Membandingkan Gratifikasi yang Dilaporkan Penghulu Jujur dengan Jokowi

25 April 2018 17:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Membandingkan Samanto, Jokowi, dan Abdur. (Foto: Twitter Jokowi, Retno Wulandhari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Membandingkan Samanto, Jokowi, dan Abdur. (Foto: Twitter Jokowi, Retno Wulandhari/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tak semua pegawai pemerintah mau melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Bahkan untuk level pejabat, masih banyak yang enggan melapor gratifikasi. Maka tak heran, ketika ada dua pemuda yang berprofesi sebagai penghulu mau melapor, jadi sebuah berita besar dan menarik.
ADVERTISEMENT
Dua pemuda itu bernama Abdurrahman Muhammad Bakri dan Samanto. Keduanya merupakan penghulu yang bertugas menikahkan dua insan. Namun tidak hanya itu, keduanya berhasil menginspirasi banyak orang atas kejujurannya melaporkan setiap bentuk gratifikasi ke KPK.
Dalam perbendaharaan UU Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi bermakna pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Nah, bagaimana kalau kita bandingkan pelaporan gratifikasi Abdurrahman dan Samanto dengan pejabat lain, termasuk Presiden Joko Widodo?
Berdasarkan data yang dirilis KPK pada akhir Maret lalu, disebutkan baik Abdur maupun Samanto didaulat sebagai pelapor gratifikasi terbanyak. Sejak 2015 hingga 2018, Abdur tercatat menempati posisi pertama sebagai orang yang melaporkan 59 kasus gratifikasi. Sementara Samanto menempati posisi ke-4 dengan melaporkan 39 kasus gratifikasi.
Abdurrahman Muhammad Bakri (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Abdurrahman Muhammad Bakri (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Dari nama-nama yang tercantum di dalam data itu, terdapat Menteri Kesehatan Nila Moeloek yang menempati posisi kedua dengan laporan sebanyak 50 gratifikasi. Posisi ketiga kemudian ditempati oleh PNS dari biro kepegawaian dan organisasi Kementerian Perhubungan Hary Kriswanto. Dia melaporkan 48 kasus gratifikasi. Sementara di posisi ke-5 ada Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno yang melaporkan 21 kasus.
ADVERTISEMENT
Jika Abdur dan Samanto merupakan orang yang seringkali melaporkan gratifikasi kepada KPK, Presiden Joko Widodo merupakan orang yang menduduki peringkat pertama dengan nilai pelaporan gratifikasi terbesar.
Masih dalam data yang sama, KPK mencatat bahwa sepanjang 2015-2018, Jokowi telah melaporkan gratifikasi senilai Rp 58.772.209.856. Disusul kemudian Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melaporkan Rp 40.227.970.778 ke KPK.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi kedapatan mendapat hadiah dari para sahabatnya yang merupakan pemimpin dunia, serta dari rakyat di daerah yang dikunjunginya.
Pada akhir 2017 misalnya, Jokowi melaporkan hadiah dari PM Denmark Lars Lokke Rasmussen berupa album piringan hitam Metallica berjudul Master of Puppets. Hadiah itu diterima Jokowi di akhir kunjungan Lars Lokke saat bertandang ke Indonesia pada 29 November 2017.
Jokowi diberikan album Metallica oleh PM Denmark (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi diberikan album Metallica oleh PM Denmark (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Sebagai seorang penggemar musik cadas, hadiah tersebut tentu sangat berarti bagi Jokowi. Terlebih, album tersebut telah dibubuhi tanda tangan dari penabuh drum Metallica yang berasal dari Denmark Lars Ulrich. PM Rasmussen sengaja meminta Ulrich untuk membubuhkannya di album tersebut.
ADVERTISEMENT
"Ini Perdana Menteri Rasmussen tahu saja kesukaan saya, Metallica," kata Jokowi, Selasa (28/11/2017).
Kala itu, Jokowi tak mampu menolak pemberian PM Rasmussen. Meski akhirnya Jokowi melaporkan hadiah album legendaris tersebut ke KPK untuk diproses sebagai dugaan gratifikasi.
Benar saja, Jokowi akhirnya melaporkan barang tersebut ke KPK. "Betul, dilaporkan tanggal 7 Desember," kata Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono, Senin (11/12/2017).
Belakangan, album tersebut ditebus oleh Jokowi dengan merogoh kocek pribadinya sendiri. Dia mengeluarkan uang senilai Rp 11.079.019 demi memboyong album band kesukaannya tersebut pada 21 Februari 2018.
Ilustrasi Gedung KPK. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gedung KPK. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Selain album Metallica, Jokowi juga pernah menerima beberapa barang lainnya, mulai dari kacamata dari pebalap MotoGP asal Spanyol Jorge Lorenzo, lukisan dari Rusia, tea set emas, souvenir dari Bahrain, serta berbagai hadiah dari Kerajaan Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Yang paling unik, Jokowi pernah melaporkan hadiah berupa dua ekor kuda sandalwood seharga Rp 70 juta dari Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) ke KPK. Kuda tersebut bahkan sempat membuat petugas KPK kebingungan untuk merawatnya. Maklum, selama ini KPK hanya menerima barang berupa benda mati.
"Bapak Presiden Jokowi melaporkan dua buah kuda dari Nusa Tenggara nilainya Rp 170 juta diberikan oleh masyarakat sana," ujar Giri di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (30/8).
Jokowi menunggangi kuda sandalwood. (Foto: Twitter Presiden Joko Widodo)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi menunggangi kuda sandalwood. (Foto: Twitter Presiden Joko Widodo)
Pada akhirnya, baik Abdur, Samanto, maupun Jokowi merupakan contoh yang sekali lagi patut diapresiasi. Tak peduli jabatan dan besaran nilai gratifikasinya, mereka dapat menaati peraturan dan mengatakan suatu hadiah itu tak pantas untuk dimiliki .
Meski total uang yang dikembalikannya tak banyak, sekitar Rp 4 juta, semangat Abdur dan Samanto dalam menolak gratifikasi berupa amplop dari warga patut diacungi jempol.
ADVERTISEMENT
"Sebagai seorang petugas aparatur negara, kita harus bekerja sesuai dengan regulasi dan aturan yang ada. Menerima honor atau kompensasi kan harus ada regulasinya. Selama itu tidak ada (regulasinya), bisa jadi itu dianggap pelanggaran," kata Samanto saat ditemui kumparan (kumparan.com) di kantor KUA Kecamatan Imogiri, Yogyakarta, Kamis (22/4).
Samanto  (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Samanto (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Selama ini, nilai gratifikasi yang diperoleh Abdur maupun Samanto berkisar Rp 25.000 sampai Rp 200.000 per amplopnya. Amplop-amplop tersebut didapat saat Abdur dan Samanto menghadiri pernikahan warga sebagai penghulu. Biasanya, keluarga pengantin akan memberikan amplop berisi uang. Saat ditolak, ada saja cara warga menyelipkan amplop tersebut.
Tak mudah memang untuk menolak hadiah yang diberikan oleh orang lain. Tetapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Selama pemberian itu diberikan dalam kapasitas sebagai pejabat negara, maka hadiah tersebut harus ditolak. Betapapun ikhlasnya pemberi hadiah tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal seperti itulah yang selalu diingat Abdur. Paham bahwa dirinya merupakan seorang aparatur negara, Abdur akan secara tegas menolak setiap pemberian dari masyarakat. Jika tetap tak bisa menolaknya, Abdur tak lantas goyah. Amplop yang terlanjur diterima akan dilaporkan dirinya ke KPK.
Abdurrahman Muhammad Bakri (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Abdurrahman Muhammad Bakri (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
"Pertama harus ditolak dulu, dan ketika penolakan itu tidak bisa diterima masyarakat. Dengan terpaksa kami terima dan kami harus melaporkan ke KPK," kenang Abdur.
Narasi Abdur dan Samanto barangkali dapat menjadi angin segar bagi masyarakat yang mendambakan keteladanan dari para aparat negara. Terlebih, cerita Abdur dan Samanto hadir disaat maraknya pemberitaan suap dan korupsi yang malang melintang di media massa.