news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Melindungi Masa Depan Papua

22 Februari 2018 14:58 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Papua untuk kesekian kalinya kembali dirundung nestapa. Ratusan anak-anak di salah satu wilayah Papua, Kabupaten Asmat--kawasan yang dikepung oleh hutan hujan tropis, sungai-sungai besar nan panjang, rawa-rawa, dan Laut Arafura--didera wabah kekurangan gizi dan penyakit campak.
ADVERTISEMENT
Krisis kesehatan yang menewaskan 72 jiwa anak-anak Asmat itu ditengarai sebagai fenomena puncak gunung es. Dan tudingan itu bukan pepesan kosong.
Sejak 2005, tercatat setidaknya 595 anak-anak dari berbagai wilayah di Papua tewas, entah akibat kekurangan gizi atau terkena wabah penyakit yang sebetulnya bisa dihindari seperti: campak, diare, atau malaria.
Krisis kesehatan yang terus berulang dan berlangsung hampir setiap tahun di Papua tak hanya menyingkap masalah mendasar di bidang kesehatan. Namun, merupakan satu gejala yang menunjukkan adanya persoalan pelik dalam pembangunan di Papua secara umum.
Krisis kesehatan di Papua (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Kondisi yang menyayat hati itu telah lama dialami masyarakat Papua. Yohanes Jonga, pastor sekaligus pegiat kemanusiaan Papua, melihat dalam kurun waktu relatif lama, kampung halamannya hampir selalu diabaikan. Pembangunan di Papua baru mulai digencarkan setelah Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 yang mengatur tentang keistimewaan wilayah Papua disahkan.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, pemerintah pusat menggelontorkan dana pembangunan relatif besar. Namun faktanya, meskipun pelaksanaan program-program pembangunan digencarkan, masalah sosial tak kunjung surut di Bumi Cenderawasih itu.
Papua masih saja menjadi provinsi paling miskin, dengan tingkat kualitas sumber daya manusia paling rendah, dan paling tidak bahagia pula.
Gelontoran dana pembangunan besar memang bukanlah “jin botol” yang serta-merta menyelesaikan persoalan sosial di tanah Papua semudah membalikkan telapak tangan.
Apabila menukil pada statistik-statistik pemerintah, Papua masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Survei Badan Pusat Statistik yang dirilis akhir 2017 mengungkap 21,3 persen masyarakat Papua dan Maluku masih tergolong miskin.
Bedanya, jika orang-orang Maluku merupakan masyarakat paling bahagia di Indonesia, masyarakat Papua justru sebaliknya: mereka paling tidak bahagia di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Realita itu tersingkap melalui survei BPS tentang indeks kebahagian masyarakat tiap provinsi di Indonesia. Pada survei itu, Papua tercatat sebagai provinsi dengan indeks kebahagian terendah sebesar 67,52, berbanding terbalik dengan warga Maluku Utara dan Maluku yang dinobatkan paling bahagia dengan indeks masing-masing 75,68 dan 73,77.
Merujuk pada pernyataan Kepala BPS, Suhariyanto, ketidakbahagiaan yang dirasakan masyarakat Papua berkaitan erat dengan dimensi kepuasan hidup akan pendidikan, pendapatan, dan kondisi perumahan yang tidak layak. Itu artinya, kemiskinan di Papua berbanding lurus dengan rasa tidak bahagia mereka.
Lantas, dengan dana pembangunan yang sedemikian besar itu, mengapa Papua--meminjam istilah Jakarta--tak kunjung ‘maju’?
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
Memperbaiki Komitmen
Terlepas dari hiruk pikuk retorika pembangunan yang digembar-gemborkan setiap rezim, pembangunan di Papua sebetulnya sudah kadung bermasalah. Menurut Pastor Yohanes, “Persoalan pembangunan di Papua sudah sedemikian kompleks dan multidimensional, merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan”.
ADVERTISEMENT
Bambang Purwoko, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, melihat bahwa sejak otonomi khusus diberlakukan, pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas permasalahan pembangunan di Papua adalah pemerintah daerah. Terlebih setelah Papua memperoleh dana pembangunan begitu besar.
“Seharusnya tidak ada alasan lagi Papua, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur, menjadi daerah tertinggal,” ujar Bambang kepada kumparan, Rabu (14/2).
Sejak otonomi khusus diberlakukan, dalam kurun waktu 2002-2017, Papua setidaknya telah memperoleh dana otonomi khusus yang nilainya tidak main-main besarnya: Rp 47,9 triliun. Sementara pada 2017, total dana yang dialokasikan untuk Papua mencapai Rp 59,5 triliun.
ADVERTISEMENT
Gubernur Papua Lukas Enembe mengungkapkan rincian dana tersebut berasal dari alokasi transfer pusat ke daerah sebesar Rp 43,17 triliun, dan sisanya Rp 13,68 triliun merupakan bagian dari dana kementerian/lembaga atau Satuan Kerja.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo, mengatakan dana yang diperoleh Provinsi Papua pada tahun 2017 itu “Jauh lebih besar ketimbang di Sulawesi maupun Kalimantan. Kalimantan saja hanya mendapat Rp 77,7 triliun (untuk 5 provinsi). Apalagi dibanding NTT, NTB, dan Bali.”
Papua memang memperoleh anggaran besar yang digelontorkan untuk membangun, baik kawasan maupun masyarakat. Namun, besaran dana tersebut ternyata tak lantas mengubah kondisi riil kehidupan masyarakat Papua.
Bambang Purwoko mengatakan, persoalan penting yang seharusnya diperhatikan ketika bicara soal pembangunan Papua justru terletak pada komitmen pejabat-pejabat daerah di wilayah itu.
Gizi buruk di Papua (Foto: M. Agung Rajasa/Antara)
Di era otonomi daerah dan otonomi khusus, program-program pembangunan praktis lebih banyak direncanakan di daerah ketimbang dari pusat. Masalahnya, dengan sumber daya manusia Papua, yang baik secara kualitas maupun kuantitas ‘terbatas’, program pembangunan justru menjadi terhambat.
ADVERTISEMENT
“Komitmen para pejabat di daerah untuk menjalankan tugasnya dengan baik,” ujar Bambang, adalah salah satu persoalan besar. Yakni lemahnya rasa kepedulian atau sense of public yang dimiliki para pejabat daerah di Papua terhadap masyarakatnya.
“Banyak pejabat di Papua yang lebih memikirkan dirinya, keluarganya, atau kampungnya ketimbang kepentingan publik,” ujar Bambang. “Para pejabat malah menyekolahkan anak-anak mereka ke berbagai wilayah di luar Papua dan tidak memikirkan nasib pendidikan rakyat di wilayahnya sendiri.”
Lebih jauh, Bambang mengatakan masalah besar di Papua terletak pada perilaku pejabat di daerah. “Yang mahal di Papua itu adalah BTL--Biaya Tingkah Laku--pejabat di daerah.”
Komitmen atau kepedulian pejabat daerah terhadap masyarakatnya juga ditunjukkan melalui alokasi waktu para pejabat. Bambang menyoroti banyaknya pejabat kabupaten/kota di Papua yang sangat jarang berada di lokasi tugas.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pejabat kabupaten/kota Papua di wilayah pegunungan yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di Jayapura, Nabire, bahkan Jakarta. Menurutnya, ini adalah, “Problem yang terjadi di seluruh Papua, dan ini persoalan yang sangat serius.”
Gizi buruk Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Ucapan Bambang diamini Yohanes Jonga. Menurutnya, pengawasan dan penegakan hukum memang mutlak diperlukan mengingat selama ini korupsi dan penyelewengan tanggung jawab jamak terjadi. Bedanya, Yohanes menyoroti perilaku pegawai-pegawai pelayanan publik seperti mantri, guru, atau perawat.
“Pegawai seperti mantri, perawat, atau guru itu harus diberi tindakan tegas. Bayangkan kalau sudah berbulan-bulan mereka tidak ada di tempat tugas, masa dibiarkan? Orang Papua membaca itu sebagai proses pembiaran. Nah, sebenarnya ini penegakan hukum di Papua yang lemah,” kata Yohanes kepada kumparan, Senin (19/2).
ADVERTISEMENT
Di samping soal komitmen, satu hal lain yang patut diperhatikan adalah keterbatasan kualitas sumber daya manusia para pemangku kebijakan. Lemahnya kualitas dan rendahnya komitmen dan kepedulian para pejabat itu tentu berdampak pada program-program pembangunan di Papua.
“Kemampuan (pejabat daerah) merencanakan (pembangunan) tidak bisa, kemampuan implementasi juga lemah, lalu pilihan alokasi belanja juga lemah,” papar Bambang.
Melihat masalah-masalah yang sifatnya institusional itu, Bambang menekankan pentingnya pendampingan oleh para pakar pembangunan dalam pelaksanaan program pembangunan di Papua.
Pendampingan di sini, menurutnya, harus dimulai sejak proses penyusunan dokumen perencanaan, berkomunikasi untuk mengambil kebijakan yang tepat, sampai pengimplementasian kebijakan secara konsisten.
Bersekolah di Pegunungan Bintang, Papua (Foto: Dok. Polres Pegunungan Bintang)
Pembangunan Bercorak Lokal
Meski Papua telah memperoleh dana pembangunan yang relatif besar, ironisnya persoalan sosial yang sifatnya mendasar masih kerap melanda masyarakat di wilayah tersebut. Antropolog UGM Laksmi A. Savitri menilai, problem tak bisa diselesaikan dengan sekadar memperbaiki tata pemerintahan atau kualitas sumber daya manusia pemangku kebijakan di Papua.
ADVERTISEMENT
Laksmi menegaskan, masalah pembangunan di Papua juga diakibatkan oleh pola pembangunan yang mengabaikan corak lokal dan aspek kemanusiaan masyarakat Papua.
Menurut Laksmi, pembangunan di Papua harus dimulai pertama-tama dengan “penghormatan atas martabat orang Papua”. Selama ini, dalam berbagai proyek pembangunan, “Masyarakat Papua hanya dipandang sebagai objek, bukan subjek pembangunan.”
Sebagai objek yang perlu ‘dibangun’, orang-orang Papua sering kali mendapat stigma tertentu dari orang non-Papua yang sifatnya merendahkan. Misalnya: orang Papua sering dianggap primitif, terbelakang, miskin, dan sebagainya.
Stigma-stigma yang bersifat merendahkan tersebut telah menempatkan orang-orang Papua ke posisi yang tidak menguntungkan. Menurut Laksmi, stigma dan stereotip itu telah menyebabkan proses edukasi atau alih pengetahuan untuk mendukung program-program pembangunan menjadi muskil dilakukan.
Jokowi menjajal Jalan Trans Papua dengan trail (Foto: Dok. Kementerian PU)
“Ada anggapan yang menyatakan bahwa mereka (orang-orang Papua) itu tidak akan mengerti, bahkan meski mendapat edukasi atau penjelasan sekali pun. Karena (stigma) bahwa mereka itu tidak sekolah, berpendidikan rendah, dan seterusnya. Stigma itu kemudian terakumulasi, yang menyebabkan mereka tertutup dari jalur informasi,” tutur Laksmi saat berbincang kepada kumparan, Kamis (15/2).
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, penghormatan martabat manusia Papua sebagai subjek atau aktor pembangunan harus dimulai dengan pendekatan yang bercorak apresiatif. Itu artinya, manusia Papua harus dipahami sebagai manusia yang mempunyai kapasitas, kemampuan, keahlian, kecerdasan, dan intelektualitas tersendiri.
“Menurut saya, kalau memang mau membuat orang Papua cerdas, harus berangkat dari memahami dulu kecerdasan mereka,” ujar Laksmi.
“Bagaimana mereka berbahasa dan seperti apa nalar mereka bekerja, itu menjadi penting. Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan, itu yang seharusnya didorong. Bukan kemudian dipaksakan untuk mencerdaskan orang Papua ala modernisme Barat.”
Tanpa adanya pemahaman atau pendekatan pembangunan yang memperhatikan aspek kebudayaan, menurutnya, “Apapun yang akan dibangun di Papua akan sia-sia. Artinya masyarakat Papua justru akan semakin terpinggirkan.”
ADVERTISEMENT
Sepenggal Episode Muram di Asmat (Foto: M Agung Rajasa/ANTARA)
Yohanes Jonga mengatakan, selama ini konsep pembangunan yang diprogramkan dari pusat tak serta-merta dapat diterapkan dengan baik di Papua, karena tidak disertai pendekatan budaya lokal. Maka di masa depan, pembangunan Papa harus mengutamakan pendekatan partisipatif yang lebih menekankan nilai-nilai lokal Papua.
“Gagal karena konsep pembangunan yang diprogramkan dari pusat bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan cara kerja orang Papua,” ujar Yohanes.
Oleh sebab itu, pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan pun menjadi keharusan.
“Program-program pembangunan dengan pendekatan yang semata-mata ekonomistik maupun politis seharusnya tidak diterapkan di Papua, karena hanya akan mereproduksi stigma dan semakin memarjinalkan masyarakat Papua,” kata Laksmi.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Laksmi, Bambang Purwoko juga menekankan pentingnya pemahaman atas keunikan atau corak lokal di masing-masing daerah di Papua. Menurutnya, “Keunikan di setiap daerah di Papua memang memerlukan pendampingan khusus.”
Dalam hal ini, keunikan kabupaten/kota di Papua yang berbeda satu sama lain, antara wilayah yang berada di gunung dan pantai menjadi krusial.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, ada satu aspek yang sebetulnya penting diperhatikan ketika berbicara pembangunan di Papua: penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Klaim ini sama sekali tidak mengada-ada. Berdasarkan hasil survei “Persepsi Warganet Terhadap Isu Papua” yang diselenggarakan oleh LIPI dan Change.org, mayoritas responden sebesar 14,02 persen menyatakan bahwa masalah terbesar di Papua bukanlah kemiskinan atau infrastruktur, melainkan pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Yohanes Jonga sepakat. Menurutnya, sebelum berbicara masalah pembangunan infrastruktur atau lainnya di Papua, penyelesaian deretan kasus pelanggaran HAM juga harus diperhatikan, karena itu tak hanya menyangkut nasib masyarakat Papua, tapi juga bangsa Indonesia.
Pembebasan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua (Foto: Dok. Multimedia Polri)
“Persoalan Papua itu rumit dan sudah masuk ke semua aspek kehidupan. Masalah sudah terlalu bertumpuk-tumpuk dan tidak ada satu pun penyelesaian,” tutur Yohannes. Kasus-kasus pelanggaran HAM, menurutnya, malah bertambah panjang.
Persoalan semakin ironis ketika, “Masalah pelanggaran HAM yang dilakukan negara atas nama pembangunan dan atas nama NKRI tidak pernah diselesaikan. Saya pikir itu, ya percuma kita membangun Papua dengan uang triliunan rupiah. Tidak ada gunanya.”
Meski anggaran triliunan rupiah untuk infrastruktur dan sebagainya dikucurkan, selama pelanggaran HAM masih terjadi, ibarat “biar koteka diganti dengan emas”, tidak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah pusat, melalui Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho seperti dilansir situs presidenri.go.id (28/1) mengakui permasalahan di Papua amat kompleks.
“Perlu rancangan aksi, fokus dulu. Jangan melihat orang meninggal itu sebagai statistik. Ada banyak persoalan di sana menyangkut alam, manusia, infrastruktur, dan juga tata kelola pemerintahannya, terutama pemerintah daerah,” kata Yanuar.
Papua memang bukan sekadar statistik--angka kematian, angka anggaran pembangunan, angka kekerasan. Di atas semua itu, rakyat Papua adalah manusia.
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.
ADVERTISEMENT