KPU Jelaskan soal Penderita Gangguan Jiwa Bisa Nyoblos: Ikut Aturan MK

17 Januari 2019 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner KPU Ilham Saputra di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner KPU Ilham Saputra di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengakomodir penyandang disabilitas mental atau tunagrahita (gangguan jiwa) dapat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 masih menjadi perdebatan. Ada anggapan bahwa pemilih dengan gangguan jiwa dianggap tak bisa memilih dengan akal sehat.
ADVERTISEMENT
Menjawab hal tersebut, Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan peraturan terkait diperbolehkannya orang dengan gangguan mental memilih sudah sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi.
"Sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan ya memerintahkan orang-orang yang mental disorder itu perintah Mahkamah Konstitusi tahun 2015 tentang mereka yang punya kelainan jiwa bisa memilih. Kita akomodir itu," kata Ilham saat ditemui di lokasi debat capres di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta, Kamis (17/1).
Menurut Ilham, dengan adanya amanat MK tersebut, KPU tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Sebab amanat MK selevel dengan undang-undang dan harus dilaksanakan.
Ilustrasi mencoblos (Foto: kumparan/Denny Armandhanu)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mencoblos (Foto: kumparan/Denny Armandhanu)
"(Nanti) KPU dianggap tidak proper atau melanggar peraturan perundangan kalau kemudian tidak menjalankan perintah MK tersebut. Perintah MK itu selevel dengan undang-undang sehingga harus dijalankan," ujar Ilham.
ADVERTISEMENT
Ilham menyebut dari hasil perhitungan DPT, pemilih dengan gangguan mental hanya ada kurang dari satu persen.
"Kemudian hasil dari DPT kita ada 0, sekian persen pengidap disorder mental ini. Dan sekali lagi bahwa mereka kan sama seperti orang kalau dia sakit ya hari H enggak datang," imbuhnya.
"Dia sakit tiba-tiba ya dia enggak datang ke TPS, kumat gitu ya. Jadi sekali lagi bahwa kita juga harus mengakomodir yang tadi saya bilang. Dan menganggap mereka juga merupakan orang-orang yang punya hak memilih," ujarnya.
Terkait adanya anggapan bahwa nanti ketika memilih orang dengan gangguan mental bisa mengamuk di TPS, Ilham memastikan bahwa hal tersebut merupakan spekulasi saja.
"Ah orang mana, itu underestimate itu. (Pas nyoblos) Ya kayak orang biasa. Kalau dibantu itu berkoordinasi dengan TPS sama seperti orang tunanetra dan disabilitas lain, sama saja. Tolong jangan terlalu lebay, coba Anda ketemu orangnya. Dia kan kalau enggak kumat enggak apa-apa," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Pasal 5 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penyandang disabilitas seperti tuna grahita (memiliki gangguan jiwa), memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk memilih pemimpin negara yang berbunyi: Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon presiden dan wakil presiden, sebagai calon anggota DPRD dan sebagai penyenggara pemilu.
Hal tersebut sebelumnya juga telah diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2015 yang berbunyi: pemilih disabilitas mental, sepanjang tidak mengalami gangguan jiwa atau ingatan yang permanen, maka masih memiliki hak pilih. MK menyatakan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa 'terganggu jiwa/ingatannya' tidak dimaknai sebagai 'mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum'.
ADVERTISEMENT