Masa Depan Bollywood Menghadapi Sentimen Agama

1 Februari 2018 18:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemeran Padmini dalam film Padmaavat (Foto: STR / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeran Padmini dalam film Padmaavat (Foto: STR / AFP)
ADVERTISEMENT
Bukan film India jika tidak menampilkan kemeriahan tari dan alunan musik. Begitu juga film Padmaavat yang dirilis 25 Januari 2018.
ADVERTISEMENT
Meski menceritakan legenda Padmini yang agung--ratu India pada abad ke-13 dan 14, sutradara Shanjay Leela Bhansali tetap menampilkan tari-tarian khas film India yang dilakukan oleh tokoh utama bersama puluhan penari latar.
Sayangnya, penampilan tari yang dikenal luas identik film India itu justru tak disambut baik di negeri sang sutradara sendiri. Kelompok Rajput, yang mengaku sebagai pewaris kasta Ksatria di India, menyayangkan adegan Padmini--simbol kaum perempuan kelompok tersebut--menari Ghoomar.
Ghoomar adalah tarian tradisional India yang dilakukan perempuan dengan menggunakan gaun khas yang disebut Gaghara. Hampir setiap film India mencomot tarian Ghoomar dan menampilkannya dengan sejumlah penari latar.
Tarian Ghoomar di Padmaavat (Foto: Youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Tarian Ghoomar di Padmaavat (Foto: Youtube)
Bagi kelompok Rajput, haram hukumnya menggambarkan sosok Padmini dengan pakaian dan tarian Ghoomar. Perempuan dari kelompok Rajput pun melakukan protes pada November 2017.
ADVERTISEMENT
“Ratu (Padmini) yang digambarkan menari Ghoomar dengan pakaian yang tidak layak adalah penggambaran Rajput yang keliru. Ratu Rajput tidak akan pernah menari bersama orang-orang dan juga tidak pernah menggunakan pakaian minim,” kata juru bicara aksi protes itu, Poonam Khangarot, kepada Hindustan Times.
Penggambaran tak senonoh sosok Padmini yang dinilai keliru itu hanya satu di antara kontroversi lain dari film Padmaavat.
Penolakan terhadap Padmaavat sebetulnya sudah muncul sejak awal film itu digarap awal 2017. Saat itu, Bhansali beserta para pemain dan kru film Padmaavat menghadapi teror dari kelompok Rajput. Penolakan semakin keras mendekati jadwal rilis pada pengujung 2017.
Penolakan kelompok Rajput atas film itu tidak main-main. Mereka melawan dengan kekerasan. Januari 2017, mereka mengobrak-abrik tempat pengambilan gambar film Padmaavat. Teror berlanjut semakin mengerikan: pengumuman disebar, akan ada imbalan 1,2 juta Poundsterling untuk menghabisi nyawa Bhansali.
ADVERTISEMENT
Padmini yang dikisahkan dalam Padmaavat merupakan adaptasi dari roman karangan sastrawan muslim Malik Muhammad Jayasi dengan judul yang sama.
Dalam romannya, Jayasi menceritakan kisah Padmini di tengah arus penaklukan Benteng Chittorgarh milik suku atau klan Rajput yang dilakukan oleh raja dari Delhi, Alauddin Khilji. Upaya penaklukan dilakukan Khilji untuk memenuhi hasratnya menjadikan Padmini sebagai istrinya.
Penguasa Rajput, Ratan Sen yang juga suami Padmini, dikisahkan kalah telak. Ratan Sen gugur bersama hancurnya benteng Chittorgarh.
Namun, meski penaklukan itu berhasil, Khilji gagal mendapatkan Padmini. Ratu Rajput itu telah lebih dulu mengakhiri hidupnya dengan cara jauhar atau bunuh diri melompat ke dalam api.
Padmini sesungguhnya merupakan tokoh fiksi yang disusupkan pada peristiwa sejarah penaklukan Chittaghor pada 1304. Penciptaan karakter film itu, seperti kebanyakan kisah fiksi yang disuntik dari narasi sejarah, memiliki fungsi politis: untuk dijadikan simbol kekuatan dan kehormatan perempuan Rajput.
ADVERTISEMENT
Banyak sejarawan menganggap perdebatan soal narasi Padmini lumrah terjadi. Misalnya, sejarawan Aligarh Muslim University, Prof. Irfan Habib, mengatakan Padmini telah menjadi tokoh fiksi yang jamak ditemui dalam berbagai versi.
“Padmini telah hadir di berbagai khazanah kesusastraan India, dan menjadi bagian penting dalam sejarah sastra. Sejarawan Rajput seperti Shayamal Das bahkan memiliki penggambaran berbeda tentang sosok ini,” ucap Habib.
Pelintiran Isu SARA
Protes film Padmaavat di India (Foto: REUTERS/Amit Dave)
zoom-in-whitePerbesar
Protes film Padmaavat di India (Foto: REUTERS/Amit Dave)
Aksi protes yang dilakukan oleh orang-orang suku Rajput hampir seluruhnya berasal dari kelompok garis keras. Terdapat tiga kelompok besar Rajput yang terlibat dan mewakili aksi protes tersebut: Rajput Karni Sena, Kshatriya Samaj, dan Akhil Bharatiya Kshatriya Mahasabha.
Sikap mereka tegas dan jelas: film Padmaavat harus dilarang. Mereka beranggapan bahwa film itu telah menceritakan kisah sejarah yang keliru--atau dalam kalimat lain, tidak sesuai dengan sejarah versi kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Kritikus film ANN MM Vetticad menuding kelompok-kelompok tersebut cenderung membuat masalah. Vetticad menganggap kelompok Rajput garis keras, seperti Karni Sena, bergerak karena hasutan, bukan berdasarkan fakta sebenarnya.
“Karni Sena pernah memberedel sebuah film di sebuah bioskop yang terletak di Rajastan. Mereka hanya berupaya mencari perhatian. Dengan memberedel film Padmaavat, mereka telah mencapai perhatian seluruh negeri,” ucap Vetticad kepada The Guardian.
Vetticad melihat aksi protes tersebut menjadi sasaran empuk beberapa aktor politik. Partai penguasa yakni Bharatiya Janatiya Party (BJP), yang merupakan partai berideologi Hindu konservatif, ikut ke dalam gerbong mereka yang menolak kehadiran film berdurasi 164 menit itu.
Elit politik mereka di pusat pemerintahan, seperti Perdana Menteri Narendra Modi, tidak terlalu banyak bicara untuk merespons isu hangat ini. Namun, beberapa politisi BJP getol melayangkan protes yang kental dengan muatan politis untuk menggaet suara kelompok Rajput.
ADVERTISEMENT
Kendati mendapat tekanan besar, pemerintah tidak menuruti permintaan untuk memberedel film tersebut. Film Padmaavat tetap diloloskan oleh lembaga sensor India, Central Board of Film Certification (CBFC).
Para pegiat film India sebenarnya sudah kenyang menghadapi ancaman, dari pemberedelan hingga aksi protes soal isu agama dan kasta. Namun, keadaan saat ini jauh lebih buruk dari rangkaian pemberedelan yang telah mereka alami sejak 1970-an.
Bukan tidak berpengaruh apapun. Ancaman dan keadaan yang terjadi saat ini cukup menghambat keberanian mereka untuk berkarya. Penulis naskah kenamaan India Javed Akhtar menilai bahwa sineas India tengah menghadapi tren ketakutan terhadap kelompok ekstremis.
ADVERTISEMENT
Meski sudah berpengalaman membuat film selama lebih dari 40 tahun, kemarahan kelompok konservatif saat ini membuatnya benar-benar takut.
“Jika di tahun 1975 saya bisa menampilkan sebuah adegan di kuil untuk film komedi, sekarang saya tak akan berani melakukannya,” ucap Akhtar kepada Atlantic.
Pada tahun-tahun tersebut, gejala konservatisme cenderung hidup dalam kelompok-kelompok Muslim daripada kelompok Hindu. Saat itu, muslim India begitu sensitif terhadap kelompok Hindu sebab kebencian yang masih tersisa akibat eksodus India Muslim yang mendirikan negara Pakistan pada 1951.
Namun, seperti yang ditunjukkan kelompok Rajput, kelompok Hindu kini semakin menaruh sentimen terhadap konten film yang menyinggung identitas mereka.
“Sekarang kelompok Hindu sama-sama anti terhadap karya film. Ini adalah sebuah tragedi,” kata Akhtar.
ADVERTISEMENT
Menguatnya Hindu Konservatif
Protes film Padmaavati di India (Foto: REUTERS/Danish Siddiqui)
zoom-in-whitePerbesar
Protes film Padmaavati di India (Foto: REUTERS/Danish Siddiqui)
Dunia perfilman India menjadi korban menguatnya sentimen SARA selama BJP memimpin sejak 2014. Kelompok-kelompok Hindu garis keras memiliki ruang yang lebih luas untuk menunjukkan eksistensi dan pengaruhnya. Mereka kerap melakukan perbuatan merusak atau vandalisme kepada sesuatu yang tidak mereka suka.
Kelompok garis keras berbentuk milisi sipil itu diinisiasi pada masa kampanye politik. Sebuah laporan menyebutkan bahwa terjadi lebih dari 600 tindak kekerasan selama satu tahun awal pemerintahan Modi. Tindak kekerasan itu menargetkan kelompok yang mereka anggap minoritas seperti Muslim, Kristiani, hingga perempuan.
Aksi kekerasan itu berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Organisasi Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) mengamplifikasi kekerasan di seluruh India. Misalnya, dengan memaksa warga Muslim dan Kristiani untuk memeluk Hindu dan membakar rumah mereka yang diketahui mengonsumsi sapi.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah publik, pemimpin kelompok Hindu garis keras menerapkan sikap yang mendukung agenda “mengembalikan kemurnian Hindu India”. Kurikulum sekolah yang dianggap mengajarkan sekulerisme diberedel, lalu diganti dengan ajaran kemurnian Hindu versi mereka.
Anak-anak diajari menggunakan senjata dengan dalih untuk ikut berkontribusi terhadap masa depan Hindu India.
Protes film Padmaavati di India (Foto: REUTERS/Saumya Khandelwal)
zoom-in-whitePerbesar
Protes film Padmaavati di India (Foto: REUTERS/Saumya Khandelwal)
Dalam dunia perfilman, sebenarnya Bollywood sudah lama menjadi medan perdebatan mengenai isu identitas dan narasi sejarah. Kedua isu tersebut kerap menjadi tema utama yang dikonstruksikan dalam film-film India.
Namun, memperdebatkan akurasi sejarah yang dinarasikan dalam film-film Bollywood bisa jadi adalah kekeliruan besar. Dalam jurnal berjudul Historical Film in Hindu-Muslim Relations in Post-Hindutva India, akademisi Raita Meirivirta menjabarkan bahwa sejarah Bollywood tumbuh dari kegemaran masyarakat India pada fiksi.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat India tidak terlalu memperhatikan sejarah dan detail peristiwa. Kisah yang banyak beredar lebih banyak mengenai sebuah legenda dan sentimen heroik,” kata Meirivirta.
Meirivirta mengambil studi kasus film Jodhaa Akbar yang dirilis pada 2008. Film itu menceritakan percintaan Kaisar Muslim Mughal Jalaluddin Akbar dengan seorang Ratu Hindu Rajput Jodha Bai. Film ini mendulang sukses besar berupa penghargaan untuk kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik, dan Sutradara Terbaik.
Namun, tentu tidak semua orang menyukai kesuksesan film tersebut. Sang sutradara, Asturoth Gowariker, harus menghadapi serangan dari kelompok Rajput. Mereka mempersoalkan pernikahan Ratu Jodha dengan Raja Akbar. Sebab kisah pernikahan itu dianggap merendahkan martabat kelompok Rajput.
ADVERTISEMENT
Serangan terhadap Gowariker tidak membuat ahli perfilman India kapok untuk menggunakan tema sensitif. Bollywood justru menunjukkan tren generasi perfilman baru yang berani mengeksplorasi tema-tema yang dianggap tabu, seperti agama dan kesetaraan gender.
Film drama fantasi berjudul PK yang rilis pada 2012 menjadi salah satu sasaran protes selanjutnya. Film tersebut menggambarkan petualangan seorang alien bernama Khan di Bumi. Petualangan itu membawa ia dan orang-orang di sekitarnya pada pertanyaan fundamental tentang agama dan Tuhan.
Sebagian masyarakat India menilai narasi film itu telah menodai agama. Kelompok Hindu, Muslim, Sikh, dan Kristiani berlomba-lomba menghujat produser film PK. Protes dan polemik terhadap film tersebut akhirnya berbuah regulasi. Konten film yang diduga menyinggung umat Hindu akan disensor ketat.
ADVERTISEMENT
Pada Juli 2017, misalnya, film dokumenter berjudul The Argumentative Indian menjadi korban regulasi tersebut. Film yang mengisahkan perjalanan pemenang Nobel Ekonomi Amartya Sen itu mendapat sensor ketat. Setiap kata yang bersinggungan dengan umat Hindu, seperti “sapi”, “Hindu India”, dan “Gujarat”, dihilangkan.
Toilet: Ek Prem Katha (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Toilet: Ek Prem Katha (Foto: Wikipedia)
Kenyataannya hujatan tidak hanya diarahkan pada film yang diduga menyinggung umat Hindu. Melainkan juga film-film yang mengandung kritik sosial. Sebut saja, misalnya, yang hujatan terhadap film Toilet Ek Prem Katha karya sutradara Shree Narayan Singh dan Padman karya sutradara R. Balki.
Kedua film tersebut merupakan kritik atas terbatasnya jumlah sanitasi khusus perempuan di India. Sementara PK mengangkat tema agama, kedua film tersebut berfokus pada tema kesetaraan gender. Agama dan gender, seperti telah disebutkan sebelumnya, merupakan tema sensitif.
ADVERTISEMENT
Bollywood kini tampak lepas landas dari identitas sebagai produsen film yang cuma berisi kisah drama romantis nan penuh tari-tarian. Ia tengah berproses untuk menjadikan film sebagai seni yang merangsang pikiran kritis. Konsekuensinya, Bollywood mesti siap menghadapi tekanan kelompok-kelompok ekstremis berbasis agama dan kasta di India.
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!