Mantan Napiter: Pendekatan Kemanusiaan Efektif untuk Deradikalisasi

17 Mei 2018 14:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi Memutus Mata Rantai Gerakan Terorisme. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Memutus Mata Rantai Gerakan Terorisme. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan napi teroris, Ali Fauzi Manzi, mengungkapkan bagaimana akhirnya ia memutuskan meninggalkan paham radikalisme yang selama ini tertanam dalam dirinya. Menurutnya, deradikalisasi bukan melulu soal mengubah ideologi seseorang dengan metode cuci otak.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan, pendekatan kemanusiaan yang dilakukan aparat kepolisian juga mampu untuk meninggalkan paham radikal. Ia bercerita, usai ditahan di Filipina dan kembali ke Indonesia, polisi memperlakukannya dengan manusiawi.
“Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki pertama kali di Indonesia, saya muntah darah, dada saya remuk, dan pada waktu itu pikiran saya kacau. Saya masih memandang polisi itu saya anggap sebagai setan, di mana dogma doktrin yang saya terima dulu. Saya masih negative thinking kepada mereka (polisi),” ujar Ali dalam diskusi “Memutus Mata Rantai Gerakan Terorisme, Mungkinkah?: Kegagalan dan Keberhasilan Deredikalisasi” di Gedung Lipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (17/5).
“Kemudian saya diterima dan dibantu bapak-bapak ini, praktis betul saya diperlakukan bukan hanya manusiawi, tapi super manusiawi. Tidak ada satu tangan polisi yang memukul saya dan saya dibawa ke rumah sakit semewah itu,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan, pihak kepolisian memberikan perawatan yang baik padanya. Hal itu membuat doktrin tentang polisi yang buruk dibenaknya hilang.
“Jadi semua polisi, ada Pak Tito (Karnavian) ada Pak Idham (Aziz), ada Pak Ridwan Maiza, ada Pak Usman Nasution, macam-macam memperlakukan saya cukup manusiawi. Mulai saya berpikir bahwa doktrin yang saya terima dulu berarti salah. Bahwa polisi setan, bahwa polisi jahat ternyata pada peristiwa pengalaman saya sendiri itu tidak saya alami,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan inilah yang membangkitkan rasa kepercayaan dirinya kepada polisi. Jika saja saat itu ia diperlakukan buruk, Ali bisa saja menjadi lebih radikal.
“Bisa saja bila saat itu polisi memukuli saya, mungkin saya dendam seumur hidup. Karena tiga saudara saya ditahan, yang dua vonis mati, yang satu seumur hidup. Mungkin saya jauh lebih radikal. Tapi karena penanganan seperti itu saya harus berpikir ulang,” ujar mantan anggota Jamaah Islamiyah tersebut.
ADVERTISEMENT
Pendekatan secara manusiawi sebagai langkah deradikalisasi juga didukung oleh Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), Paramadina Ihsan Ali Fauzi. Menurutnya, pendekatan ini lebih efektif dibanding sekadar berdiskusi dengan napiter untuk mengubah isi otak mereka.
Menurut Paramadina, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) juga harus memperhatikan berbagai aspek untuk meredikalisasi seseorang. Seperti memperhatikan baik teroris itu sendiri maupun keluarganya.
“Yang dilakukan BNPT itu kan paling setahun sekali datang ke penjara ngomong. Harusnya lebih intensif dan yang diomongin bukan hanya otaknya, tapi perhatikan juga keluarganya, perhatikan lainnya. Si dia (Ali Fauzi) itu kan ngasih tahu, dia berubah bukan karena dicuci otaknya tapi karena polisi bantuin mengubah langsung di tempat. Kalau polisi tidak seperti yang dia pikirkan, dengan sendirinya orang itu akan berubah ko pemikirannya,” pungkas Paramadina.
ADVERTISEMENT