Ledakan Populasi Afrika: Jawaban atas Krisis Demografi Eropa?

7 Desember 2017 20:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Imigran Afrika membawa seorang bayi (Foto: REUTERS/Ismail Zitouny)
Juni 2017 lalu, Department of Economic and Social Affaris PBB merilis laporan berjudul World Population Prospects: The 2017 Revision. Salah satu hasil laporan yang cukup “merisaukan” adalah, tren pertumbuhan penduduk di Afrika diperkirakan akan terus meningkat selama beberapa dekade mendatang.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2050 nanti, populasi penduduk di kontinen itu diprediksi bertambah dua kali lipat dari total populasi saat ini. Pada 2017, total populasi di Afrika hanya berjumlah 1,2 miliar jiwa. Sementara itu, pada 2050 nanti penduduk di kawasan Afrika diperkirakan naik menjadi 2,5 miliar, dan bertambah dua kali lipat menjadi 4,5 miliar pada 2100.
Laporan ini seakan mengamini apa yang telah diramalkan European Parliament Research Service pada 2015 silam.
“Melihat tren pertumbuhan penduduk tersebut, Afrika akan menjadi “mesin” demografi dunia di abad ke 21, dan satu dari empat angkatan kerja dunia akan berasal dari Afrika pada 2050 nanti --peluang yang dapat menjadikan Afrika sebagai kekuatan ekonomi global di masa mendatang.”
ADVERTISEMENT
Pada 2017 sampai 2050, diperkirakan separuh pertumbuhan populasi dunia akan terkonsentrasi hanya pada sembilan negara: India, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Pakistan, Ethiopia, Tanzania, Amerika Serikat, Uganda, dan Indonesia.
Di samping itu, pertumbuhan penduduk di 47 negara-negara paling miskin di dunia juga akan mengalami tren pertumbuhan yang relatif tinggi. Kombinasi populasi di kelompok negara-negara ini diperkirakan akan meningkat hingga 33% di tahun 2030 ketimbang populasi saat ini. Karena peningkatan itu, populasi di negara-negara tersebut akan mencapai 1,9 miliar jiwa di tahun 2050.
Sementara di Asia, tren pertumbuhan populasi penduduk diperkirakan akan terus meningkat sampai 2050, dan kemudian akan menyusut di tahun 2100. Saat ini, populasi Asia mencapai angka 4,5 miliar jiwa. Jumlah populasi tersebut akan naik menjadi 4,9 miliar di tahun 2030, dan naik sekali lagi menjadi 5,2 miliar di tahun 2050, dan baru akan turun menjadi 4,7 miliar di tahun 2100 nanti.
ADVERTISEMENT
Laporan PBB itu, singkatnya, memproyeksikan bagaimana populasi penduduk di negara-negara miskin dan berkembang akan meningkat pesat. Pertanyaannya, apakah bertambahnya jumlah penduduk negara-negara miskin itu akan dianggap sebagai berkat, atau justru lebih mirip sebuah kutukan yang akan semakin menambah masalah bagi dunia.
Anak-anak Afrika (Foto: Finbar O'Relly)
Ketimpangan Struktur Demografi
Ketika pola pertumbuhan populasi penduduk di Asia dan Afrika diproyeksikan akan terus meningkat, kondisi sebaliknya justru akan berlangsung di negara-negara Eropa. Selama kurun waktu 2017 sampai 2100 nanti, populasi penduduk di negara-negara Eropa diproyeksikan akan terus menyusut.
Laporan PBB memprediksi pada 2030 nanti, populasi penduduk di Eropa akan berkurang menjadi 739 juta jiwa, dari jumlah sebelumnya di 2017 yang mencapai 742 juta jiwa. Angka ini akan terus menyusut: di 2050 nanti jumlah penduduk akan berkurang menjadi 716 jiwa, dan kembali berkurang menjadi 653 juta di 2100.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan The Guardian, saat ini, negara-negara Eropa sedang mengalami krisis demografi yang disebabkan oleh rendahnya tingkat fertilitas di kawasan tersebut. Tingkat kelahiran di 28 negara Uni Eropa hanya 1,58 anak per wanita, dengan tingkat fertilitas tertinggi di Perancis, Swedia, dan Inggris. Padahal, tingkat fertilitas yang dianggap ideal untuk menggantikan penduduk yang mati dan menua di Eropa berkisar pada angka 2,1 kelahiran per wanita.
Sarah Harper, profesor studi gerontology dari University of Oxford memperkirakan, pada 2030 nanti, setidaknya separuh dari total populasi di Eropa akan berusia di atas 50 tahun. Fakta itu --selain menimbulkan konsekuensi sosial-- juga berdampak pada sektor ekonomi.
Dengan kondisi demografi seperti itu, negara-negara Eropa akan menanggung beban ekonomi yang besar --berupa layanan kesehatan dan jaminan pensiun yang berbiaya besar, sementara persentase penduduk produktif yang relatif kecil.
ADVERTISEMENT
Harper memperkirakan, pada tahun 2030 nanti, di antara empat penduduk Eropa, tiga orang di antaranya adalah pensiunan yang tidak produktif. Kondisi tersebut jelas akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara Eropa
Dengan rendahnya tingkat fertilitas itu, negara-negara di Eropa sesungguhnya masih membutuhkan kedatangan imigran, terutama yang berusia muda, untuk menghindari bencana demografi. Afrika?
Para pensiunan di Eropa (Foto: Petros Giannakouris)
Migrasi dari Afrika ke Eropa
Salah satu masalah lanjutan yang disorot oleh laporan PBB tentang proyeksi pertumbuhan penduduk dunia, adalah kemungkinan meningkatnya jumlah imigran antar kawasan. Terutama, dari negara-negara miskin dan berkembang ke negara-negara maju.
Berdasarkan laporan PBB dalam International Migration Report 2015, jumlah imigran secara global mencapai angka 244 juta jiwa. Namun, tidak seperti yang kita perkirakan, imigran dari Afrika hanya mencakup 14 persen dari jumlah tersebut. Fakta itu menunjukan, bahwa imigran asal Afrika tidak serta merta bermigrasi ke negara-negara maju.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015, International Organization of Migration (IOM) menyebutkan bahwa setidaknya hanya ada 9,1 juta imigran yang berasal dari Afrika di Eropa. Sementara imigran asal Asia, jumlahnya justru mencapai 20 juta jiwa.
Menurut IOM, mayoritas imigran yang menuju Eropa berasal dari Eritrea, Somalia, dan Sudan. Mereka bermigrasi ke Eropa untuk menghindari perang, represi politik, dan kemiskinan. Sementara imigran yang berasal dari negara Afrika bagian barat, seperti Nigeria, Pantai Gading, Mali, atau Senegal jumlahnya justru relatif kecil. Menurut seorang staf IOM, Monica Chiriac, mayoritas imigran asal Afrika Barat tersebut berusia muda dan bermigrasi ke Eropa untuk mencari peruntungan ekonomi yang lebih baik
“Kurangnya kesempatan-kesempatan ekonomi di negara asal mereka dan harapan untuk masa depan yang lebih baik adalah faktor-faktor yang mendorong mereka bermigrasi”, ungkapnya
Imigran Afrika (Foto: Giorgios Moutafis)
Respons Negara-negara Eropa
ADVERTISEMENT
Negara-negara di Eropa, terutama lewat organisasi regional Uni-Eropa, menyadari tren pertumbuhan penduduk di Afrika dan kemungkinannya mempengaruhi masa depan Eropa.
Pada 2016 lalu, Uni Eropa melalui kerangka kerja sama 2016 Partnership Framework Agreement on Migration berupaya menjalin kerja sama dengan negara-negara berkembang dalam bidang pengelolaan migrasi.
Teknokrat-teknokrat di Uni Eropa menggunakan bantuan-bantuan pembangunan, dalam bentuk pendanaan, untuk menekan negara-negara asal imigran, seperti Ethiopia, Mali, Niger, dan Nigeria untuk menerapkan kebijakan pencegahan migrasi.
Mali adalah negara pertama yang menerima bantuan “Money for Migration”. Pada Desember 2016, Mali memperoleh bantuan pendanaan sebesar 145,1 juta euro. Namun, bantuan tersebut tidak datang tanpa syarat: pemerintah Mali harus bersedia merepatriasi imigran ilegal Mali dari Eropa, menyediakan mereka lapangan pekerjaan, dan menanggulangi penyelundup maupun organisasi kriminal perdagangan manusia di Mali
ADVERTISEMENT
Respons Uni Eropa tersebut menunjukkan bahwa: meskipun dihadapkan pada krisis demografi yang nyaris tak terhindarkan, orang-orang Eropa tampaknya masih sulit menerima migrasi dengan skala besar sebagai solusi atas persoalan mereka tersebut.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!