news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Memahami Perbedaan Yahudi, Zionisme dan Israel

14 Juni 2018 13:59 WIB
comment
59
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Umat Yahudi berdoa meminta hujan (Foto: REUTERS/Ronen Zvulun)
zoom-in-whitePerbesar
Umat Yahudi berdoa meminta hujan (Foto: REUTERS/Ronen Zvulun)
ADVERTISEMENT
Indonesia menjadi pusat perhatian di tengah konflik Israel dan Palestina. Polemik bermula ketika Katib Aam Nahdlatul Ulama yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar oleh American Jewish Committee.
ADVERTISEMENT
Kritik tak henti berdatangan kepada Gus Yahya yang dianggap malah 'membela' Israel di tengah upaya Indonesia yang berjuang untuk Palestina. Konflik antara Israel dan Palestina mau tak mau juga menyeret konflik agama antara Islam dan Yahudi. Tak hanya Yahudi, Israel juga sering dikaitkan dengan istilah Zionisme.
Pemeluk Yahudi (Foto: AFP/HAZEM BADER)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeluk Yahudi (Foto: AFP/HAZEM BADER)
Banyak pihak mencampuradukkan istilah Yahudi, Zionisme, dan Israel dan menjadikan mereka sebagai musuh bersama. Ada baiknya, kita memahami terlebih dahulu apa perbedaan Yahudi, Zionisme, dan Israel. kumparan merangkum perbedaan istilah ketiganya.
1. Yahudi
Jauh sebelum islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad, agama Yahudi sudah eksis bahkan mendahului agama nasrani. Kitab suci umat Islam Al Quran pun turut mengisahkan mengenai serba-serbi agama Yahudi. Namun sebagai sebuah konsep, Yahudi tak terbatas pada agama semata. Bagaimana pun, Yahudi juga merujuk pada entnisitas dan kesukuan.
ADVERTISEMENT
Layaknya sebuah mata uang yang sama. Agama dan etnisitas tak terpisahkan. Mayoritas, mereka beragama Yahudi karena faktor keturunan. Jika tak ada darah kesukuan Yahudi, jangan harap orang biasa dapat memeluk agama tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang dapat dimasuki oleh berbagai orang dari latar belakang apa pun.
Umat Yahudi berdoa meminta hujan (Foto: REUTERS/Ronen Zvulun)
zoom-in-whitePerbesar
Umat Yahudi berdoa meminta hujan (Foto: REUTERS/Ronen Zvulun)
Dalam sejarahnya, pemeluk Yahudi tak selalu diasosiasikan negatif oleh umat islam. Dalam perang Uhud yang terjadi pada tahun 625 M, Muhammad dikisahkan pernah meminta bantuan Yahudi dalam perang melawan orang-orang Quraisy. Saat itu, orang-orang Yahudi tengah menetap di tanah Madinah dan hidup harmonis dengan umat Islam.
Dilaporkan Time of Israel, kala itu Muhammad mendapat bantuan dari seorang Rabi Yahudi bernama Mukhayriq yang berasal dari suku Tha'labah. Sebagai seorang yang berpengaruh di suku itu, Mukharyq meminta para pemeluk Yahudi untuk membantu Muhammad.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, permintaan Mukhayriq itu tak didengarkan. Mereka beralasan perang itu dilaksanakan pada hari Sabat, hari yang digunakan umat Yahudi untuk beribadah. Menariknya, Mukhayriq tetap nekad membantu Muhammad. Hingga akhirnya dia mati di dalam medan pertempuran.
"Dia adalah yang terbaik dari orang Yahudi,” ucap Muhammad kala itu.
Dalam konteks saat ini, kekompakan Yahudi dan islam juga terjadi saat Trump menggulirkan wacana anti-imigran muslim. Di Amerika Serikat, ada banyak warga Yahudi yang turun ke jalan menentang kebijakan Trump tersebut. Solidaritas pun terjadi saat itu. Warga Yahudi membentangkan spanduk bertuliskan 'Persaudaraan Holocaust untuk Imigran Muslim'
Warga Yahudi Memprotes Netanyahu (Foto: REUTERS/Darren Ornitz)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Yahudi Memprotes Netanyahu (Foto: REUTERS/Darren Ornitz)
Imam Masjid di Harlem, Al Hadj Talib Abdur-Rashid menjelaskan, dalam aksi itu bahwa yahudi dan Islam banyak memiliki kesamaan. Menurutnya, pelaku teror yang meledakkan masjid juga biasanya merupakan pelaku yang meledakkan sinangog.
ADVERTISEMENT
Hal senada pun ditunjukkan Rabi Yahudi Jonathan Greenblat, dia mengungkapkan rela mengaku sebagai muslim jika kebijakan Trump itu benar-benar terlaksana. Sebagai seorang Yahudi, dia tak ingin peristiwa Holocaust terulang dan terjadi pada umat muslim. Dia menyebut kebijakan Trump yang membuat pelabelan seperti itu layaknya Hitler saat masih berkuasa.
Di belahan dunia lainnya, Inggris, warga Yahudi menolak segala macam bentuk Islamofobia di Partai Konservatif. Hal itu dilakukan sebagai sebagai bentuk solidaritas. Bagaimana pun, warga Yahudi juga pernah mengalami diskriminasi berupa antisemitisme di partai Buruh.
2. Zionisme
Zionisme merupakan gerakan politik di kalangan warga Yahudi yang mencuat pada tahun 1897. Pendiri gerakan politik tersebut didirikan oleh seorang wartawan Yahudi bernama Theodor Herzl.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, warga Yahudi tersebar ke seluruh Eropa. Mereka tak memiliki tanah dan negara yang menyatukan mereka. Satu-satunya yang mereka miliki adalah identitas darah Yahudi yang oleh Herzl ingin disatukan dalam kesatuan geografis, sebuah negara yang menaungi warga Yahudi.
Theodor Herzl (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Theodor Herzl (Foto: Wikimedia Commons)
Saat pertama kali dilontarkan Herzl, gagasan tersebut tak sepenuhnya diterima oleh para pemuka agama yahudi. Beberapa tokoh kunci seperti Martin Buber, Karl Popper, Hermann Cohen, hingga Judah L. Magnes dengan lantang menolak gagasan Herzl tersebut. Alasannya, gagasan tersebut akan sia-sia, tak sesuai dengan visi Yahudi yang justru harus menyebar ke seluruh dunia.
Meski mendapat penolakan, gerakan zionis itu sendiri pada akhirnya berhasil membangun negara Israel pada 14 Mei 1948. Persoalannya, tanah yang mereka ambil untuk dijadikan negara adalah tanah milik bangsa Palestina. Perang besar pun sempat tak terhindarkan.
Yerusalem, Perang Arab Israel 1967 (Foto: Gershon Yuval/ GPO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Yerusalem, Perang Arab Israel 1967 (Foto: Gershon Yuval/ GPO / AFP)
Oleh sebab itu, muncul kemudian sebuah narasi yang lazim dikenal. Bahwa pemeluk yahudi belum tentu pendukung zionisme. Tak semua orang Yahudi mendukung agresi pembentukan negara Israel.
ADVERTISEMENT
3. Israel
Saat ini Israel memiliki penduduk sebesar 7,5 juta jiwa. Israel merupakan satu-satunya negara yang mayoritasnya adalah agama Yahudi. Menariknya, ada beberapa agama yang dianut selain Yahudi di sana.
Berdasarkan survei penduduk pada 2011, terlihat bahwa populasi Yahudi di sana sebesar 75,4 persen, 16,9 persen Islam, 2,1 persen Kristen, 1,7 persen Druze, serta 4 persen lainnya berupa pemeluk agama Hindu, Buddha, Neo Pagan, serta lainnya.
Ilustrasi bendera Israel (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera Israel (Foto: Pixabay)
Sejak berdiri sebagai sebuah negara, Indonesia tak pernah memiliki hubungan diplomatik apa pun dengan Israel. Sebab, Indonesia selalu beranggapan bahwa kebijakan yang diambil Israel tak sesuai dengan UUD 1945 tentang penjajahan.
Kendati demikian, negara berpenduduk muslim seperti Arab Saudi justru memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Israel. Bagi Arab Saudi, bekerja sama dengan Israel jauh lebih penting ketimbang bekerja sama dengan Iran yang beraliran syiah dan tak layak disebut Islam.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah negara, Israel selalu meriuhkan berita internasional di Timur Tengah. Ada banyak kejadian tak sedap berupa pembunuhan yang dilakukan tentara Israel kepada rakyat Palestina.
Baru-baru ini, seorang perawat Palestina Razan Al-Najjar tewas ditembak tentara Israel. Pelakunya hingga kini belum tertangkap. Namun yang jelas, kebijakan Israel selalu keras terhadap Palestina.
Suasana Kota Yerusalem (Foto: Reuters/Ronen Zvulun)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Kota Yerusalem (Foto: Reuters/Ronen Zvulun)
Israel juga tengah berencana mendirikan 300 ribu perumahan bagi warga Yahudi di Yerusalem. Rencana pembangunan itu merupakan bagian dari program Greater Jerusalem yang diupayakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Sebuah rencana yang mencuat usai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Namun sekali lagi, kebijakan itu bukan berati tak mendapat kritik dari warga Yahudi itu sendiri. Pemuka yahudi di AS Rabbi Aaron Teitelbaum justru mengutuk langkah pemindahan ibu kota tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kami menyatakan atas nama Haredi Yudaisme: Yerusalem merupakan kota suci, tidak akan menjadi ibu kota negara Zionis, bahkan jika presiden Amerika Serikat mengatakan itu," kata Teitelbaum kepada ribuan jemaahnya di New York seperti dikutip dari The Jerusalem Post, Sabtu (11/12).