Lovebird Kusumo

Kusumo: Hikayat Seekor Legenda

7 Desember 2018 9:32 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi meninggalnya lovebird Kusumo.  (Ilustrator: kumparan/Herun Ricky)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi meninggalnya lovebird Kusumo. (Ilustrator: kumparan/Herun Ricky)
“Ziz! Aziz, mreneo!
Parau teriakan Sigit Marwanta kontras dengan lengang dini hari Desa Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
Sigit belum bisa tidur. Ia bertafakur di tengah pendopo rumahnya yang seluas lapangan tenis. Sementara di telapak tangannya, Kusumo bernapas pelan dan semakin lemah.
Sigit tahu firasat buruknya seminggu terakhir akan segera menemui jawab.
Telah jadi kebiasaan dia menilik Kusumo sesampainya di rumah. Pagi itu tak berbeda. Tiba di rumah saat pergantian hari, setelah menengok kedua anaknya yang telah lelap, Sigit lanjut menyapa Kusumo. Ritus rutin Sigit tiap malam dimulai: memandikan Kusumo.
“Cuma dibersihin, semprot lembut. Jangan sampai basah kuyup mandiinnya,” katanya suatu kali. Kali itu juga sama. Setelah bulir halus air di tubuh Kusumo mengering, Sigit membawanya ke lantai. Keduanya sama-sama duduk berselimut hawa dingin kaki perbukitan Gunung Kidul yang kering.
Telah pukul 01.20 saat Kusumo menampakkan gelagat-gelagat tak biasa. Ia ngruji. Ribut. Menampar-namparkan badannya pada jeruji. Cotoknya yang merah gelap berkelotekan menggasak besi.
Sigit bingung. Seingatnya tadi, paruh Kusumo sudah ia bersihkan. Tubuhnya juga sudah kering. Ia mendekat dan pelan-pelan memasukkan tangan dan membuka telapaknya ke dalam sangkar.
Kusumo lantas tenang dan mendekat pelan pada tangan si empunya―yang justru semakin aneh. Biasanya, Kusumo akan langsung mematuk-matuk tangan siapa saja yang menyusup, bahkan Sigit sekalipun. Hal itu kini tak terjadi. Kusumo merapat dan rebah di telapak.
Oh, mungkin memang benar. Sudah waktunya.
Aziz yang semula di lantai dua gedung sebelah, turun menuju pendopo. Di sana, dilihatnya laki-laki yang memanggilnya itu telah bersanding dengan Kusumo. Pukul 01.43.
“Ziz, ini Kusumo sudah pamitan,” kata Sigit pelan. Kacamatanya ia tempel-balik di belakang kepala, membingkai rambutnya yang sengaja ia biarkan beruban.
Aziz tak paham maksud bosnya itu. Pamitan? Bosnya pasti meracau, tidak bisa tidak.
“Wah, njenengan itu ngawur. Nggak mungkinlah. Wong sehat-sehat saja,” balas Aziz lugas. Ia mengeraskan ucapannya itu bukan buat menyanggah perkataan Sigit, tapi lebih untuk ngayem-ayemke ati dari kemungkinan ditinggal Kusumo yang juga rajin ia rawat.
Sigit jauh lebih ikhlas. Meski melihat sendiri tak ada luka seperti gigitan serangga yang biasa jadi pangkal matinya burung peliharaan, Sigit sudah merasa waktu Kusumo tak bakal lama lagi, sejak beberapa hari terakhir.
Beberapa kali waktu wiridan, Sigit merasa Kusumo meminta padanya agar dipindahkan dari pejantannya. “Nggak lama lagi ini,” pikir Sigit.
“Batin, kita pasti merasakan. Contoh, kalau anak kita sakit. Walaupun jauh, nggak ada kabar, kita tetap merasa ada sesuatu yang salah,” ujarnya.
Bagi Sigit, Kusumo adalah bagian dari dirinya, bagian dari keluarganya.
Sigit Marwanta dan salah satu koleksi lovebirdnya. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sigit Marwanta dan salah satu koleksi lovebirdnya. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
Semesta Kusumo
Yang kusukai, manusia berkepala putih itu selalu paham apa mauku. Pernah, beberapa kali, rumahku tak seperti biasa. Perabotan sedikit bergeser dari sedianya, sisa tipis bulu liyan, dan bau asing―kami sebenarnya tak terlalu cermat―yang menguar. Hawa, meski samar, jelas jadi berbeda.
Tapi manusia itu paham apa mauku. Setelah aku muntab menjadi-jadi, meloncat dari bawah ke atas, kiri ke kanan, tegak lurus hingga diagonal melabrak segala menghasilkan gempar yang amat sangat, manusia berkepala putih itu mendekat dan mengulurkan tangan memberi jaminan. Lalu rumah baru.
Tak hanya soal rumah, manusia berkepala putih itu juga memperhatikan kebutuhan dan kesenanganku yang lain. Ia peduli pada hal-hal kecil, yang tak jarang dilupakan manusia-manusia lain pemilik sesamaku yang kudengarkan sembari kami menunggu digantang.
Ia, misalnya, tahu kami suka bermain dalam hujan. Saat air langit jatuh tak begitu deras, ia mau rutin berbasah-basahan mengantar kami berloncatan mencipratkan basah ke bulu-bulu kami. Di kali lain saat terik, ia tahu aku tetap butuh area gelap untuk berteduh di sela-sela proses menghangatkan tubuh.
Ia juga tak sungkan mengimbuhkan dahan di dalam kandang. Ia sediakan air dan buah-buah yang kadang buatnya sendiri tak terhidang, macam apel, sari ginseng, dan air pati sarang walet. Bahkan, ia buatkan kolam berpancuran di tepi kandang, agar kami merasa di luar sana, di tepi tebing dengan gemercik air terjun yang mendesik.
Aku suka manusia beruban itu. Ia mengerti. Bagaimana aku bisa tak suka? Mungkin kecil saja buatnya, tapi bagi kami istimewa.
Koleksi lovebird Breeder Apri. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi lovebird Breeder Apri. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
Maka, ketika di hari-hari tertentu ia membawaku ke hadapan banyak orang, menghidangkanku di samping nama-nama lain sepertiku, aku membalas budi. Aku tak mau kalah.
Ketika mereka yang digantang sepertiku mengeluarkan siul keras, maka aku akan bersiul lebih keras lagi. Jika mereka mengalunkan nyanyian panjang, maka aku akan bernyanyi lebih panjang lagi.
Jika mereka berkeras, aku akan bersikeras. Kalau mereka tak tahu diri dan menantang lagi, aku tak akan mundur: akan kudendangkan rupa-rupa lagu yang tak akan bisa mereka serupai; akan aku luncurkan naik-turun gita yang memikat, yang menyipit di beberapa tempat, mengubahnya dari tembang girang ke rapalan pilu dan menggoncangnya kembali ke riuh kekeh tak berjeda. Lalu mereka perlahan diam, luncas, kering akan energi dan imaji. Sementara itu kulanjutkan jaya rapalan mantraku juga busung dadaku. Aku tegas dan menantang, tubuhku ndengkek dan mengejek.
Maka aku akan melihat manusia berkepala putih itu, yang dikelilingi sorak bungah manusia-manusia lain, tersenyum dengan mata berbinar. Bagiku, itu sudah cukup.
Ilustrasi lovebird juara (Foto: kumparan/Herun Ricky)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lovebird juara (Foto: kumparan/Herun Ricky)
Bahagiamu, Bahagiaku
Buat Sigit, apa yang ia persembahkan buat Kusumo tak berlebihan. Ia hanya membalas apa yang telah diberikan Kusumo kepadanya: kebahagiaan.
Rumusnya dalam memelihara Kusumo pun tak pernah neko-neko. “Kita jangan ngikuti maunya kita, tapi kita ngerti maunya hewan,” kata Sigit, yang masih punya 50-an koleksi lovebird yang tersebar di beberapa tempat.
Pernah suatu kali, ia membelikan sebuah sangkar cungkok yang dipesan dari Tiongkok. Niatnya sudah jelas, memberikan kebahagiaan pada ia yang telah membuat dia berbahagia. Sigit ingin memanjakan Kusumo. Tapi apa daya, Kusumo menolaknya. Ia tak kerasan.
“‘Ini burung kenapa? Sudah tak pesenin bagus-bagus, mahal, tetap nggak mau.’ Ya sudah. Ternyata dia senangnya sangkar yang standar. Ya saya balikin (ke sangkar lama),” cerita Sigit.
Sigit juga sadar, Kusumo tak mau sangkar yang pernah dimasuki burung lain. “Kalau dia buat klothekan di jerujinya, itu tandanya dia nggak suka. Minta ganti.”
Lagi pula, Sigit merasa, apa yang diberikan Kusumo buatnya jauh melebihi apa yang sudah ia korbankan.
“Dari awal berangkat ikut lomba, sama kru-kru juga nggak pernah ada target. Yang penting burungmu pada kerja maksimal, udah seneng,” kata Sigit, yang punya 15 orang kru untuk membantunya mengurus burung-burung peliharaannya.
“Juara apa enggak, itu ranah juri. Kita buat seneng-seneng. Masuk 10 besar saja sudah senang saya. ‘Wih, burungku bisa koncer!’ Rasanya puas kalau kita ngerawat dan dihargai.”
Kusumo dan Sigit Marwanta menerima predikat Burung Legendaris dalam Presiden Cup V (Foto: Dok. Aziz Jupiter)
zoom-in-whitePerbesar
Kusumo dan Sigit Marwanta menerima predikat Burung Legendaris dalam Presiden Cup V (Foto: Dok. Aziz Jupiter)
Jika benar Sigit sudah bahagia dengan predikat Kusumo di 10 besar juara, ia pasti kenyang menemukan ekstase selama memelihara Kusumo dalam tujuh tahun terakhir.
Bagaimana tidak, dalam kurun waktu 3,5 tahun Kusumo berkiprah di singing contest lovebird tingkat nasional, ia berhasil menyabet juara 1 selama lebih dari 350 kali. “Kusumo itu bisa ikut sampai enam-tujuh kelas dalam sekali lomba,” ujar Sigit.
Sigit tak berbohong. Catatan paling lengkap tentang kiprah Kusumo pernah dibuat Panji, wartawan Media Ronggolawe berbasis Yogyakarta yang khusus mengulik perburungan nasional. Dalam laporannya yang terbit pada 17 September 2016, Panji mencatat kemenangan yang diraih Kusumo selama 16 bulan, yaitu sejak awal 2015 hingga September 2016.
Total, menurut catatan Media Ronggolawe, Kusumo berhasil menyabet juara satu sebanyak 228 kali.
“Setelah itu dia menang terus, kira-kira persisnya sekitar 400-an kemenangan (juara satu),” ujar Panji. “Itu jumlah yang juara satu. Kalau yang cuma tiga besar sudah nggak dihitung.”
Rekor ini tak ayal menempatkan Kusumo di atas burung-burung legendaris yang pernah ada di Indonesia. Tak hanya di kalangan lovebird saja, namun juga di jenis-jenis lainnya. Catatan Kusumo tanpa keringat melewati rekor Suara Sakti, murai batu milik Andy Donk yang mendapatkan rekor MURI pada 2009 sebagai peraih juara satu terbanyak berjumlah 102 kali.
Kehebatan Kusumo juga diakui oleh para pesaingnya. Danang Barker, pemilik lovebird Roro yang pernah beberapa kali menjadi pesaing terkuat Kusumo dan saling berebut juara satu, mengatakan bahwa Kusumo cuma satu. “Ya memang Kusumo. Untuk lovebird, memang legendanya Kusumo,” kata dia.
Saking saktinya, Kusumo bahkan sempat dilarang turut serta di lomba lovebird tingkat regional. Panitia beralasan, kalau Kusumo ikut, tak ada peserta lain yang berani ikut.
Koleksi lovebird Breeder Apri. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi lovebird Breeder Apri. (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
Rekor luar biasa Kusumo mengerek harganya ke level yang tak lagi masuk akal. Sempat ditawar Rp 400 juta pada Februari 2014, penawaran terhadap Kusumo melonjak sampai Rp 1 miliar di awal tahun berikutnya.
Sigit yang menerima tawaran justru terheran-heran, “Ini yang nawar stres atau mabuk?”
Terhadap tawaran-tawaran tersebut, Sigit diam saja. Masalahnya, diamnya Sigit diartikan oleh para penawar bahwa Sigit meminta harga yang lebih tinggi.
“Ada tiga orang yang kemudian nawar. Yang pertama, Rp 1,5 miliar plus Fortuner, satunya nambah Rubicon, satunya nambah Alphard,” aku Sigit, yang bercerita sambil terkekeh dan geleng-geleng. “Ini orang mabuk semua. Gila semua.”
Setelahnya, Sigit mengutus salah seorang pegawainya untuk menyampaikan pesan pada si penawar. Inti pesannya adalah agar penawaran-penawaran itu dihentikan.
“Ini bukan penawarannya kurang. Itu sudah tinggi bukan main,” kata Sigit mengulang apa yang ia sampaikan pada si penawar.
Sigit lalu menjelaskan alasannya, “Satu, ini ada kedekatan batin saya dan anak saya sama burung ini. Yang ngasih nama itu anak saya yang pertama, diambil dari nama dia, Kaila Kusuma. Makanya dipanggil Kusumo.”
“Alasan kedua, teman-teman pencinta lovebird ngomong, ‘Mas, mbok Kusumo jangan dilepas. Biar jadi ikon kita.’ Akhir 2016 saya putuskan Kusumo nggak akan saya jual sampai kapan pun.”
Kusumo Lovebird (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kusumo Lovebird (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Sigit tak mau menyebut secara gamblang siapa yang terus mendesaknya untuk menyerahkan Kusumo. Sambil tertawa kecil, ia menjawab penuh misteri, “Adalah, pengusaha dari Jawa Timur.”
Menurut Sigit, pertanyaan mengapa ia tak menjual Kusumo dengan harga fantastis, tak kalah banyak dengan permintaan agar ia mempertahankan burung peliharaannya itu.
Materi memang tak pernah menjadi pertimbangan caleg DPR RI dari PKB itu, yang dalam kesehariannya berbisnis dan menjadi konsultan konstruksi, serta mengelola PT Widodo Makmur Perkasa―perusahaan di bidang peternakan yang memiliki empat kandang dengan kapasitas 20 ribuan ekor sapi di masing-masing kandang.
“Bukan sok sugih atau apa. Saya banyak perhitungan. Ini bukan masalah nilai, tapi rasa dan kedekatan,” ujar Sigit, yang mendapatkan Kusumo di Pasar Burung Wedi, Klaten dengan harga Rp 3,5 juta pada Agustus 2012.
Kusumo, sang legenda, kini tengah diawetkan oleh para ahli dari Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Sigit ingin dia abadi untuk pencinta lovebird yang mengenalnya.
------------------------
Catatan
Cungkok: jenis sangkar untuk kontes Menggantang: menggantung burung beserta sangkarnya, biasanya untuk dinilai Klothekan: membuat keributan dengan memukul benda keras Koncer: moncer, menang dalam lomba Mreneo: kemarilah Ndengkek: gaya berdiri burung yang tegas menantang Ngayem-ayemke ati: menenang-nenangkan hati Ngruji: menabrak-nabrakkan tubuh, paruh, kuku pada sangkar Njenengan: “Anda” untuk yang lebih dihormati Sugih: kaya
------------------------
Bagaimana pertarungan pasar burung di Indonesia? Simak selengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Setelah Lovebird Kusumo Mangkat
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten