Melecut Penuntasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

25 Januari 2018 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Indonesia darurat kekerasan seksual. Jumlah laporan kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat tahun demi tahun.
ADVERTISEMENT
Berturut-urut dari 2011 hingga 2015, berdasarkan data yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan yaitu 119.107 (2011), 216.156 (2012), 279.760 (2013), 293.220 (2014), dan 321.752 (2015).
Di wilayah DKI Jakarta saja, setidaknya terdapat 2.552 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2016. Jumlah itu meningkat dari 2.399 kasus pada tahun sebelumnya.
Dalam survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik, seperti disebut dalam hasil Scoping Study Audit Keamanan di Tiga Wilayah Jakarta yang dilakukan UN Women, sebanyak 33,4 persen dari 9.000 perempuan yang diwawancara menyatakan pernah mengalami kekerasan selama hidup mereka.
Survei yang mewawancarai perempuan dalam rentang usia 15 sampai 64 tahun dari berbagai latar belakang ekonomi dan pendidikan itu juga menemukan, sebanyak 15,3 persen dari 33,4 persen responden tersebut adalah korban kekerasan seksual. Kemudian, sebanyak 9,1 persen pernah mengalami penyiksaan fisik.
ADVERTISEMENT
Pada 2016, Komnas Perempuan bahkan menyatakan kekerasan seksual menempati posisi kedua terbesar sebagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Infografis Kekerasan pada Perempuan (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
UN Women mendefinisikan kekerasan seksual sebagai suatu tindakan pemaksaan seksual yang dilakukan bertentangan dengan kemauan orang lain, baik tanpa persetujuan korban atau korban tidak dapat memberikan persetujuan karena ia seorang anak, penyandang disabilitas mental, atau dalam keadaan tak sadar akibat pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang.
Bentuk kekerasan seksual pun bermacam-macam, di antaranya pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pemaksaan posisi hubungan seksual pada pasangan, pemaksaan untuk terus melahirkan, sampai pemaksaan hubungan seksual dengan tujuan komersial (melacurkan pasangan).
Kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual juga banyak macamnya. Secara verbal, di antaranya berupa gurauan mesum, siulan (catcalling), julukan yang merendahkan, komentar yang berkonotasi seks atau melecehkan harga diri, dan menceritakan kisah atau pengalaman seksual tanpa diinginkan orang yang ditujukan.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam bentuk nonverbal, pelecehan seksual meliputi: pandangan lekat penuh nafsu, pandangan memeragakan gaya menjilat dan mencium, meraba, mencium, sampai menggesek-gesekkan bagian genital.
Memperhatikan ragam bentuk kekerasan seksual yang begitu luas, maka data-data yang dilaporkan di atas mungkin hanya puncak gunung es. Di luar jumlah kasus kekerasan yang terdokumentasi, kemungkinan lebih banyak perempuan korban kekerasan seksual yang tidak melapor.
Pelecehan seksual kerap terjadi di ruang publik. (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan )
Banyak sebab yang mendasari korban kekerasan seksual tak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Dalam hal pelecehan seksual bentuk verbal, misalnya, sering kali korban dan masyarakat merasa pelecehan tersebut sebagai hal wajar sehingga dapat dimaklumi.
“Muncul anggapan keliru. ‘Anda seharusnya bahagia kalau kami siuli karena artinya anda menarik perhatian kami.’ Jadi seandainya si perempuannya marah, pelaku seolah bilang, ‘Halah, lu belagu lu’,” kata Lia Boediman dari Yayasan Pulih ketika dihubungi kumparan, Jumat (19/1).
ADVERTISEMENT
Secara sosial, korban justru kerap disalahkan sebagai pemicu tindakan kekerasan seksual itu sendiri. Misalnya, karena gaya berpakaian dan aktivitas di luar rumah pada malam hari.
Sementara di tataran hukum, mungkin sekali banyak korban yang tidak berani menceritakan atau melaporkan kekerasan yang ia alami karena korban pelecehan seksual sering kali tidak mendapat perlakuan yang adil, seperti kasusnya diabaikan atau si pelaku tidak dihukum.
Memperhitungkan data-data laporan kasus kekerasan seksual tersebut, beserta luasnya bentuk dan kelemahan di bidang hukum, maka Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak untuk disahkan sebagai payung hukum.
ADVERTISEMENT
“Sudah tiga tahun sebenarnya masuk dalam Program Legislatif Nasional,” kata pengurus LBH APIK Jakarta, Veni Siregar, kepada kumparan, Selasa (23/1). “Urgensinya karena korbannya semakin banyak. Data kami tahun lalu hampir 44 kasus. Berarti dalam sebulan ada 3 sampai 4 kasus.”
“Bentuk atau caranya (kekerasan seksual) semakin berkembang. Dari mulai persekusi, penelanjangan, gang rape. Sementara perlindungan masih sangat minim.”
Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan )
Dalam kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berjudul Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, disebutkan saat ini terdapat sedikitnya tiga undang-undang yang mengatur tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual.
Undang-undang yang dimaksud ialah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Perdagangan Orang.
ADVERTISEMENT
UU Perlindungan Anak tidak memuat penjelasan khusus mengenai tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Demikian pula dengan UU Tindak Perdagangan Orang yang hanya mengatur kekerasan dalam konteks perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual.
Sementara dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dimuat istilah yang relatif tidak ada dalam kedua UU yang disebutkan sebelumnya. UU tersebut memberikan sedikit penjelasan mengenai kekerasan seksual, meskipun belum memberi pengertian yang lebih jelas.
ADVERTISEMENT
Padahal, bercermin dari kasus yang dialami AM di Depok pada 11 Januari lalu dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang perawat di National Hospital Surabaya terhadap pasien berinisial W pada Selasa (23/1), pelecehan seksual dilakukan menggunakan tangan dengan meraba payudara korban.
Pelaku pelecehan seksual terhadap AM saat ini bahkan hanya dikenai wajib lapor, sebelum berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan untuk persidangan.
Kasus pelecehan yang dialami AM pun terbilang lambat, sebab polisi baru serius menanggapinya setelah video rekaman CCTV kejadian pelecehan seksual itu viral di media sosial.
Saat melapor, AM hanya diberikan form kosong oleh petugas dan diarahkan ke bagian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sebelum akhirnya dioper lagi ke bagian Kriminal Umum. Ia bahkan mesti menunggu sekitar 45 menit sebelum akhirnya dapat bertemu petugas yang, katanya, sedang ke rumah sakit.
AM (jilbab hitam), korban pelecehan seksual. (Foto: Charles B./kumparan)
Setelah menceritakan kronologi kejadian yang ia alami, AM mendapat perlakuan yang kurang tepat. Ia diminta membaca buku KUHP untuk memahami Pasal 281 yang bakal dikenakan pada pelaku, dan tak tampak sikap simpati terhadap korban.
ADVERTISEMENT
“Ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang lemah membuat aparat penegak hukum juga tidak leluasa dalam melakukan proses hukum yang melakukan pemberatan terhadap korban, sehingga mendorong impunitas terhadap pelaku. Padahal korban ini sudah butuh pemulihan,” kata Veni.
Hukum acara pidana yang ada saat ini, menurut Veni, belum mengatur satupun hak korban. Produk hukum yang ada pun terlalu menyempitkan persoalan pada kriminalisasi pelaku kekerasan seksual, sedangkan hanya sedikit perhatian yang diuraikan secara jelas untuk pemenuhan hak-hak korban.
Veni cukup optimistis dengan perkembangan proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saat ini. Kasus kekerasan seksual yang dialami Yuyun di Provinsi Bengkulu pada 2016 telah mendorong proses tersebut secara signifikan. Gadis berusia 14 tahun itu tewas dibunuh secara sadis setelah diperkosa lebih dulu.
ADVERTISEMENT
Tentu disayangkan penegakan hukum baru diupayakan setelah kondisi yang semakin gawat.
Perkembangan terbaru dari proses legislasi RUU tersebut sampai tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komisi VIII DPR.
Veni berharap proses pembahasan akan selalu digelar terbuka dengan menghadirkan perempuan korban kekerasan seksual. Tujuannya, agar secara empiris produk hukum tersebut dapat dinilai oleh korban. Misalnya, untuk menentukan apakah aturan yang termuat di dalamnya sudah sesuai dengan kebutuhan pemenuhan hak-hak korban.
“Jadi RDPU bukan hanya dengan kami, Forum Pengada Layanan (wadah kerja lembaga-lembaga yang memiliki visi untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan) dan Komnas Perempuan, tetapi juga dengan pihak yang merasakan langsung ketika UU ini dilaksanakan, sehingga secara empiris dia bisa memberikan masukan terhadap isi substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Veni.
ADVERTISEMENT
LBH APIK Jakarta, Komnas Perempuan, dan Forum Pengada Layanan akan menekan DPR untuk dapat mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun ini. Rencana itu, kata Veni, sudah disampaikan dan didukung dalam RDPU pada Selasa (23/1).
Infografis indikator resiko keamanan Kota Jakarta (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Hak-hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Berbeda dengan produk hukum sebelumnya, dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual korban menjadi subjek penting untuk dipenuhi hak-haknya, seperti termuat dalam hasil kajian ICJR. Beberapa pasal di antaranya, yaitu:
Hak korban atas penanganan. Pada Pasal 23 ayat (1), penanganan diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti peristiwa kekerasan seksual.
Pemenuhan hak atas penanganan bertujuan memberikan pelayanan terpadu yang multisektor dan terkoordinasi kepada korban dan mendukung korban menjalani proses peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada penjelasan Pasal 24 ayat (1) diuraikan, penanganan terhadap korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Penanganan tersebut dilakukan secara berkelanjutan terhadap korban dan keluarga korban, sesuai hasil identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan korban.
Bersama melawan pelecehan seksual . (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan )
Hak korban atau saksi atas perlindungan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur hak korban atau saksi atas perlindungan dalam Pasal 25 dan Pasal 26. Perlindungan menurut RUU ini diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban, keluarga korban, dan/atau saksi dan harta benda selama dan setelah proses peradilan pidana kekerasan seksual.
Hak atas pemulihan. Dalam Pasal 1 angka 17, 18, dan 19 disebutkan bahwa pemulihan berarti “upaya mendukung korban kekerasan seksual untuk menghadapi proses hukum dan/atau mengupayakan kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat dengan berlandaskan prinsip pemenuhan hak korban”.
ADVERTISEMENT
Pemenuhan hak pemulihan bertujuan untuk memulihkan, menguatkan, dan memberdayakan korban dan keluarga korban dalam mengambil keputusan terhadap kehidupannya. Baik selama proses peradilan maupun setelah proses peradilan agar lebih adil, bermartabat, dan sejahtera.
Pemulihan yang diberikan meliputi permulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, dan restitusi. Pemulihan ini dilakukan sebelum, selama, dan setelah proses peradilan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjadi pencapaian yang signifikan bagi setiap orang.
Menghadapi pelecehan seksual (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
------------------------
Apakah kamu pernah mengalami pelecehan seksual? Atau menjadi saksi mata peristiwa tersebut? Mari berbagi kisah di kumparan. Kamu juga bisa mengikuti isu mendalam lain dengan mem-follow topik Ekspose di kumparan.
ADVERTISEMENT