Lion Air, Singa Langit yang Terempas

5 November 2018 9:01 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus Lion Air Terempas. (Foto: kumparan/Herun Ricky)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Lion Air Terempas. (Foto: kumparan/Herun Ricky)
I will spend all this money to stop my plane crashing. ― Rusdi Kirana
Rusdi Kirana membatalkan sejumlah agendanya di Negeri Jiran begitu mendengar kabar pesawat Lion Air jatuh ke laut. Sejumlah pegawai KBRI Kuala Lumpur mengatakan, Duta Besar RI untuk Malaysia itu tampak terpukul. Sore harinya, Senin (29/10), Rusdi bertolak dari Kuala Lumpur menuju Jakarta dengan jet pribadi.
Esoknya, ia muncul di ruangan Crisis Center Lion Air di Hotel Ibis Jakarta Cawang. Pendiri dan pemilik Lion Air itu berjumpa dan berbicara dengan keluarga para korban JT 610 sambil menahan tangis. “Saya mohon maaf. Saya turut berdukacita. Saya juga sedih,” ujarnya sambil menggenggam tangan kerabat korban dan duduk bersama mereka.
Rusdi Kirana menemui keluarga korban JT 610, pesawat Lion Air yang jatuh ke laut. (Foto: Facebook/Lion Air Group)
zoom-in-whitePerbesar
Rusdi Kirana menemui keluarga korban JT 610, pesawat Lion Air yang jatuh ke laut. (Foto: Facebook/Lion Air Group)
Sepanjang pertemuan, Rusdi membungkukkan tubuh dan merendahkan kepala di hadapan para famili yang berkabung. Ia tak dapat menyembunyikan batinnya yang terguncang. “Terus terang, saya sangat syok,” kata dia.
Tak bisa tidak, sebab petaka PK-LQP JT 610 Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di perairan Karawang merupakan kecelakaan terburuk Lion Air sepanjang sejarah berdirinya maskapai penerbangan berbiaya rendah itu.
Padahal, menurut pakar dan konsultan penerbangan Gerry Soejatman, Rusdi belakangan mengeluarkan banyak uang untuk meningkatkan keselamatan penerbangan maskapainya.
“They have invested a lot on safety issue―beli macam-macam device, and they have good talented people in the management,” kata Gerry di kantor kumparan, Jati Padang, Jakarta Selatan, Kamis (1/11).
Investasi besar-besaran Lion Air itu, ujar I Nyoman Rai Pering selaku Direktur Batam Aero Technic―anak usaha Lion Group di bidang perawatan dan perbaikan pesawat, salah satunya lari untuk pembelian spare part. “Aset spare part kami luar biasa banyak.”
Menurut Gerry, Rusdi sadar bahwa insiden―dan accident―yang terus-menerus menimpa Lion Air akan berakibat buruk bagi perusahaan, baik terkait citra maupun hitung-hitungan ekonomi. Paling buruk, perusahaan bisa bangkrut.
“Kejadian (pesawat terperosok ke laut, 13 April 2013) di Bali sebetulnya jadi turning point Lion (soal keamanan penerbangan). Ratusan miliar dikeluarkan untuk membangun training center berskala besar di Balaraja, Tangerang. Tapi ya itu bukan jaminan you will solve all the problems. It's a large company,” ujar Gerry.
Malapetaka JT 610 yang menewaskan semua penumpang dan kru pesawat sejumlah total 189 orang, mau tak mau mengingatkan khalayak pada tragedi AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang jatuh di Selat Karimata pada 28 Desember 2014 dan menewaskan 162 orang di dalamnya.
Sebelum JT 610, musibah terparah Lion Air tercatat terjadi pada 30 November 2004. Magrib itu, di tengah petir dan hujan lebat, JT 538 tergelincir saat mendarat di Bandara Adi Sumarmo Solo. Ia meluncur tak terkendali keluar landasan, masuk ke sawah di sekitar bandara, dan terhenti di dekat pekuburan. Badan pesawat patah jadi dua, dan 26 orang penumpang tewas.
Sembilan tahun kemudian, 13 April 2013, JT 904 rute Bandung-Denpasar yang hendak mendarat di Bandara Ngurah Rai, jatuh ke laut di sisi barat landasan pacu. Seperti pada JT 538, JT 904 pun patah. Beruntung, seluruh penumpang yang berjumlah 108 orang selamat, meski 45 orang di antaranya terluka.
Pesawat Lion Air terperosok ke laut di sisi barat landas pacu Bandara Ngurah Rai, Bali, 13 April 2013. (Foto: Sonny Tumbelaka/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Lion Air terperosok ke laut di sisi barat landas pacu Bandara Ngurah Rai, Bali, 13 April 2013. (Foto: Sonny Tumbelaka/AFP)
Lion Air tak asing dengan kecelakaan. Sejak mulai beroperasi pada 30 Juni 2000, maskapai berlogo singa merah itu seolah pernah mengalami segala jenis insiden, mulai kebiasaan terlambat, gagal lepas landas, tergelincir saat mendarat, sampai jatuh ke laut.
Ambisi Rusdi
Boeing 737 MAX 8 milik Lion yang jatuh ke perairan Karawang adalah salah satu jenis pesawat andalan maskapai itu. Dan 737 MAX ialah seri pesawat yang paling cepat terjual dalam sejarah Boeing.
Sepuluh unit Boeing 737 MAX 8―kini 9 setelah satu yang terbaru justru jatuh ke laut―dimiliki Lion Air, dan seluruhnya tetap beroperasi setelah dinyatakan layak terbang oleh Kementerian Perhubungan yang melakukan pemeriksaan khusus usai tragedi JT 610.
Boeing 737 MAX 8 ke-10 milik Lion Air. Pesawat yang tiba di Indonesia pertengahan Agustus 2018 ini berusia pendek. Ia jatuh ke laut pada 29 Oktober 2018, menewaskan seluruh penumpang dan kru di dalamnya yang berjumlah 189 orang. (Foto: Lion Air via Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Boeing 737 MAX 8 ke-10 milik Lion Air. Pesawat yang tiba di Indonesia pertengahan Agustus 2018 ini berusia pendek. Ia jatuh ke laut pada 29 Oktober 2018, menewaskan seluruh penumpang dan kru di dalamnya yang berjumlah 189 orang. (Foto: Lion Air via Facebook)
Lion Air adalah maskapai penerbangan yang paling banyak mengoperasikan Boeing 737 MAX 8 di Asia Tenggara―kawasan yang menjadi target pasar Lion.
Boeing 737 MAX―yang pesawat generasi baru penerus Boeing 737 Next Generation―memang direncanakan menjadi senjata Lion untuk merebut dan menguasai pasar besar tersebut.
Itu sebabnya Lion terus memborong Boeing 737 MAX. Terbaru adalah pembelian 50 unit MAX 10 senilai US$ 6,24 miliar (Rp 85,74 triliun) yang diumumkan April 2018.
Pesawat-pesawat itu akan mulai datang tahun 2020 guna melengkapi armada Lion yang sekarang berjumlah sekitar 350 pesawat―lebih banyak dari pesaing beratnya di kelas low-cost carrier, AirAsia, yang ‘hanya’ memiliki 200-an pesawat.
Boeing 737 MAX―737 MAX 7, 737 MAX 8, 737 MAX 9―jadi incaran banyak maskapai penerbangan berbiaya rendah karena irit bahan bakar dan hemat waktu perawatan, sehingga membuat biaya operasional lebih ekonomis.
Per September 2018, Boeing 737 MAX telah menerima 4.783 pesanan dari 100 lebih pelanggan di seluruh dunia, dan 250 di antaranya berasal dari Lion. Lion Air bahkan menjadi maskapai penerbangan pertama di dunia yang mengoperasikan 737 MAX 8. Ia juga pemesan perdana 737 MAX 9 dan 737 MAX 10.
Mayoritas pesawat Lion merupakan pabrikan produsen raksasa Boeing Amerika Serikat dan Airbus Eropa, juga ATR Prancis-Italia. Lion―yang secara konsisten melakukan pembelian dalam jumlah besar―menjadi salah satu pelanggan penting Boeing.
Sampai saat ini, Lion Air telah membeli lebih dari 400 pesawat Boeing. Lion yang mengawali bisnis dengan 2 unit Boeing 737-200, mulai menyedot perhatian dunia kala memborong 230 unit Boeing 737 senilai US$ 21,7 miliar.
Penandatanganan pembelian pesawat dalam jumlah massal itu disaksikan langsung oleh Presiden Barack Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Bali, 18 November 2011.
Rusdi Kirana (kedua dari kiri) usai meneken pembelian 230 unit Boeing 737 disaksikan Presiden AS Barack Obama, 18 November 2011. (Foto: Saul Loeb/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Rusdi Kirana (kedua dari kiri) usai meneken pembelian 230 unit Boeing 737 disaksikan Presiden AS Barack Obama, 18 November 2011. (Foto: Saul Loeb/AFP)
Mengutip The Associated Press, Obama menyebut langkah Lion Air sebagai “contoh mengagumkan dari peluang investasi dan perdagangan di Asia Pasifik.” Gedung Putih memuji kesepakatan tersebut telah menopang puluhan ribu lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.
Dan Lion tak hanya menyokong lapangan kerja di AS, tapi juga Prancis. Tahun berikutnya, 18 Maret 2013, Lion Air kembali menggebrak dengan membeli 234 Airbus A230 senilai US$ 24 miliar (Rp 290 triliun)―pembelian terbesar dalam sejarah Airbus.
Kontrak pembelian ditandatangani Rusdi Kirana di Istana Elysée, Paris, dan dihadiri Presiden Francois Hollande. Sesudahnya, Rusdi mengunjungi markas Airbus di Toulouse, dan mendapat sambutan meriah dari ratusan karyawan Airbus―yang lolos dari hantaman krisis berkat pembelian pesawat secara gila-gilaan oleh Lion Air.
Empat tahun kemudian, 29 Maret 2017, pemerintah Prancis menganugerahkan Légion d’honneur―penghargaan tertinggi di negeri itu―kepada Rusdi yang dianggap telah menggerakkan roda perekonomian Prancis.
Sambutan meriah dari karyawan Airbus saat Rusdi Kirana mengunjungi markas Airbus di Toulouse, Prancis, Maret 2013. Saat itu, Lion Air baru membeli 234 unit Airbus A230. (Foto: airbus.com)
zoom-in-whitePerbesar
Sambutan meriah dari karyawan Airbus saat Rusdi Kirana mengunjungi markas Airbus di Toulouse, Prancis, Maret 2013. Saat itu, Lion Air baru membeli 234 unit Airbus A230. (Foto: airbus.com)
Terbang Tinggi
Lion Air kini menerbangkan total 350 pesawat, menempatkannya di urutan teratas dalam daftar 10 besar maskapai penerbangan di Asia Tenggara berdasarkan kuantitas armada. Jumlah itu tak hanya melebihi armada AirAsia di kelompok low-cost carrier, tapi juga Garuda Indonesia dan Singapore Airlines di kelas full service airlines.
Armada Lion Air. (Foto: Aviatren.com)
zoom-in-whitePerbesar
Armada Lion Air. (Foto: Aviatren.com)
Armada Lion masih akan terus bertambah seiring ekspansi rute dan target jangka panjang perusahaan untuk mengoperasikan 780 pesawat. Bila ambisi itu terealisasi, Lion Air bisa masuk jajaran maskapai penerbangan terbesar di dunia.
“Masa depan” yang dimaksud Rusdi sudah tentu terkait pasar domestik dan regional yang terus bertumbuh.
Indonesia, berdasarkan catatan Centre for Aviation, memiliki pasar penerbangan domestik paling dinamis di dunia, dengan pertumbuhan lalu lintas udara melejit tiga kali lipat selama 12 tahun terakhir―dari 30 juta pada 2005 menjadi 97 juta pada 2017.
Jumlah penumpang angkutan udara domestik di Indonesia pun melesat, dari 89,3 juta pada 2016 menjadi 96,9 juta orang pada 2017 (naik 8 persen). Tahun sebelumnya, 2015 ke 2016, angka tersebut naik lebih tinggi sebesar 17 persen.
Statistik mutakhir Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menunjukkan jumlah penumpang transportasi udara di Indonesia pada 2017 telah mencapai 110 juta jiwa.
Pasar penerbangan domestik Indonesia adalah yang terbesar kelima di dunia setelah Amerika Serikat, China, India, dan Jepang. Pasar ini didominasi oleh Lion Group dan Garuda Indonesia.
Lion Air, Singa di Langit Indonesia (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lion Air, Singa di Langit Indonesia (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Lion Air sukses lepas landas dan menjaga eksistensi di kelas low-cost carrier, sementara sejumlah maskapai lain yang masuk kategori ini tak dapat bertahan. Sebut saja Adam Air, Bouraq Airlines, Jatayu Airlines, dan Batavia Air yang kini tinggal nama.
Lion bahkan tak hanya bertahan. Ia berkembang pesat. Tahun 2017, Lion Air―yang memiliki sedikitnya 183 rute penerbangan―untuk pertama kalinya menyalip supremasi Garuda dengan menguasai 50 persen lebih pangsa pasar domestik. Sementara Garuda sendiri menggenggam 33 persen dari pasar potensial ini.
Dan di tingkat regional, Lion menantang dominasi AirAsia dengan menerbangkan armada terbanyak se-Asia Tenggara sejak 2014.
September 2012, Malindo Airways berdiri di Malaysia, hasil patungan antara Lion Air dan Malaysia National Aerospace & Defence Industries. Menyusul tahun 2013, Thai Lion terbentuk di Thailand atas kerja sama Lion Air dengan mitranya di Negeri Gajah Putih.
Lalu lintas penerbangan di Asia Tenggara memang melaju kencang sejak milenium baru, seiring pertumbuhan low-cost carrier dan perencanaan ASEAN untuk mengintegrasikan sekaligus meliberalisasi pasarnya lewat ASEAN Economic Community―yang salah satu turunannya ialah ASEAN Open Sky Policy atau ASEAN Single Aviation Market.
ASEAN Open Sky Policy yang bertujuan mendorong konektivitas dan pertumbuhan ekonomi kawasan, mau tak mau bakal berimbas pada kompetisi ketat industri penerbangan. Ini pula yang diantisipasi Lion Air―dan rivalnya, AirAsia, yang juga gemar memborong pesawat.
“Pesawat-pesawat (yang kami beli) akan digunakan untuk melayani pasar domestik dan regional yang pertumbuhan penumpangnya cukup besar dari tahun ke tahun. Kami harap kebutuhan penerbangan dalam negeri dapat dipenuhi oleh perusahaan penerbangan nasional, dan dapat bersaing saat kebijakan Open Sky ASEAN dilaksanakan,” kata Rusdi Kirana usai meneken pembelian 230 unit Boeing 737 di sela KTT ASEAN di Bali, 18 November 2011, seperti dilansir Suara Pembaruan.
Terempas Keras
Pertumbuhan kencang Lion Air bukannya mulus tanpa cela. Rentetan insiden kerap membayangi. Hingga di Senin pagi, 29 Oktober 2018, JT 610 jatuh ke laut.
Musibah tragis itu lantas membuat banyak orang mengarahkan telunjuk dengan geram kepada Lion Air si maskapai ‘pesakitan’. Rusdi langsung mengatakan, Lion siap menerima penalti jika terbukti bersalah. Menurutnya, Lion tak mengabaikan faktor keselamatan.
“Lion Air sudah mendapatkan IOSA (IATA Operational Safety Audit). Itu sertifikasi tertinggi untuk bidang keselamatan. Kami juga punya training center, simulator. Bahkan orang luar training di tempat kami,” kata Rusdi kepada wartawan usai bertemu keluarga korban JT 610 di Cawang, Selasa (30/10).
Jadi, sambung Rusdi, “Penyebab (JT 610 jatuh) itu apa, harus tunggu investigasi (Komite Nasional Keselamatan Transportasi).”
IOSA ialah audit keselamatan berskala global untuk mengecek kualitas operasional serta pengelolaan dan pengawasan keselamatan. Audit ini menggunakan 900 standar internasional, dan melibatkan aspek detail seperti sistem dan manajemen organisasi perusahaan, operasi penerbangan, keberangkatan penerbangan, pemeliharaan pesawat dan mesinnya, penanganan darat (ground handling), dan lain-lain.
Lion Air mengantongi sertifikat IOSA itu sejak Maret 2017. “IOSA Audit diadakan rutin tiap dua tahun. Jadi kami akan terus mengevaluasi dan meningkatkan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan penumpang,” kata CEO Lion Air, Edward Sirait.
Serpihan pesawat Lion Air JT 610 di tengah laut. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Serpihan pesawat Lion Air JT 610 di tengah laut. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Petaka JT 610 tak cuma menyentak Rusdi, tapi juga Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Pasalnya, kasus kecelakaan pesawat di Indonesia belakangan justru cenderung turun. Uni Eropa pun telah mencabut larangan terbang atas seluruh maskapai penerbangan Indonesia pada Juni 2018, seiring perbaikan standar keselamatan penerbangan di negeri ini.
Pasca-tragedi JT 610, Lion Air kini tengah menjalani audit khusus dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk mengecek standar operasional prosedur, kualifikasi kru pesawat, dan sistem koordinasi. Audit melibatkan International Civil Aviation Organization, serta Federal Aviation Administration selaku regulator penerbangan sipil AS.
Tragedi JT 610 melampaui semua itu. 189 nyawa melayang sekaligus. Sang Singa Langit keras terempas.
------------------------
Seperti apa cerita mereka yang sedang dan pernah bekerja sebagai pilot Lion Air? Simak selengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Lion Terempas.