Kritik untuk Din Syamsuddin soal Khilafah Berujung Permohonan Maaf

1 April 2019 20:46 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin usai pimpin rapat pleno ke-36 Dewan Pertimbangan MUI. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin usai pimpin rapat pleno ke-36 Dewan Pertimbangan MUI. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, jagad media sosial diramaikan dengan pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin soal penggunaan isu keagamaan dalam momen Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Awalnya, Din mengimbau agar kedua kubu paslon menghindari penggunaan isu keagamaan seperti penyebutan khilafah (sistem kepemimpinan dengan menerapkan hukum-hukum Islam) karena hal itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat menjelekkan.
Di poin dua, Din menegaskan: Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Quran adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/Khalifatullah fil ardh).
Poin kedua tersebut langsung dikritik oleh Rais Syuriah PCNU Australia, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir). Lewat akun Twitter-nya, Gus Nadir menilai pernyataan Din keliru lantaran tidak bisa membedakan antara sistem khilafah dengan khalifah (gelar yang diberikan untuk penerus Nabi Muhammad SAW dalam kepemimpinan umat Islam).
ADVERTISEMENT
Kritik Gus Nadir lalu dibalas dan ikut dibenarkan oleh penulis sekaligus dosen FISIP UIN Syarief Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi. Burhan bahkan mengatakan jika Din telah salah fatal.
Persoalan pun kian melebar. Masih melalui akun Twitter-nya, Burhan kembali menyinggung Din lewat tulisannya yang dipublikasikan dalam Brill and Asian Journal of Social Science, 2009. Dari situ, Burhan mencatat bahwa masuknya aktivis-aktivis HTI ke Muhammadiyah dan MUI terjadi saat era kepemimpinan Din.
Din langsung memberikan klarifikasi dan merespons semua kritikan itu. Din memastikan tidak ada aktivis HTI yang masuk ke Muhammadiyah.
Berikut penjelasan lengkap Din yang diterima kumparan:
Sdr. Burhan Muhtadi,
Pernyataan anda di atas mislead and misleading. Tidak ada aktivis HTI masuk ke Muhammadiyah apalagi jadi pengurus, yang ada anggota Muhammadiyah (seperti juga dari ormas-ormas lain) keluar masuk HTI. Kalau di MUI, HTI memang salah satu elemen umat Islam yang selalu diundang dalam Forum Ukhuwah Islamiyah sejak era Ketua Umum KH. Ali Yafie sd Ketua Umum KH. Sahal Mahfudz. MUI memang ingin menjadi Tenda Besar bagi semua elemen umat Islam (tidak kurang dari sekitar 70 organisasi). Itu sesuai motto MUI sebagai khadimul ummah dan sekaligus al-khaimat al-kubro. Maka siapa pun Ketua Umum MUI harus mengambil sikap mengayomi semuanya, walau tidak harus bersetuju. Masak dengan umat agama lain kita berbaik, sementara sesama Muslim tidak. Tentu selama mereka tidak melakukan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Sebagai akademisi sebaiknya anda beri bukti siapa aktivis HTI yang jadi pengurus Muhammadiyah atau MUI. Untuk anda tahu Muhammadiyah itu organisasi paling berdisiplin; sesuai AD/ART Muhammadiyah, kalau ada aktivis ormas lain maka dia akan dikeluarkan dari kepengurusan.
Persoalan mereda ketika Burhan akhirnya mengirimkan permohonan maaf, tak lama setelah Din memberikan pernyataan klarifikasi. Burhan menuturkan, pernyataannya tersebut hanya ingin merespons kicauan Nadirsyah mengenai khilafah dan khalifah.
Burhanuddin Muhtadi. Foto: Facebook/@Burhanuddin Muhtadi
Adapun untuk pernyataan Burhan soal banyaknya aktivis HTI yang masuk ke Muhammadiyah sejak era Din, Burhan mengaku merujuk pada laporan media Jakarta Post yang mengutip opini dosen UIN Syarief Hidayatullah, Kautsar Azhari Noer. Selain itu, kata Burhan, dia juga pernah mewawancarai aktivis muda Muhammadiyah yang tak lagi aktif di HTI. Burhan mengirimkan pernyataan ke Din.
ADVERTISEMENT
Berikut penjelasan lengkap Burhan:
Kak Din yang baik, maaf tadi pas Kak Din mengirim pesan, saya dalam perjalanan dari Jakarta ke Malang. Setelah acara peluncuran buku saya selesai, saya baru bisa menanggapinya. Saya bisa memahami jika twit saya membuat Kak Din kurang berkenan, dan karenanya saya mohon maaf jika itu terjadi. Konteksnya saya menanggapi twit Nadirsyah Hosen yang viral soal statement Kak Din. Setelah itu ada senior saya yang berkomentar tentang Kak Din. Nah, lalu saya tiba-tiba teringat paper saya yang dimuat Asian Journal of Social Science 37 tahun 2009, terutama halaman 629-630. Memang fokus paper saya tersebut tentang HTI, tapi ada sub-bab pembahasan infiltrasi HTI ke ormas Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya catatan tentang masuknya HTI ke Muhammadiyah dan MUI sejak terpilihnya Kak Din sebagai Ketua Muhammadiyah tersebut, saya merujuk pada laporan Jakarta Post yang mengutip pendapat orang seperti Kautsar Azhari Nur. Selain itu, waktu riset tentang paper tersebut saya juga mewawancarai beberapa aktivis muda Muhammadiyah yang sayangnya tak bersedia dikutip di paper saya tersebut.
Nama yang disebut adalah Adian Husaini (anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah). Nama lain yang disebut sebagai pengurus MUI dari HTI adalah Ismail Yusanto dan Muhammad Alkhattath. Memang Adian sudah tak lagi aktif di HTI, tapi menurut buku Prof Syamsul Arifin yang diterbitkan UMM Press tahun 2005, Adian termasuk generasi awal HTI. Demikian pula Alkhattath juga belakangan sudah tidak aktif di HTI tapi pada saat paper itu saya tulis beliau masih aktif di HTI.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya apa yang saya tulis bukanlah hal baru. Tulisan Zuly Qadir di Islamika Vol. 3 tahun 2008 menyebut gamblang Muktamar Muhammadiyah di Malang yang menyebabkan tersingkirnya sayap progresif. Beliau juga menyebut pengurus HTI tingkat lokal yang mengajar di lembaga-lembaga Muhammadiyah. Juga studi Lubis dan Jamuin dari UMS.
Saya memang tak detail membahas soal ini karena fokus saya soal HTI dan ideologinya. Mungkin karena ruang yang terbatas di medsos membuat saya tak bisa panjang lebar menjelaskan sehingga terkesan menyudutkan Kak Din. Saya bisa mengerti jika Kak Din ingin menjadikan MUI sebagai tenda besar umat Islam, tapi bagi pihak lain bisa diartikan sebaliknya.
Kesalahan saya adalah pada saat saya riset paper tersebut saya tak mewawancarai Kak Din sehingga data dan informasinya terkesan satu arah. Untuk itu, sekali lagi saya mohon maaf jika twit saya terkesan personal. Sikap saya terhadap HTI tak berubah. Betapa pun saya kritis terhadap HTI, saya tak pernah setuju perpu Ormas yang menjadi pintu masuk pembubaran HTI. Ini bisa dicek di wawancara maupun twit-twit saya sebelumnya.
Nadirsyah Hosen. Foto: Facebook/@Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosen akhirnya juga ikut membuat permohonan maaf tertulis. Nadirsyah mengaku ditegur oleh kakaknya, Nadra Hosen, lantaran kritikannya yang membuat tokoh Muhammadiyah dan MUI geram.
ADVERTISEMENT
"Mohon maaf kalau dianggap terlalu keras. Saya sudah ditegur oleh abang saya, Nadra Hosen, karena akibat kritikan saya tsb banyak tokoh Muhammadiyah dan MUI yang marah. Doa saya untuk Bang Din dan keluarga semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Saya sebenarnya merespon postingan Mustofa Nahra di twitter," ujar Nadir dalam pesannya kepada Din.
Din juga memberikan penjelasan perihal khilafah. Berikut penjelasan Din:
Bismillahirrahmanirrahim.
Saya sudah membaca tanggapan terhadap imbauan saya agar semua pihak tidak kembangkan isu bernuansa keagamaan terkait Pilpres, khususnya Prof Nadirsyah Hosen, Burhanuddin Muhtadi, dan lebih khusus lagi KH. Hamdan Rasyid.
Saya mengucapkan terima kasih atas nasihatnya agar saya belajar dan mendalami bahasa Arab agar jangan sesat dan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Memang saya mengakui pengetahuan saya tentang Bahasa Arab sangat minim, walaupun merasa sudah belajar sejak Madrasah Ibtidaiyah, di Gontor, UIN, hingga S2 dan S3 yang ada seminar dengan menggunakan Bahasa Arab di UCLA dulu. Oleh karena itu saya ingin berguru kepada Ustaz KH. Hamdan Rasyid yang pengetahuan Bahasa Arabnya tinggi dan dalam.
Untuk itu saya ingin beliau menguji pemahaman saya tentang konsep Al-Qur'an, khususnya tentang khalifah dan khilafah. Yang disebut oleh Al-Qur'an memang hanya kata khalifah (tidak ada penyebutan kata khilafah). Namun, karena yang kedua adalah bentuk derivatif dari yang pertama (fa'il dan fi'alah/noun dan verbal noun), maka secara substansial khilafah juga dikandung oleh Al-Qur'an. Tentu ini merupakan kesimpulan kaum substantivis, yang mungkin tidak diterima oleh kaum tekstualis. Sama halnya polemik tentang 'aradh dan jauhar di kalangan mutakallimun maupun falasifah, sebagaimana antara lain dibahas dalam Kitab Ushul al-Din, karya Al-Baqillani, salah seorang ulama Sunni terkemuka.
ADVERTISEMENT
Ini pulalah yang kemudian diadopsi oleh fukaha seperti Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah yg pada baris pertama sudah menyebut khilafah dlm konteks khilafat al-Nubuwwah. Al-Mawardi tentu merujuk kepada konsep khilafah sejak Umawiyyyah hingga Abbasiyyah. Khilafah sebagai lembaga politik selama itu berada di tangan para khalifah. Dari sinilah mulai muncul 'alaqah ma'nawiyah' bahkan tasyaqquq ma'nawi antara kedua istilah yang saling berkelit berkelindan, atau menurut Imam Al-Ghazali dalam Bahasa Persia disebut az yik modar omad. Saya cukupkan sketsa pemahaman awam saya di sini dan dapat dikembangkan dengan membuka kitab para mutakallimun, fukaha, dan falasifah tentang maudhu ini.
Terkait Bahasa Arab yang KH. Hamdan Rasyid lebih luas ilmunya dari saya, mungkin beliau bisa jelaskan "apakah kata khilafah dan khalifah yang berbeda bunyi tidak memiliki kaitan maknawi"? Kalau tidak salah akar kata keduanya sama yaitu kha la fa, yang berarti mengganti, mewakili, atau datang kemudian. Bukankah kalau demikian terdapat 'alaqah ma'nawiyah, walau berbeda wazan. Khalifah adalah orang/pelaku, sedangkan khilafah adalah wujud dari perbuatan khalifah, yang mengandung arti sistem nilai kehidupan. Memang orang yang memahami khilafah sebagai lembaga politik (hukumah siyasiyah/political authority or a form of government) akan mengatakan keduanya berbeda.
ADVERTISEMENT
Hal demikian mafhum adanya. Konsep fukaha siyasah Sunni, sejak Ibnu Qutaybah dengan 'Uyun al-Akhbar, Ibn al-Muqaffa' dengan al-Adab al-Kabir wa al-Adab al-Shagir, hingga Al-Mawardi dengan Al-Ahkam al-Sulthaniyah maupun Al-Ghazali dengan kitab berbahasa Persianya Nashihat al-Mulk sudah lama dikritik oleh fukaha madzhab al-Siyasat al-Syar'iyyah seperti Ibn Taymiyyah maupun Ibn Jama'ah yang menulis Tahrir al-Ahkam.
Kritik lebih keras diberikan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah pada sebuah sub-judul Fi inqilab al-Khilafah ila al-Mulk. Ibnu Khaldun menganggap khilafah historis pasca al-Khilafat al-Rasyidah adalah kerajaan karenanya merupakan sulthah madaniyyah bukan sulthah diniyyah. Khilafah historis itu adalah manifestasi dari patrimonalisme Arab.
Dalam kaitan ini, dari dulu saya tidak menyetujui konsep khilafah modern ala Rasyid Ridha (al-khilafat al- 'uzma), atau Al-Nabhani, maupun Abul Kalam Azad. Ketaksetujuan terhadap konsep khilafah sebagai kekuasaan politik ini (tanpa harus mengecamnya sesat menyesatkan tapi menghargainya sebagai ijtihad), selain mempertimbangkan Ali Abd al-Raziq dgn Al-Islam wa Ushul al-Hukm, juga karena pertimbangan realistik bahwa masyarakat dunia sekarang sudah berada dalam Negara Bangsa (Nation State) yg menuntut pengamalan al-muwathanah al-musytarakah-)(common citizenship). Lebih dari pada itu, di Indonesia tercinta, kita sudah mengukuhkan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Abode of Consensus and Abode of Testimony).
ADVERTISEMENT
Namun, konsep khilafah tidak berarti harus ditiadakan, karena khilafah memiliki konteks pengertian non politis. Dalam kaitan misi mondial manusia yakni sebagai khalifatullah fi al-ardh, maka khilafah dlm tafsir kontekstual dapat berbentuk sistem peradaban yang menampilkan prinsip wasathiyah dan rahmatan lil 'alamin. Pada hemat saya, sistematika baru ajaran-ajaran Islam bisa mengambil bentuk: Tauhid >Khilafah >Ishlah yang berdimensi ganda al-wasathiyah (Jalan Tengah) dan al-'ashriyyah (kemodernan/kemajuan).
Dalam perspektif Bahasa Arab yang sedikit saya pahami, khalifah dan khilafah, yang berasal dari akar kata yang sama memiliki 'alaqah ma'nawiyah jauhariyyah bahkan tasyaqquq ma'nawy.
Maka saya prihatin dengan gegap gempita pengganyangan khilafah politis yang telah membawa dampak sistemik penegasian khilafah kultural dan sivilisisional. Jika ini berkembang, maka Peradaban Islam sebagai al-badil al-tsaqafi, meminjam istilah Tariq Ramadhan ditutup pintu kebangkitannya. Lebih dari pada itu, mengangkat khilafah sebagai isu politik Perpilpresan dan mempertentangkannya dengan Pancasila dalam nada labelisasi dan generalisasi pejoratif, pada hemat saya, potensial mengungkit luka lama yang dengan susah payah kita semua jernihkan tentang hubungan Islam dan Negara Pancasila.
ADVERTISEMENT
Pada latar pikiran di atas itulah sebelum pernyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono (yang memperhadapkan Pancasila dan Khilafah) Dewan Pertimbangan MUI lewat Rapat Pleno ke-37 pada 27 Maret 2019 mengeluarkan Tausiyah. Terima kasih atas tanggapan baik yang positif maupun yg negatif.
Mudah-mudahan pendapat dangkal ini tidak sesat apalagi menyesatkan, seperti yang dituduh oleh KH. Hamdan Rasyid. Allahu a'lam bi al-shawab.
Agaknya ada kesalahpahaman atau paham salah dari satu-dua orang terhadap pikiran yg saya sampaikan sebelumnya tentang khalifah dan khilafah. Mungkin karena terlalu singkat atau karena bahasanya sulit dipahami. Saya sebenarnya bermaksud mengajukan gagasan bahwa realisasi tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh(wakil Tuhan di bumi) sebagaimana disebut dalam al-Qur'an adalah terwujudnya khilafatullahal-ardh (Kekuasaan Allah di Bumi). Manusia sebagai khalifah Allah (Wakil Allah) mengemban amanat mewujudkan yang saya sebut sebagai Khilafah Perenial. Ini adalah misi suci yang harus diemban baik secara individual maupun secara kolektif. Khilafah Perenial ini perlu menjelma dalam Khilafah Kultural atau Sivilisisional, yang tiada lain adalah suatu Sistem Tamaddun/Sistem Peradaban. berdasarkan nilai-nilai Allah yang diwakili (untuk tidak mengatakan Sistem Peradaban Islam).
ADVERTISEMENT
Pikiran ini sudah sering saya sampaikan ketika menjadi pembicara di forum internasional dengan istilah The Alternative Civilization (Tariq Ramadhan menyebutnya dalam Bahasa Arab sebagai al-Badil al-Tsaqafi). Pikiran ini diajukan untuk memberi respons terhadap fenomena peradaban dunia yang mengalami kerusakan serius baik dalam bentuk "gangguan besar" (great disruption), atau "kerusakan dunia yang bersifat akumulatif (accummulative global damages/ fasad al-'alam al-mutarakim).
Di tingkat global ada semacam konsensus bagi adanya Tata Dunia Baru (New World Order). Dalam pembicaraan di kalangan cendekiawan Muslim dunia disepakati perlu adanya jawaban Dunia Islam terhadap problematika dunia tsb. Mahathir Muhammad pada 2010 mengadakan konperensi internasional di Kuala Lumpur dgn tema Toward a New World Order. Dengan obsesi Pesan Bogor 2018 tentang Wasatiyyat Islam, dan Pancasila sebagai Jalan Tengah Islami, pada Agustus 2018 saya adakan The Seventh World Forum dgn tema The Middle Path for the World Civilization (Jalan Tengah sebagai Solusi Peradaban Dunia) yang melahirkan Pesan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Wawasan Jalan Tengah (wasathiyyat Islam), ditambah dengan watak Islam sebagai din al-rahmah wa al-salamah dengan Wawasan Kasih Mondial (rahmatan li al-'alamin/mondial peace and mercy) dan Islam sebagai din al-hadharah (agama peradaban berkemajuan) saya kristalkan menjadi gagasan tentang Khilafah Kultural-Sivilisisional. Saya memilih konsep khilafah karena itu merupakan akar dari penciptaan dan dasar dari eksistensi manusia. Tentu dasar eksistensi ini berpangkal pada prinsip Tauhid (dalam pengertian kemenyatuan penciptaan atau unity of creation) sebagai faktor ontologis/fondasi metafisik. Saya mempertimbangkan konsep Khilafah Perenial sebagai faktor instrumental/faktor epistemologis. Realisasi Khilafah Perenial meniscayakan adanya faktor aksiologis/fondasi etik berupa ishlah atau orientasi kerja kebaikan dan kemaslahatan dalam bentuk amal saleh kebudayaan dan peradaban. Ishlah, dapat diartikan pembangunan/perbaikan/rekonstruksi/restorasi, perlu bermuara pada perdaban saleh. Ayat tentang khalifatullah fi al-ardh dalam al-Qur'an didahului oleh ayat tentang perintah agar manusia melakukan ishlah (menjadi min al-mushlihin).
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, saya mengajukan sistematika baru ajaran Islam dalam kerangka filosofis ontologi, epistemologi, dan aksiologi menjadi: Tauhid >>> Khilafah >>> Ishlah. Namun yang terakhir memikiki tridimensi yakni kasih-sayang (rahmah), Jalan Tengah (wasathiyyah), dan berkemajuan (hadharah). Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut sebuah Peradaban Baru/Tata Dunia Baru (New World Order/New World System) dapat diwujudkan. Inilah yang saya ajukan sebagai Khilafah Kultural-Sivilisisional. Khilafah dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai respons terhadap al-Madinat al-Munawwarah atau peradaban yang mencerahkan (enlightening civilization) yang dibangun Muhammad SAW.
Pada tingkat tertentu, tamaddun seperti itu dikembangkan oleh al-Khilafat al-Rasyidah yaitu empat sahabat Nabi, yang sebenarnya dari awal ingin disebut sebagai Khalifat Rasulillah. Dari titik ini konsep khilafah yang berhubungan dengan sistem kekuasaan bermula. Dari titik ini pula banyak ulama/fukaha, khususnya dari kalangan Ahlussunnah Waljamaah melakukan teoritisasi tentang khilafah sebagai ajaran Islam dan mengaitkannya dengan kenabian seperti Al-Mawardi menyebutnya sebagai khilafat al-nubuwwah, bahkan ada yang mengaitkannya dengan ketuhanan (khalifah sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi/ zhillullah fi al-ardh .
ADVERTISEMENT
Al-Ghazali dalam buku berbahasa Persia mensejajarkan khalifah/pemimpin politik dengan nabi: Nabi dapat wahyu, pemimpin politik dapat farr-i Izady. Sebenarnya konsep khilafah adalah tipikal Sunni (berdasarkan pada syura dan baiah), yang berbeda dengan konsep Syiah yaitu imamah (berdasarkan walayah dan ishmah Dimensi Ilahi pada konsep khilafah ini ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun menilai al-Khilafat al-Rasyidah merupakan kekuasaan keagamaan (al-sulthat al-diniyyah), namun setelahnya berubah menjadi kekuasaan keduniaan (al-sulthat al-madaniyyah). Khilafah historis yang pernah ada setelah Al-Khilafat Al-Rasyidah telah bertransformasi menjadi kerajaan (istilah Ibnu Khaldun: fi inqilab al-khilafah ila al-mulk), dan para orientalis seperti Gibb dan Hudgson menganggapnya sebagai revivalisasi patrimonialisme Arab.
Pada era modern, kritik terhadap revivalisasi khilafat historis datang dari sejumlah ulama/cendekiawan Muslim antara lain Muhammad Imarah, Dhiya al-Din Rais, dan sebelumnya 'Ali 'Abd al-Raziq. Yg terakhir, dalam karyanya Al-Islam wa Ushul al-Ahkam yg ditulis sebagai tanggapan terhadap karya Rasyid Ridha yang berjudul Al-Imamah wa al-Khilafatul 'Uzhma, bahkan secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak menentukan sistem negara atau pemerintahan, tapi diserahkan kepada kaum Muslimin untuk menentukannya berdasarkan kaidah hukum, logika politik, dan pengalaman bangsa-bangsa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, konsep khilafah politik sebagai bentuk revivalisasi khilafah historis yang diajukan oleh sementara ulama setelah likuwidasi khilafah di Turki pada 1924, seperti pada gagasan Rasyid Ridha (al-imamah wa al-khilafat al-'uzma), Abul Kalam Azad (the Caliphate Movement), atau Al-Nabhani dengan Hizbut Tahrir, pada hemat saya, bersifat reduksionis (tahfidh al-ma'ani). Gagasan mereka tentang Khilafah Politik ini memang dapat dipahami dalam konteks logika situasi politik di Dunia Islam pada paruhan pertama Abad Kedua Puluh. Gagasan-gagasan itu perlu dihargai sebagai ijtihad yang mungkin relevan dengan masanya. Namun, pada masa pasca kolonialisme dengan terbentuknya Negara Bangsa (Nation State), dan negeri-negeri Muslim membentuk sistem pemerintahan masing-masing, maka Khilafah Politik tidak diperlukan lagi.
Untuk Indonesia tercinta, pada 17 Agustus 2010 saya menyampaikan Taushiyah Kebangsaan di PP Muhammadiyah dengan judul "Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah" (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Setahun kemudian Ketua MPR Taufik Kiemas (alm) meminta saya menyampaikan pidato pada Peringatan Hari Pancasila 1 Juni, saya sampaikan judul serupa dengan tambahan frasa "Baituna Jannatuna" (Rumah Kita, Surga Kita). Pikiran darul 'ahdi was syahadah merupakan tanggapan terhadap konsep dalam pemikiran politik Islam klasik yang mengenal istilah Dar al-Silm atau Dar al-Islam (Negara Islam), Dar al-Kufr atau Dar al-Harb (Negara Kafir yang bisa diperangi), Dar al-Sulh (Negara Damai), dan lain sebagainya. Alhamdulillah gagasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah menjadi Keputusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar Tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Sebagai konsekuensi logis dari ketetapan hati kita terhadap Negara Pancasila adalah implementasi Pancasila itu sendiri dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Di sinilah masalahnya: kehidupan nasional mengalami distorsi, deviasi, dan disorientasi dari nilai-nilai dasar Pancasila, khususnya dalam sistem politik dan sistem ekonomi. Pancasila terlalu banyak diperkatakan tapi kurang diperbuatkan. Kelemahan bangsa dalam mengamalkan Pancasila membuka celah bagi munculnya paham atau ideologi-ideologi lain. Ideologi-ideologi ini akan subur berkembang jika Pancasila gagal diamalkan secara sejati dan nyata.
Dalam konteks itulah, saya tidak setuju dengan cara kita menghadapi kemunculan ideologi non bahkan anti Pancasila yang lebih mengedepankan kekuasaan, bukan dialogis persuasif. Ideologi berada dalam pikiran manusia, tidak akan mudah hilang dengan membunuhnya, apalagi jika "pembunuhannya" menampilkan ketidakadilan, dan faktor lingkungan diabaikan.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemangku amanat di Organisasi Kemasyarakatan Islam, saya prihatin dan sensitif terhadap cara kita mengatasi masalah yang berhubungan dengan Islam dan umat Islam, seperti masalah terorisme, jamaah, khilafah, dan lain sebagainya. Pemerintah cenderung melakukan generalisasi yang berakibat pada distorsi image Islam. Isu-isu tadi berhubungan dengan ajaran atau konsep Islam. Dan kelompok Islam yang melakukannya sebenarnya memperjuangkan apa yang bisa disebut sebagai self claimed Islamic doctrine (doktrin yang diklaim secara sepihak), karena bukan arus utama pemikiran umat Islam. Maka seyogyanya perlu ada kehati-hatian, agar tidak mendistorsi ajaran-ajaran mulia tadi.
Dalam menjaga keutuhan umat dan mencegah konflik internal yang jika terjadi akan mengganggu stabilitas nasional, Organisasi/Lembaga Islam perlu menjadi "mediating and moderating force" (kekuatan penengah dan pemersatu). Itulah orientasi Muhammadiyah, atau MUI, dan lain-lain yang memilih menjadi Tenda Besar (al-khaimat al-kubro) bagi semua elemen umat. Seperti moto Pondok Modern Gontor, "berada di atas dan untuk semua golongan", orientasi kepemimpinan ini cenderung mengayomi setiap dan segenap elemen, walau tidak bersetuju dengan paham yang dikembangkannya. Dialog intra umat seagama ini lebih utama dan pertama sebelum dilakukan dialog antar umat berbeda agama (ukhuwah Islamiyah sebelum ukhuwah wathoniyyah). Pilihan ini tidak mudah, karena rentan ditolak oleh pihak yang berlawanan, dan rentan dianggap ambivalen. Anggapan itu sah saja, tapi selama diniatkan untuk kemaslahatan maka tidak perlu berhenti di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Dalam latar demikianlah, khususnya gagasan khilafah Kultural-Sivilisisional tadi (bahwa khilafah tidak hanya bercorak politis), saya merasa terusik dengan pengungkapan wacana polarisasi ideologis. Polarisasi demikian, terutama dalam nada generalisasi pejoratif dikaitkan dengan Pancasila. Polarisasi demikian potensial mendorong perpecahan di tubuh bangsa.
Dengan kerendahan hati saya menunggu kritik terhadap substansi pikiran di atas. Tanggapan mengenai pribadi dan mengandung sinisme tentu tidak perlu saya ditanggapi. Ada tanggapan yang menganggap saya pendukung khilafah politik, padahal seperti dijelaskan panjang di atas, saya mengajukan gagasan khilafah baru (sambil ingin merekonstruksi konsep khilafah yang terreduksi dan terdistorsi).
Jelasnya, posisi pikiran yang saya ajukan: Khilafah adalah ajaran Islam yang mulia dan memiliki keluasan dan kedalaman makna. Khilafah Politik merupakan reduksi terhadap kedalaman dan kemuliaan tadi. Khilafah perenial yang Qur'ani perlu dijelmakan oleh manusia (lintas agama dan bangsa) menjadi Khilafah Kultural-Sivilisisional, yaitu Tata Dunia Baru (World Order) untuk menggantikan Sistem Dunia (World System) yang sekuler dan membuat kerusakan dunia yang bersifat akumulatif.
ADVERTISEMENT
Atas kritik dan koreksinya saya ucapkam terima kasih.
Salam,
M. Din Syamsuddin
(ditulis dalam perjalanan dari Zurich menuju Lindau, Jerman, menghadiri Sidang Religions for Peace Internasional).