelah pemungutan suaranya selesai," tuturnya.