Kuasa Hukum: Keonaran Ratna Tak Terbukti, Hanya Jadi Komoditas Politik

18 Juni 2019 12:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet menjalani sidang di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Selasa (18/6). Foto: Faisal Rahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet menjalani sidang di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Selasa (18/6). Foto: Faisal Rahman/kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong alias hoaks, Ratna Sarumpaet, memasuki agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi. Dalam pembelaannya, kuasa hukum Ratna, Desmihardi, menyatakan penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tidak bisa membuktikan kebohongan Ratna yang memunculkan keonaran.
ADVERTISEMENT
Menurut Desmihardi, pernyataan itu diperkuat oleh keterangan para saksi di persidangan. Kuasa hukum Ratna menganggap seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa tidak terbukti.
"Keonaran tidak bisa pernah dibuktikan dalam saksi-saksi oleh jaksa penuntut umum. Keonaran yang dimaksud hanya ditafsirkan pendapat ahli karena seolah-olah ada keonaran," ujar Desmihardi saat membacakan pledoi dalam persidangan, Selasa (18/6).
Atiqah Hasiholan (kedua kiri) dan Fathom Saulina menghadiri sidang Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Selasa (18/6). Foto: Faisal Rahman/kumparan
Desmihardi lalu menyoroti soal aksi unjuk rasa yang pernah diungkap saksi kepolisian. Saat itu, saksi menyebut sempat ada 20 orang menggelar demonstrasi di depan Polda Metro Jaya menuntut agar kasus penganiayaan Ratna segera diungkap.
Belakangan, Ratna mengakui kebohongannya dan menyebut lebam di wajahnya adalah efek sedot lemak. Atas dasar itulah, jaksa menuntut Ratna berbuat onar atas hoaksnya.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Desmihardi, keterangan para saksi soal keonaran tidak bisa dibuktikan secara nyata karena hanya menjadi perdebatan di media sosial. Dia menganggap, perbedaan pendapat di media sosial tidak bisa menjadi tolok ukur. Terlebih, kata dia, aksi demonstrasi bukan bentuk keonaran karena diatur dalam Undang-Undang.
"Dalam perkara ini harus diusut secara benar akibat dari cerita penganiayaan, apakah mempunyai pengaruh yang merugikan, terdapat korban atau telah nyata membuat keonaran sehingga situasi nasional diliputi kegemparan, ketakutan, sehingga merugikan masyarakat," paparnya.
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet menjalani sidang di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Selasa (18/6). Foto: Faisal Rahman/kumparan
Desmihardi merasa ada kejanggalan dalam perkara yang menjerat Ratna. Ia mencium aroma politis karena turut menyangkut tokoh-tokoh nasional.
"Perkara yang melibatkan terdakwa melibatkan tokoh-tokoh penting di negara ini, tidak heran apabila perkara ini dijadikan komoditas politik untuk menghantam lawan politik," tudingnya.
ADVERTISEMENT
Desmihardi juga menyinggung barang bukti yang dianggap tidak relevan. Sebab, bukti yang diajukan jaksa salah satunya ialah bukti screnshoot cuitan di twitter. Menurutnya, barang bukti itu untuk pembuktian pelanggaran UU ITE.
Tak hanya itu, Desmihardi juga menyinggung pasal yang disangkakan kepada Ratna. Dalam perkara ini, Ratna dituntut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sidang Pledoi Ratna Sarumpaet di PN Jaksel. Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
Dia menilai, merujuk keterangan ahli hukum pidana Prof Andi Hamzah, pasal itu sudah basi lantaran sudah lama tak digunakan dan ada pasal lainnya yang mengatur perkara hoaks.
"Pasal yang selama 73 tahun belum pernah digunakan untuk menjerat tindak pidana, pasal yang hanya digunakan pada zaman revolusi, apabila terjadi keonaran dan kedaruratan dalam masyarakat," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Jaksa menuntut Ratna dengan hukuman 6 tahun penjara. Ratna dinilai terbukti menyebarkan hoaks terkait penganiayaan terhadapnya di Bandung, Jawa Barat. Ratna juga dinilai terbukti membuat keonaran atas perbuatannya menyebarkan berita bohong tersebut.