Kubu Jokowi: Golput Seperti Mengisi Cek Kosong

4 Februari 2019 13:37 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi surat suara Paslon Capres dan Cawapres. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat suara Paslon Capres dan Cawapres. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir, ajakan golput kembali menguat di media sosial. Sejak 24 Desember sampai 21 Januari, keyword golput muncul dalam 77,5 ribu mentions di Twitter.
ADVERTISEMENT
Titik tertinggi terjadi lima hari pascadebat pertama Joko Widodo-Ma’ruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Menurut data yang disajikan Drone Emprit—sistem monitoring dan analisis media sosial yang dikembangkan oleh Ismail Fahmi—pembicaraan soal golput terus meningkat lima hari pascadebat, berturut turut sejak tanggal 18 sampai 21 Januari, yaitu: 3.689, 5.190, 11.480, dan 15.078 kali.
Menurut Ismail, ada beberapa faktor yang menjadi sebab kenaikan diskusi soal golput di media sosial ini, tiga di antaranya adalah: 1) debat yang berjalan tak menarik, 2) kebijakan yang tak jadi dilakukan yaitu pembebasan Abu Bakar Ba’asyir dan 3) remisi-remisi yang dibagikan Jokowi salah satunya ke pembunuh wartawan di Bali.
Apalagi, pada 23 Januari 2019 kemarin, koalisi LSM yang terdiri dari ICJR, KontraS, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dan YLBHI mengadakan deklarasi “Golput itu Hak dan Bukan Tindak Pidana”. Wacana golput semakin menguat.
ADVERTISEMENT
“Seperti kata Bu Sumarsih, ‘Golput adalah alat untuk mendidik penguasa,’” ujar Alghiffari Aqsa, mantan Direktur LBH Jakarta yang juga turut serta dalam deklarasi tersebut.
Yang patut dicermati, pembicaraan soal golput ramai hanya di kalangan pendukung Jokowi-Ma’ruf saja. Topik yang sama adem ayem di pendukung Prabowo-Sandi. Ini, menurut Yose Rizal dari PoliticaWave, wajar mengingat petahana punya ruang yang teramat besar untuk melakukan blunder.
“Biasanya sih kalau terjadi blunder ya. Let’s say, misalnya kasus ABB. Itu ramai kan memang percakapan kan di pendukungnya 01, ya dipanas-panasin sama pendukungnya 02,” ujar Yose saat ditemui kumparan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (1/2).
Merespons kenaikan pembicaraan golput di kalangan pendukungnya sendiri, secara garis besar Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf tak merasa kaget maupun khawatir. Mereka menganggap golput adalah hal yang lumrah, meski juga mengakui melakukan beberapa cara agar angka golput bisa ditekan.
ADVERTISEMENT
Berikut wawancara kumparan secara terpisah dengan Wakil Ketua TKN Abdul Kadir Karding, Kamis (30/1); Wakil Sekertaris TKN Ahmad Rofiq, Minggu (3/2); dan Direktur Program TKN Aria Bima, Jumat (1/2).
Abdul Kadir Karding Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua TKN
Jadi Jokowi kampanye di kantong-kantong golput?
Ke kantong-kantong yang diprediksi golput. Yang kedua kantong-kantong undecided voters. ini kita harus sasar mengkampanyekan pentingnya mengikuti pemilu bagi masa depan bangsa, dan bagi diri sendiri juga.
Yang kedua mengkampanyekan hasil pembangunan. Itu penting. Kenapa? Karena kalau tidak ada pemimpin yang mendorong pembangunan kan itu tidak bisa jalan. Kalau tidak ada komitmen kan tidak bisa jalan.
Kita harus menghadapi hoaks, fitnah, dan sebagainya, yang menganggap politik itu yang berakibat pada turunnya citra politik. Harus diakui gerakan fitnah, hoaks, bohong, fitnah, saling hajar, ini menurut saya memang harus dikurangi. Menurut saya mereka ada yang mau memilih lalu berubah karena melihat perilaku dan suasana politik jadi malas. Ada seperti itu. Itu harus kita lawan.
ADVERTISEMENT
Ketiga menurut saya, semua orang harus berperan mengajak pada pemilu. Media sosial ini harus menjadi media efektif untuk mengajak. Tentu dengan berbagai cara. Mulai dari soft selling dan hard selling. Saya berharap media-media mainstream juga turut membantu KPU dan kita semua rugi kalau tidak menggunakan suara.
Ada kekecewaan dari kelompok yang sebelumnya mendukung Jokowi. Mulai dari pembebasan Abu Bakar Ba’asyir hinga remisi pembunuh jurnalis Bali. Apakah itu terasa?
Ada satu dua elite mungkin iya. Tetapi kebenarannya kita belum tahu, apakah mereka mendukung Jokowi atau tidak. Atau mereka sudah menjadi bagian dari politik yang lain. Kita nggak tahu soal itu. Jadi nggak bisa di-judge bahwa itu orang Jokowi yang mengajak golput.
ADVERTISEMENT
Karena yang senang dengan kepemimpinan Jokowi jauh lebih banyak.
Kelompok HAM terlihat paling vokal. Mereka mengatakan golput adalah hak. Beberapa pegiat isu HAM juga kecewa dengan tidak terpenuhinya janji politik 2014. Itu terasa di TKN?
Ya nggak juga. Biasa aja, karena wajar orang kecewa. Begini, mereka (ingin) langsung ada perubahan sekarang. Ibarat membalik telapak tangan. Tapi kan dalam kasus HAM tidak semudah itu.
Sejak zaman Soeharto sampai pemerintah SBY tidak ada kasus pelanggaran HAM besar yang bisa terungkap. Tetapi di era Pak Jokowi itu ada kemajuan. Paling tidak Pak Jokowi mendorong Komnas HAM dan kejaksaan untuk melakukan investigasi.
Kedua, menemui keluarga itu, keluarga korban. Memang informasi yang kami peroleh, keluarga korban maunya penyelesaian yudisial, bukan non-yudisial. Sementara hasil investigasi Komnas HAM menurut keputusan Jaksa Agung susah karena sebelum menyelesaikan fakta hukum, belum bisa dinaikkan ke taraf penyidikan. Itu problem kita. Kita nggak bisa campur. Pak Jokowi nggak bisa ikut campur.
ADVERTISEMENT
Tapi upaya penyelesaian kasus HAM besar itu terus dilakukan. Kemudian persepsinya, ‘Oh, ini nggak selesai.’
Aktivis awalnya gamblang mendukung Jokowi. Kampanye golput mereka ini akan melemahkan Jokowi dong?
Nggak. Kami menyadari bahwa tidak semua orang bisa puas dengan pemerintahan Jokowi. Persepsi orang macam-macam. Dulu ada yang mendukung sekarang tidak. Tapi tidak sedikit orang yang dulu tidak mendukung, sekarang mendukung. Itu kan soal persepsi.
Oleh karena itu di alam demokrasi ini nggak ada masalah. Apalagi namanya golput juga oke, nggak ada masalah. Cuma kewajiban moral kita ini harus mendorong masyarakat menggunakan hak pilihnya.
Berkampanye golput itu kalau penguasanya zalim, kalau penguasanya nggak becus, nggak ada yang dia kerjakan sama sekali. Zaman Soeharto dulu saya ikut berkampanye golput karena kacau. Otoriter, diktator, penculikan. Saya ikut kampanye waktu itu.
ADVERTISEMENT
Tapi zaman Jokowi, ia membangun. Bahwa tidak ada yang sepakat pada penyelesaian hukum dan HAM tentu kita hargai. Tentu saya tegaskan sebagai tim kampanye, (pemerintahan Jokowi) melangkah lebih jauh pemerintahan sebelumnya.
Sekjen Perindo, Ahmad Rofiq Foto: Akbar Ramadhan/kumparan
Ahmad Rofiq, Wakil Sekretaris TKN
Soal potensi golput, bagaimana TKN menanggapinya?
Dari pemilu ke pemilu itu tingkat partisipasi kan antara 65-70 persen. Jadi tidak (hanya) dalam pemilu kali ini, pemilu-pemilu sebelumnya 30-40 persen masyarakat tidak hadir di tempat TPS.
Saya membuat dua kategori, yang pertama ada golput yang ideologis. Golput ideologis itu yang tidak menemukan jawaban atas kebutuhan atau atas pertanyaan-pertanyaan terkait kebutuhan bangsa ke depan terhadap dua calon ini. Itu (golput) ideologis karena dia melihat visi misinya tidak ditemukan di situ.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, pemilih golput yang secara teknis punya kendala. Misalkan dia sedang berlibur, bangun kesiangan, malas nyoblos, atau dia ada sesuatu musibah atau hajatan yang kemudian tidak bisa melakukan pencoblosan. Jadi menurut saya golput itu menjadi satu fenomena dari pemilu ke pemilu, jadi tidak ada satu kerisauan apapun.
Jadi bukan sesuatu yang mengherankan ya kalau banyak yang golput?
Iya, tidak mengherankan karena proses pemilu dari waktu ke waktu memang begitu.
Ada kabar Jokowi bertemu para sekjen partai pendukung di dekat kawasan Halim Perdanakusumah untuk membicarakan penekanan angka golput?
Begini, saya tidak tahu pertemuan itu ya. Tetapi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, presiden hari ini tentu mempunyai keinginan partisipasi masyarakat bertambah. Karena dengan besarnya partisipasi masyarakat menunjukkan apresiasi akan hak suaranya semakin berjalan. Tentu itu menjadi sangat penting untuk menyukseskan pemilu besok. Dan setiap pemimpin yang didukung oleh mayoritas itu semakin tinggi legitimasinya. Jadi menurut saya keinginan itu wajar saja.
ADVERTISEMENT
Jadi belum ada pertemuan ya?
Belum ada.
Bagaimana potensi golput dari kalangan pegiat HAM?
Golput itu juga hak demokrasi masyarakat, itu juga diperbolehkan. Masyarakat mau menggunakan hak suaranya atau tidak itu juga bagian dari hak politik.
Tapi satu hal bahwa sangat rugi bila masyarakat itu mengikuti himbauan ajakan tertentu untuk golput. Karena sesungguhnya mereka akan memberikan cek kosong kepada calon pemimpin yang akan datang untuk melakukan apa saja.
Jadi menurut saya harus dihindari golput itu di pemilu yang akan datang karena hanya akan mendatangkan masalah baru.
Di samping kepemimpinannya kurang legitimate karena dukungan masyarakatnya berkurang, di sisi lain ini sama kayak mengisi cek kosong kepada pemimpin yang terpilih untuk melakukan program yang dikehendaki atau yang ia tidak kehendaki.
ADVERTISEMENT
TKN mendekati aktivis HAM dan mengajak mereka agar tidak golput?
Saya tidak melihat rencana ini. Saya belum tahu rencana ini.
Tetapi satu hal yang pasti bahwa komunikasi dengan berbagai pihak penting untuk memberikan satu ajakan positif bahwa mereka harus menggunakan haknya, bisa menentukan pilihannya dengan baik, tidak membiarkan satu proses ini berjalan tanpa ada satu pertanggungjawaban politik dari rakyat karena rakyat tidak memilih.
Direktur Program TKN Aria Bima. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Aria Bima, Direktur Program TKN
Ada kekecewaan terhadap Jokowi tapi juga tidak mau memilih Prabowo. Ini alasan banyak orang untuk golput. Menurut Anda? Nggak ada. Saya kira dari paslon 02 saja yang mewacanakan soal Golput. Yang saya kira itu tidak riil karena pasukan infantri kami door to door. Tolong lihat di bawah. Wacana golput itu hanya dari pasangan 02 yang nggak jelas juntrungannya.
ADVERTISEMENT
Tapi kami lihat, saya ini setiap hari turun dengan pasukan yang ada. Jadi ini pileg dan pilpres. Ada pileg rasa pilpres, dan pilpres rasa pileg. Ini tidak beda dengan 2014. Saya yakin tidak ada yang namanya kecenderungan. Di dalam kampanye ada yang namanya kecewa balik lagi. Hal yang biasa amplifikasi di sosial media.
Di bawah satu rumah kemasukan dua gambar tiga gambar. 5 kalender 5 kaos. Itu hanya framing yang mengada-ada. Bikin sensasi yang imajiner.
Saya yakin bahwa akan terjadi tingkat partisipasi yang cukup tinggi di atas 2014 karena sekarang ini antara Pileg dan Pilpres bareng. Baik itu legislatifnya di tingkat daerah, pusat, provinsi, bersama Pilpres.
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
Jadi tidak khawatir dengan isu golput ini ya?
Wacana itu sengaja dibangun untuk menggiring seolah-olah golput berkembang. Golput itu justru berpindahnya soft supporter Prabowo yang nggak bisa menjawab dalam debat. Prabowo itu gagal menjawab, tidak bisa mendengarkan, yang jelas bisa dilihat di survei, apa yang mau dijual. Saya tanya coba.
Apakah seorang presiden semacam itu memaparkan visinya mana, misinya mana, programnya yang mana, nggak jelas. Mendengarkan pertanyaan saja nggak bisa. Yang ditanya host apa, moderator apa, dari Pak Jokowi tanya apa, nggak nyambung dot com. Coba masa pemimpin mau mendengarkan persoalan nggak bisa. Itu lah justru saya yakin kemarin dalam debat justru banyak soft supporter Prabowo yang lari.
ADVERTISEMENT