Memahami Keterlibatan Wanita dan Anak dalam Aksi Terorisme

16 Mei 2018 7:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wanita bercadar. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita bercadar. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi bom bunuh diri yang dilakukan tiga keluarga di Surabaya menyisakan banyak pertanyaan. Satu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana mungkin seorang istri, sekaligus seorang ibu dapat mengajak anak-anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri?
ADVERTISEMENT
Menurut psikolog Elizabeth Santosa, maraknya para pelaku teror yang melibatkan keluarga dapat dilacak sejak dulu. Misalnya pada tahun 1970-an sampai 1980-an yang dilakukan oleh beberapa organisasi di Amerika Latin. Mulai dari Sandinista National Liberation Front (FSLN) di Nikaragua, Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN) di El Savador serta Shining Path di Peru.
Istri Anton  (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Istri Anton (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Elizabeth menjelaskan, keterlibatan wanita dan anak-anak dalam aksi teror dilakukan demi menghindari kecurigaan banyak orang. Dengan kata lain, hal itu dijadikan strategi tersendiri yang dilakukan kelompok terorisme.
“Stereotip wanita sebagai seseorang yang memiliki karakter keibuan penuh kasih, dan anak-anak yang terlihat tidak berbahaya bahkan rapuh seringkali lolos observasi dan kecurigaan dari petugas keamanan setempat,” jelas Elizabeth seperti dalam keterangan yang diterima kumparan (kumparan.com), Selasa (15/5).
Nyala Lilin Untuk Korban Bom Surabaya (Foto: AFP/Ivan Damanik)
zoom-in-whitePerbesar
Nyala Lilin Untuk Korban Bom Surabaya (Foto: AFP/Ivan Damanik)
Dibandingkan dengan teroris laki-laki, lanjut Elizabeth, wanita memiliki dedikasi yang lebih tinggi. Dedikasi itu kemudian ditunjang dengan kemampuan berperang yang sebetulnya tak jauh berbeda dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Jiika dianalisa dari pola pikir dan motivasi kaum wanita yang menjadi teroris, maka mereka memiliki kecenderungan menjadi sosok yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pria. Perempuan memiliki kemampuan dan dedikasi untuk tetap fokus (single-minded) tanpa terdistraksi hal lain mencapai satu tujuan akhir,” jelasnya.
Terkait dengan motivasi tersebut, teroris wanita juga memiliki idealisme akan harapan dan janji masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Pemikiran semacam itu kemudian menjadi pembenaran untuk melakukan aksi bom bunuh diri bersama anak-anaknya.
“Pelaku wanita sebagai ibu memiliki keterikatan emosional yang tinggi dengan anak kandungnya sehingga merasa bertanggungjawab untuk tidak meninggalkan anaknya hidup sebatang kara,” tutur Elizabeth.
Duka Cita Akibat Teror Bom Surabaya (Foto: REUTERS/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Duka Cita Akibat Teror Bom Surabaya (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Selain itu, kata Elizabeth, alasan ikatan pernikahan juga turut mempengaruhi seorang wanita untuk patuh terhadap suaminya. Wujud dari kepatuhan tersebut dapat berupa kerelaan untuk terlibat dalam serangakaian teror bom bunuh diri. Meski demikian, itu bukan berarti wanita yang berpandangan feminisme tak mungkin terpengaruh radikalisme.
ADVERTISEMENT
“Ideologi feminisme juga dapat menjadi alasan motivasi dibalik maraknya kaum wanita yang tergabung dalam organisasi teroris. Banyak diantaranya berasal dari lingkungan masyarakat dengan nilai budaya bahwa kaum wanita dipandang lebih rendah secara martabat dari kaum pria,” tutupnya.