Masjid Al-Ma'mur Cikini, Peninggalan Pelukis Legendaris Raden Saleh

23 Mei 2018 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kaligrafi Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kaligrafi Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masjid Jami' Al-Ma'mur kerap disebut Masjid Raden Saleh Cikini. Sebab masjid ini merupakan peninggalan Raden Saleh, maestro lukis Indonesia yang hidup di abad 18 masa Hindia-Belanda.
ADVERTISEMENT
Masjid Raden Saleh Cikini terletak di Jalan Raden Saleh No 30, Cikini, Jakarta Pusat. Cukup mudah untuk menemukan masjid ini, karena letaknya di tepian Sungai Ciliwung. Dari arah Salemba, masjid bisa ditemui di kanan jalan.
Masjid yang berdiri pada 1860 ini memiliki arsitektur khas bangunan lama. Masjid ini dominan berwarna putih dan hijau yang terdiri dari dua lantai. Lantai pertama adalah ruang utama untuk ibadah salat. Lantai kedua merupakan ruang yang disediakan jika jemaah membeludak.
Bangunan masjid ini memiliki ornamen khas Betawi, nampak dari sejumlah ukiran di kayunya. Selain itu, terdapat mimbar yang disebut-sebut telah berusia ratusan tahun.
Tampak luar Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tampak luar Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
Menurut salah satu pengurus masjid, Haji Sahlan, masjid ini memiliki sejarah panjang. Masjid ini pertama kali dibangun berada di dekat rumah Raden Saleh, yang saat ini menjadi Rumah Sakit Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini.
ADVERTISEMENT
"Dulu keberadaanya di sana, tempat perawat Rumah Sakit PGI. Masjid ini kepunyaan Raden Saleh yang juga disebut Syarif Bustaman," kata Haji Sahlan (70) kepada kumparan, saat menceritakan sejarah Masjid Al-Ma'mur, Rabu (23/5).
Haji Sahlan menceritakan, Raden Saleh mewakafkan tanahnya sekitar 2.560 meter persegi untuk bangunan masjid.
"(Dulu) masjidnya kecil, terbuat dari bilik bambu dan seperti rumah panggung," terangnya.
Kemudian, Raden Saleh pindah ke Bogor bersama istrinya dan menjual seluruh tanahnya, kecuali bangunan masjid. Raden Saleh menyerahkan tanah wakaf itu kepada keluarga Arab bermarga Al Attas.
Plakat dari Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Plakat dari Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
Oleh keturunan Al Attas, pada tahun 1890 tanah peninggalan Raden Saleh itu dijual kepada Yayasan Ratu Emma, lembaga misionaris yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Karena hal itu, masjid kemudian dipindahkan ke tanah yang sekarang.
ADVERTISEMENT
"Masjidnya terbuat dari bilik, bambu-bambu, dipindahkan beramai-ramai dibopong sama masyarakat Cikini Binatu," terang Haji Sahlan.
Pada tahun 1930-an warga berinisiatif untuk membangun masjid secara permanen mengingat jumlah warga sekitar masjid semakin banyak.
"Lama-kelamaan seiring bertambahnya penduduk, akhirnya masyarakat ada yang minta untuk mendirikan masjid yang benar-benar masjid," cerita Haji Sahlan.
Dana pembangunan masjid ini, ungkap Sahlan, diperoleh dari hasil iuran masyarakat sekitar.
Bagian dalam Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bagian dalam Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
"Jadi warga musyawarah. Hasilnya semua warga memberi bantuan dari segala macam benda. Jadi kalau ibu-ibu lagi masak ambil beras 2 liter, maka setengahnya disisakan untuk iuran pembangunana masjid. Misalnya 3 hari sekali dapat 2 kilogram. Kemudian, dapat total 25 kilogram itu dijual. Itu dibelikan batu bata, dibelikan kapur dan pasir (untuk pembangunan masjid)," ceritanya.
ADVERTISEMENT
"(Sehingga) berdirilah masjid yang dinamakan Masjid Jami' Cikini Al-Ma'mur dan menaranya," sambung Haji Sahlan.
Pembangunan masjid sempat mendapat penolakan dari pengurus Yayasan Ratu Emma, yang meminta agar masjid dipindahkan lebih jauh lagi. Namun berkat campur tangan tokoh pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan sejumlah tokoh lainnya, masjid tetap berada di tempatnya hingga saat ini.
Tampak luar Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tampak luar Masjid Jami' Cikini Al Ma'mur (Foto: Yuana Fatwallah/kumparan)
Agus Salim juga memasang lambang Syarikat Islam yaitu bulan sabit dan bintang, agar tidak ada yang berani mengganggu. Hingga kini lambang itu tetap dipertahankan menjadi bagian dari masjid.
Sahlan menambahkan, pada tahun 1995 bangunan masjid ditambah, yang terletak di belakang bangunan masjid lama.
"Tahun 1995 ada penambahan bangunan masjid, karena semakin banyak jemaah yang salat. Apalagi kalau salat Jumat, bisa makan separuh jalan," ceritanya.
ADVERTISEMENT
Masjid ini ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Keaslian bangunan dan lambang Syarikat Islam, termasuk tulisan Arab di bagian depan-atas masjid, tetap dipertahankan.