news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

McCarthyisme, Komunisme, dan Marxisme-Leninisme

18 Februari 2018 12:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor LBH Jakarta Dikepung Massa (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor LBH Jakarta Dikepung Massa (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
ADVERTISEMENT
Ini tentang Pasal 219 dan 220 di Buku Kedua Bab I soal Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Soal bahaya laten dan hantu komunisme. Tapi sebelum itu, mari menengok dulu ke September 2017.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berkata, “Isu PKI itu kan mimpi di siang bolong. Untuk apa dibangkit-bangkitkan hantu yang sudah mati? Oleh UU dan Tap MPR itu kan sudah dilarang. Jadi apa yang ditakuti lagi,” ucapnya, tiga hari usai kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dikepung ratusan orang.
Minggu itu, 17 September 2017, LBH Jakarta menggelar pagelaran musik bertajuk #DaruratDemokrasi di kantornya, Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat. Pagelaran ini digelar sebagai respons atas dilarangnya seminar bertemakan “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang mestinya digelar sehari sebelumnya.
Maka, puluhan orang yang berada di dalam LBH tak bisa keluar hingga dini hari. Bentrok antara massa dan polisi pecah, membuat lima petugas terluka. Di luar, beredar selebaran bertuliskan “SINYAL BAIK SEMINAR LANCAR SESUAI RENCANA” untuk meyakinkan massa bahwa benar komunis tengah berkonsolidasi di dalam LBH.
Propaganda PKI yang fitnah LBH Jakarta (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Propaganda PKI yang fitnah LBH Jakarta (Foto: Istimewa)
Tujuh puluh tahun lalu, Joseph McCarthy sudah lebih dulu mengambil panggung lewat apa yang dinamakan dengan The Second Red Scare --atau (yang apabila diterjemahkan secara harfiah dan amatir menjadi) Horor Merah Jilid Dua.
ADVERTISEMENT
Joseph McCarthy adalah seorang politisi Republikan Amerika Serikat, menjadi senator asal Wisconsin dari 1947 sampai kematiannya pada 1957. Meski begitu, namanya baru menjadi perhatian utama masyarakat Amerika Serikat pada 9 Februari 1950, di tahun yang sama dengan dimulainya Perang Korea.
Saat itu, McCarthy hadir dalam perayaan Lincoln Day dan menyampaikan pidato yang akan menjadikan namanya sebagai salah satu fragmen besar dalam sejarah internal Amerika Serikat di era Perang Dingin.
I have here in my hand a list of 205—a list of names that were made known to the Secretary of State as being members of the Communist Party and who nevertheless are still working and shaping policy in the State Department.
ADVERTISEMENT
Begini terjemahannya: Di tanganku ini daftar berisi nama 205 orang. Ini adalah daftar orang-orang yang diketahui Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat sebagai anggota Partai Komunis, dan meski begitu tetap bekerja dan membentuk kebijakan di kementerian ini,” kata McCarthy.
Ia bicara menggebu-gebu. Beberapa hari setelahnya, McCarthy mengulangi pidato berisi tuduhan serupa di Salt Lake City. Rangkaian paranoia dimulai. Sebuah era bernama McCarthyisme.
McCarthyisme secara sederhana diartikan sebagai praktik menuduh seseorang telah melakukan subversi atau pengkhianatan terhadap negara tanpa bukti cukup. Sementara terminologi “McCarthyism” sendiri pertama kali digunakan pada karikatur politik buatan Herbert Block di Washington Post pada 29 Maret 1950.
Masyarakat Amerika Serikat tentu saja tertegun dengan pernyataan McCarthy tersebut. Tuduh-menuduh dan kecurigaan yang dilemparkan tokoh-tokoh politik Konservatif ke kelompok Demokrat memang umum terjadi pascaperang.
ADVERTISEMENT
Namun, menyebut angka komunis sedemikian banyak berada di dalam kementerian negeri sendiri, tentu punya dampak berbeda. Apa yang diucapkan McCarthy membuat masyarakat Amerika Serikat jeri pada derajat kemungkinan telah dalamnya intervensi “Commie” asing di kebijakan pemerintah Amerika Serikat.
Apalagi, sekitar tiga tahun sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Harry Truman mengeluarkan Executive Order Nomor 9835 yang memulai “program kesetiaan” terhadap pegawai federal pemerintah Amerika Serikat. Program tersebut memerintahkan pemecatan bagi siapa saja yang “dengan alasan masuk akal terbukti tidak setia terhadap pemerintah Amerika Serikat”.
Truman sendiri sebenarnya adalah seorang Demokrat. Meski begitu, menurut Alfred Fried dalam McCarthyism, The Great American Red Scare (1997), Truman membuat program itu karena terdesak kelompok Konservatif yang terus mengkritik dan menuding bahwa pemerintahan Truman terus condong ke kiri.
ADVERTISEMENT
Bimbang, memang. Namun masyarakat Amerika Serikat cenderung percaya. Bagaimanapun, hantu komunis tak hanya kali itu saja mengancam mereka. Pada akhir dekade 1910-an hingga awal dekade selanjutnya, The First Red Scare (Horor Merah Jilid Satu) sudah lebih dulu terjadi.
Saat itu, masyarakat mengkhawatirkan menyebarnya Bolshevisme dan anarkisme. Keduanya menjadi aktual lewat Revolusi Rusia dan banyaknya pengeboman anarkis di Amerika Serikat pada dekade 1910-an. Setelahnya, kekhawatiran akan munculnya komunisme dan anarkisme lewat gerakan buruh Amerika menjadi paranoia. Ratusan orang ditangkap dan dideportasi dari Amerika Serikat.
Maka, wajar saja apabila banyak masyarakat Amerika Serikat percaya akan datangnya Horor Merah Jilid Dua. Di sini konteks berbicara banyak.
Selain perintah Truman yang seakan mendukung narasi kemunculan komunis di pemerintahan, tentara komunis Mao Zedong juga berhasil merebut kekuasaan mayoritas daerah di China. Ini berhasil mereka lakukan meski mendapat perlawanan dari kubu Kuomintang, yang secara finansial didukung Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ketakutan membesar dengan berhasilnya Uni Soviet melakukan uji coba bom atom pada 1949, beberapa tahun lebih awal dari yang diperkirakan para ahli di Amerika Serikat. Selain itu, pada Januari 1950, Alger Hiss, pejabat tingkat tinggi di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, juga terbukti melakukan sumpah palsu dan bersalah telah melakukan spionase untuk Uni Soviet.
Maka, celetukan McCarthy mendapat tempat.
Joseph McCarthy dan Roy Cohn (Foto: INTERCONTINENTALE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Joseph McCarthy dan Roy Cohn (Foto: INTERCONTINENTALE / AFP)
Keriuhan di masyarakat awam mau tak mau membuat pemerintah Amerika Serikat bereaksi terhadap bualan McCarthy. Pada Maret 1950, subkomite Senat Amerika Serikat meluncurkan investigasi terhadap daftar yang disebut oleh McCarthy.
Dalam public hearing bersama Senat, McCarthy ganti menyebut bahwa daftarnya memuat 57 orang di Kementerian Luar Negeri yang menjadi komunis. Ketika investigasi selesai dilakukan, subkomite Senat tersebut tak menemukan bukti dari tuduhan McCarthy.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Presiden Amerika Serikat Dwight Eisenhower yang juga dari kubu Republikan, menolak tindakan McCarthy yang mendiskreditkan lawan politiknya lewat cara dangkal.
“Aku tak mau masuk selokan bersama orang ini,” kata Eisenhower kepada salah satu stafnya, seperti dikutip dari History.
Namun, tetap saja McCarthy tak berhenti. Memasuki periode jabatan keduanya sebagai Senator pada 1953, McCarthy malah ditempatkan sebagai pemimpin Komite Operasi Pemerintah. Posisi tersebut memberinya kewenangan untuk melakukan investigasi terhadap orang-orang di pemerintah federal yang dicurigai sebagai komunis yang menginfiltrasi.
Maka, dari 1953 sampai 1954, ratusan hearing dan investigasi dilakukan oleh McCarthy. Satu pertanyaan wajib membuka setiap pemeriksaan tersebut, “Are you now, or have you ever been, a member of the Communist Party?
Joseph McCarthy (Foto: INTERCONTINENTALE NEWS PHOTOS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Joseph McCarthy (Foto: INTERCONTINENTALE NEWS PHOTOS / AFP)
Tak pernah jelas siapa saja 205 orang yang berada dalam daftar McCarthy tersebut. Pada satu waktu, McCarthy akan mengatakan 205 orang, namun di waktu yang lain, daftar itu berubah menjadi 57, dan kali lain 81. Tak ada yang pernah tahu persis --bahkan mungkin McCarthy sendiri. McCarthy berbohong.
ADVERTISEMENT
Menurut Museum Perang Dingin di Virginia, Amerika Serikat, McCarthy tak benar-benar punya daftar yang membuktikan keterlibatan banyak orang dengan Partai Komunis. Strategi menuduh orang-orang sebagai komunis itu dipercaya ia lakukan agar terpilih lagi sebagai senator di periode kedua.
Saat periode pertamanya menjadi senator dari 1957 sampai 1952, McCarthy tak memberikan catatan impresif. Ini tak baik untuk kemungkinannya terpilih kembali di 1952. Maka, saat Edmund Walsh --rekan dekat dan seorang anti-komunis-- memberinya saran agar melakukan kampanye membasmi komunis, McCarthy mengiyakan.
McCarthy kemudian memanfaatkan teror dan ketakutan masyarakat Amerika Serikat di tengah Perang Dingin. Ia mengeluarkan daftar orang-orang yang menurutnya “terbukti” komunis.
“Untuk menghadapi sebuah ancaman, seseorang harus terlebih dahulu menemukannya,” tulis Richard Cohen di Washington Post. McCarthy, menurutnya, jelas berbohong. Namun, tuduhan oleh orang yang punya kuasa (atau berada di sisi tinggi relasi kuasa yang tak seimbang) kadang tak perlu bukti untuk bisa menghancurkan kehidupan orang-orang yang tertuduh.
Joseph McCarthy dan McCarthyisme (Foto: www.strategic-culture.org)
zoom-in-whitePerbesar
Joseph McCarthy dan McCarthyisme (Foto: www.strategic-culture.org)
“Apakah Anda sekarang, atau pernah pada suatu saat, menjadi anggota Partai Komunis?”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih agresif mengikuti. Pun dengan kegiatan privat lain yang sebenarnya tak berhubungan dengan segala yang mungkin berhubungan dengan komunisme.
Misalnya saja, di tahun kedua McCarthy menggelar investigasinya, daftar tertuduh berkembang ke sekadar orang-orang pemabuk dan homoseksual. Hasilnya, meski tanpa bukti yang cukup, 2.000 pegawai federal pemerintah Amerika Serikat kehilangan pekerjaan. Mereka dipecat, atau lebih parah lagi dipermalukan-diganggu-dilecehkan-ditindas hingga terpaksa mengundurkan diri.
Tak hanya pegawai federal biasa yang menjadi korban McCarthyisme. Aktor Charlie Chaplin, editor Institute of Pacific Relations Journal Owen Lattimore, konduktor Elmer Bernstein, dan komposer Aaron Copland juga pernah dituduh komunis karena gelombang McCarthyisme ini.
Yasonna Laoly (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Yasonna Laoly (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
“(Soal komunis ini) mengeksploitasi isu. Banyak pekerjaan positif yang bisa kita kerjakan. Enggak usah susah-susah menciptakan yang tak jelas,” kata Laoly, September 2017 itu.
ADVERTISEMENT
Lima bulan setelahnya, isu tersebut tak benar-benar hilang di lanskap politik Indonesia, dan akan ditamatkan lewat aturan soal larangan larangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang tentu saja masuk lagi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah tindak pidana terhadap keamanan negara, dan akan selamanya demikian. Larangan tersebut tertulis dalam Pasal 219 dan 220 di Buku Kedua Bab I soal Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara RKUHP.
Pasal 219
(1) Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, setiap orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. (5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (6) Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Pasal 220
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun setiap orang yang: a. Mendirikan organisasi yang menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme b. Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada atau menerima bantuan dari organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang sepatutnya diketahui menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah.
Pasal 221
(1) Setiap orang yang menyatakan keinginannya di muka umum dengan lisan, tulisan, atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan: a. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau timbulnya kerugian harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; b. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun; c. Terjadinya kerusuhan atau dalam masyarakat yang menyebabkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Sekretaris Jenderal DPP PPP, Arsul Sani. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Jenderal DPP PPP, Arsul Sani. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Selama ini, pasal-pasal tersebut memang sudah ada di KUHP. Arsul Sani, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, menyatakan sudah tepat betul pasal-pasal tersebut dipertahankan dalam KUHP.
ADVERTISEMENT
Ia juga tak khawatir larangan ini menjadi pasal karet. Sebab menurutnya, ayat (6) Pasal 219 dapat mencegah potensi kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum.
“Bahwa tidak dipidana, kalau, misalnya, maksud dari forum yang membahas tentang komunisme dan marxisme itu adalah forum pendidikan. Kalau seorang dosen mengajarkan di ruang kuliah, ‘Gini lho ideologi komunis, begini lho ideologi marxis ,’ atau di ruang diskusi, ya enggak,” kata Arsul kepada kumparan, Jumat (16/2).
Menurutnya, bahaya laten komunisme di Indonesia masih relevan. “Kalau ada gerakan mengajak orang, ‘Hei, ikut yuk. Anutlah paham komunis, anutlah paham Leninis,’ di masyarakat umum, di ruang terbuka, ya memang harus dipidana.”
“PKI paling tidak sudah dua kali mengkhianati negara ini kok. Sejarah panjang kita kan kelam kalau urusan kaum komunis. 48 sampai 65 itu kelam. Selain pemberontakan, kan terjadi gontok-gontokan (pertentangan horizontal) dan antagonisme di kalangan masyarakat,” kata Arsul, meminta masyarakat menengok sejarah kelam Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, Erasmus Napitupulu dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merasa aturan itu tak lagi relevan.
“Lha, memangnya komunis harus Marxisme-Leninisme? Kan banyak,” kata dia, Rabu (14/2).
Baginya, susah menentukan batasan bahwa seseorang menganut ideologi tertentu. “Yang di dalam otak itu kan nggak bisa dipidana. Ideologi itu nggak bisa. Yang bisa dipidana itu yang menimbulkan dampak atau membuat kerugian. Misalnya saya Kristen lalu bunuh-bunuh orang agama lain. Yang dipidana bukan Kristennya, tapi perbuatannya,” katanya.
Selain itu, dampak lebih jauh yang berpotensi muncul dengan dipertahankannya pasal-pasal itu di KUHP, bagi orang-orang yang tak begitu paham, adalah hal-hal sepele macam simbol dan gambar orang tua berjenggot (yang dikira Marx padahal Bakunin), dan kasus-kasus lain yang dengan mudah menggerakkan massa untuk melakukan persekusi terhadap orang tak bersalah, macam gelandangan sakit jiwa yang dianiaya di Bogor karena dituding antek PKI.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai nanti, tudingan “PKI” sengaja dilontarkan antar-rival politik atau bisnis, demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Pasal Kontroversial RKUHP (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pasal Kontroversial RKUHP (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
=============== Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline.