Londonistan: Asal Mula hingga Generalisasi Salah Kaprah

17 Desember 2017 15:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
London pasca bom. (Foto: Reuters/Neil Hall)
zoom-in-whitePerbesar
London pasca bom. (Foto: Reuters/Neil Hall)
ADVERTISEMENT
Londonistan adalah sebutan bagi kota London, Inggris, yang pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 mengalami peningkatan populasi muslim secara signifikan. Dalam sebuah artikel di Rakyat Merdeka Online, Jaya Suprana menggunakan portmanteau tersebut dengan kesan positif.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, sebutan yang digagas jurnalis bernama Melanie Phillips itu digunakan untuk “melukiskan betapa besar pengaruh Islam terhadap ibu kota Inggris di masa kini.”
Jaya Suprana lalu melanjutkan tulisannya dengan menggambarkan bagaimana demografi London semakin disesaki kaum muslim, sementara kelompok Kristen yang selama ini (dan masih) menjadi mayoritas justru semakin berkurang.
Hal tersebut kemudian diikuti fakta statistik banyak laporan --yang menemukan bahwa jumlah masjid di London memang meningkat, sementara angka gereja di ibu kota Inggris pun juga benar terus menurun.
Jaya Suprana juga benar saat mengatakan bahwa kemerosotan jumlah umat Kristen bukan akibat pertumbuhan Islam. Ia kemudian mengatakan angka pemeluk Kristen memang sudah berkurang sejak dekade 70-an.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, mereka keluar dari Kristen karena menganggap agama tersebut sudah tidak relevan lagi. Alasan lain, memilih keluar karena keberatan membayar pajak gereja.
Dus, menurutnya, Islamofobia itu hanyalah “penyakit jenis khayal yang sengaja direkayasa oleh mereka yang merasa kepentingannya terancam” akibat fenomena Londonistan tersebut.
Mungkin semua hal tersebut benar. Kecuali, setidaknya, satu hal: apa sudah tepat kita ikut menggunakan --dan berpotensi menggemakan penggunaannya secara lebih jauh-- sebutan Londonistan tersebut?
Tunggu dulu.
Bom London 2005 (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Bom London 2005 (Foto: Wikimedia Commons)
Saat mengemukakan sobriquet Londonistan, buah pemikiran yang dituangkan Melanie Phillips tidaklah menyebut Londonistan sebagai pujian. Ia tidak bermaksud memantaskan keadaan naiknya demografi muslim di London sebagai sebuah hal yang dinanti-nanti dengan menyebut Londonistan.
Jauh dari itu, ia menyebut Londonistan sebagai sebuah celaan. Londonistan dari mulut Phillips adalah sebuah tuduhan generalisasi bahwa London telah menjadi ladang ekstremis yang hanya berpikir soal jihad lewat bom bunuh diri. Ini diungkapkannya, terutama setelah peristiwa Bom London Juli 2005.
ADVERTISEMENT
“Bom London (2005) membuka fakta-fakta tak menyenangkan tentang Inggris, jauh lebih membahayakan di jangka panjang ketimbang apa yang terjadi di Amerika Serikat meskipun teroris asing berhasil melaksanakan serangan 9/11 pada 2001,” tulis Phillips dalam bukunya, Londonistan: How Britain is Creating a Terror State Within (2006).
Dalam bukunya itu, Phillips mengemukakan bahwa London telah menjadi surga yang nyaman bagi para jihadis militan untuk dapat bersembunyi dan berkembang di bawah panji multikulturalisme London.
“Serangan tersebut akhirnya membuka tabir rahasia kotor Inggris dalam melawan terorisme --bahwa sembari memerangi terorisme, London justru menjadi episenter dari militansi Islam di Eropa,” tulis Phillips.
Phillips --yang kini terus aktif mendorong agar para jihadis militan (bukan yang telah melakukan teror, namun hanya sebatas agitasi di level ide) bisa dihukum bahkan langsung ditembak saja-- mengatakan bahwa London menjadi rumah yang terlalu untuk perkembangan terorisme.
ADVERTISEMENT
“Di bawah hidung beberapa pemerintahan Inggris, London justru berubah menjadi Londonistan --nama ejekan seperti negara-negara yang menjadi sponsor terorisme macam Afghanistan-- dan menjadi pusat promosi, rekrutmen, dan pendanaan terorisme dan ekstremisme Islam di Eropa,” tuduhnya.
Ilustrasi Muslim di Inggris (Foto:  REUTERS/Olivia Harris)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Muslim di Inggris (Foto: REUTERS/Olivia Harris)
Sebelum Phillips, frasa Londonistan sebenarnya telah digunakan di dekade 90-an oleh mata-mata Prancis yang kesal karena London menjadi tujuan kabur pentolan teroris dari luar negeri. Namun demikian, yang membuat penggunaannya populer sebagai protes terhadap London yang dianggap terlalu terbuka pada ekstremisme Islam adalah Melanie Phillips.
Phillips saat ini adalah seorang kolumnis beberapa media kanan Inggris, seperti The Times, The Jerusalem Post dan The Jewish Chronicle. BBC menyebutnya sebagai kolumnis “kontroversial”, dengan pandangan-pandangan yang kerap menyudutkan minoritas Muslim di Inggris.
ADVERTISEMENT
Awalnya, Phillips adalah jurnalis liberal yang bekerja di The Guardian dan The New Statesman. Meski begitu, mulai tahun 2000-an, ia beralih menjadi salah satu “suara terkuat sayap kanan” Inggris dan menjadi kritik yang konsisten terhadap kehadiran kelompok muslim di Inggris.
“Aku tertarik dengan gagasan neo-konservatif, bukan koservatif itu sendiri. Ini adalah bagaimana aku mendefinisikan diriku sendiri --seorang liberal yang telah dikecewakan kenyataan,” ucapnya seperti dikutip dari The Guardian.
Parahnya, Londonistan sebagai celaan terus digaungkan mereka para ultra-kanan untuk menyematkan teror ke kaum muslim. Ini bergulir lagi, misalnya, ketika London diserang sebuah aksi terotisme pada Juni 2017 kemarin.
Ketika setidaknya tujuh orang tewas akibat serangan minibus yang menabraki pejalan kaki, rentetan twit yang menyalahkan orang-orang muslim --termasuk wali kota London, Saqid Khan-- ramai terdengar. Tak lupa, sebutan Londonistan mereka sematkan dalam serbuan verbal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari situ, terlihat bagaimana tambahan -stan (yang berarti tanah di bahasa Arab) itu adalah celaan dan generalisasi bagi muslim di London. Bagi mereka yang menggunakannya, Londonistan adalah kadar gawat keadaan kota London yang menjadi sarang para “ekstremis jihadis Islam” yang membahayakan Inggris.
Apa kita harus ikut-ikutan menggunakan kata tersebut?
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!