Lebih dari 16 Ribu Orang Teken Petisi 'KPK dalam Bahaya'

4 Juni 2018 16:52 WIB
Gedung Baru KPK (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Baru KPK (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sahabat Indonesia Corruption Watch (ICW) menginisiasi petisi 'KPK dalam Bahaya' di situs change.org. Melalui akun SahabatICW, petisi itu ditujukan untuk Presiden Joko Widodo agar menarik aturan atau delik korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang dinilai dapat membahayakan KPK.
ADVERTISEMENT
"Jika RKUHP disahkan, KPK akan jadi 'Komisi Pencegahan Korupsi," ujar Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/6).
Emerson menyebutkan, hingga pukul 15.55 WIB, sekitar 7.150 orang telah menandatangani petisi. Namun, saat dilihat kumparan pukul 16.40 WIB, tanda tangan sudah terkumpul lebih dari 16 ribu.
Dikutip dalam situs change.org, petisi ini digerakkan lantaran DPR dan pemerintah akan segera meneken RKUHP itu sebelum 17 Agustus mendatang. Terlebih, terdapat substansi di dalamnya yang dapat mengancam eksistensi KPK.
Emerson Yuntho (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Emerson Yuntho (Foto: Aria Pradana/kumparan)
"Jika RKUHP disahkan maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP). Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya Kejaksaan dan Kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi," bunyi petikan tersebut.
ICW buat petisi tolak delik korupsi dalam RKUHP. (Foto: change.org)
zoom-in-whitePerbesar
ICW buat petisi tolak delik korupsi dalam RKUHP. (Foto: change.org)
Kedua, menurut Sahabat ICW, terdapat sejumlah delik korupsi dalam RKUHP yang justru menguntungkan para koruptor. Pasalnya, ancaman pidana dan denda yang diberikan dalam RKUHP, lebih rendah dari Undang-undang Tipikor itu sendiri.
ADVERTISEMENT
"Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena R KUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum," tulis petisi itu.
Terkait hal ini, pemerintah sebelumnya sudah menjamin bahwa tidak akan ada dampak apa pun dengan masuknya pasal tipikor di revisi KUHP tersebut.
Aturan pasal Tipikor itu, diusulkan pemerintah dalam RKUHP mengacu kepada pasal 2, 3, 5, dan 11 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pada pasal 2 dan 3 UU Tipikor, lamanya pidana diatur paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara, dalam revisi KUHP ini, konsep yang dibangun dan sepakati pidana paling lama 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Berikut bunyi dua petikan petisi tersebut:
Oleh karena itu kami mempetisi:
1. Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR serta Ketua Umum dari Partai Politik di DPR untuk segera menyelamatkan KPK dari bahaya dengan segera menarik seluruh aturan atau delik korupsi dalam R KUHP.
2. Pemerintah dan DPR agar lebih memprioritaskan pada pembahasan regulasi atau Rancangan Undang-Undang yang mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti Revisi UU Tipikor, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan RUU Perampasan Aset hasil kejahatan.