Melihat Kembali Metode Belajar Ki Hajar Dewantara: Sariswara

24 November 2018 8:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi mengenai Ki Hajar Dewantara dengan komunitas dan SMSG di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi mengenai Ki Hajar Dewantara dengan komunitas dan SMSG di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh yang memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Dengan metode Sariswara, salah satu penekanan dari Ki Hajar adalah pendidikan budi pekerti, dan karakter.
ADVERTISEMENT
Menurut Listyo H. Kris dari Paguyuban Putra Wayah Pamong Tamansiswa, konsep tersebut merupakan ciri khas dari pendidikan yang digagas Ki Hajar. Metode tersebut ia lihat digunakan oleh orang Eropa khususnya Belanda dalam mendidik anak-anak dengan cara yang menyenangkan.
Namun demikian, Ki Hajar menyadari bahwa metode seperti itu sudah tertanam lama dalam budaya Jawa. Sehingga, usai Ki Hajar pulang dari Belanda pada tahun 1919, ia mulai menerapkan metode tersebut dalam konsep sekolah taman siswa.
"Ketika ia pulang ke Indonesia, beliau mendirikan taman siswa, saat mendirikan taman siswa beliau sudah mempelajari bahwa apa yang dipelajari di Belanda itu ada di budaya Jawa," ujar Cak Lis, sapaan akrab dari Listyo dalam pemaparannya Jumat (23/11).
Diskusi mengenai Ki Hajar Dewantara dengan komunitas dan SMSG di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi mengenai Ki Hajar Dewantara dengan komunitas dan SMSG di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
"Metode salisworo (sariswara) ini untuk anak-anak, cara mendidik anak itu dengan metode salisworo, definisinya salisworo ini sastra tapi dilakukan, dilengkapi dengan oleh olah gerak diikuti oleh iringan. Jadi semua digabungkan maka munculah iromo, iromo dalam kategori Ki Hajar ini menggabungkan irama, sastra dalam bentuk lagu, dimainkan oleh anak-anak. Ini gabungan pendidikan ki Hajar dengan metode salisworo," tambah Cak Lis.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Najelaa Shihab selaku penggagas dan pegiat jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG) mengatakan metode saliswara Ki Hajar Dewantara, semakin kuat relevansinya apabila melihat kondisi pendidikan saat ini di Indonesia. Menurut Najelaa, saat ini pendidikan Indonesia mulai lupa akan esensi pendidikan untuk anak termasuk mengajarkan pendidikan Budi pekerti dan karakter.
"Kalau lihat praktik pendidikan sekarang itu, tujuan pendidikan itu di banyak sekolah justru melupakan esensi anak. Karena yang dikejar adalah standarisasi, bukan diferensiasi dan personalisasi yang sebetulnya dibutuhkan. Pada saat bicara kebijakan pendidikan pun Ki Hajar jelas bicara sekolah di desa, di kota, di pantai dan di sawah, itu sebetulnya harus jadi sekolah dalam bentuk yang berbeda," ujar Najelaa.
ADVERTISEMENT
"Beliau sebagai tokoh pendidikan betul-betul sangat berpusat kepada anak. Dan itu yang jarang sekali. Memulai pendidikan itu dari karakter anak, mengenal minat dan bakatnya dia, dan kemudian selalu mengingatkan bahwa tujuan pendidikan itu menumbuhkan setiap anak," tambah Najelaa.
Najelaa mengatakan dalam buku-buku yang ditulis oleh Ki Hajar mengenai pendidikan, selalu dibahas mengenai hak-hak anak, kepentingan anak, kebutuhan anak, dengan potensinya masing-masing. Hal tersebut yang sebetulnya dibutuhkan oleh anak-anak dalam proses belajar mengajar.
"Ki Hajar bicara sebetulnya anak-anak itu mendapatkan ilmu pengetahuan saja, tapi bisa mengalaminya sendiri, pendidikan yang sama sekali enggak konvensional, yang sebetulnya dilakukan pendidikan itu harus seperti taman, menyenangkan tapi juga menantang. Banyak sekali sebetulnya yang mengingatkan kita kalau tujuan pendidikan itu berbicara mengenai anak," ujar Najelaa.
Diskusi mengenai Ki Hajar Dewantara dengan komunitas dan SMSG di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi mengenai Ki Hajar Dewantara dengan komunitas dan SMSG di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta. (Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan)
"Makanya dalam buku-bukunya itu selalu ditulis mengenai hak anak, kepentingan anak, kebutuhan anak, betapa anak itu lahir dengan potensinya sendiri, bukan kertas kosong, betapa anak-anak itu rusak budi pekertinya karena selalu hidup di bawah siksaan dan hukuman, bahkan Ki Hajar sudah bicara disiplin positif yang sekarang kita sampaikan itu puluhan tahun lalu," imbuh Najelaa.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran budi pekerti dan karakter pada anak, kata Najelaa, merupakan suatu hal yang penting. Karena pendidikan ini justru tidak dapat digantikan oleh apapun dan akan berdampak positif pada anak di kemudian hari.
"Aspek karakter dan budi pekerti yang disebut oleh Ki Hajar ini justru bagian dari pendidikan yang tidak dapat digantikan oleh apapun. Mau dengan teknologi, perubahan jaman, itu akan jadi kualitas yang kita tumbuhkan," pungkasnya.