Membedah Novel ‘Ghost Fleet’, Acuan Prabowo soal Indonesia Bubar 2030

22 Maret 2018 14:05 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prabowo Subianto. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pidato Prabowo Subianto yang menyinggung soal bubarnya Indonesia pada 2030 menuai kontroversi. Pidato mengejutkannya itu disampaikannya di depan kader Gerindra dalam acara Konferensi Nasional dan Temu Kader Partai Gerindra di Sentul, Bogor, Rabu (18/10/2017).
ADVERTISEMENT
“....Di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030, Bung! Mereka ramalkan kita ini bubar," kata Prabowo dengan nada berapi-api.
Pidato tersebut viral setelah diunggah oleh Partai Gerindra di Facebook pada Minggu (18/3).
Ucapan Prabowo yang menyebut Indonesia akan bubar pada 2030 rupanya bukan kali pertama. Pada 18 September 2017, Prabowo juga menyinggung hal serupa saat ia menjadi pembicara di Universitas Indonesia. Ia merujuk bubarnya Indonesia dari sebuah novel fiksi ilmiah berjudul 'Ghost Fleet'.
“The Ghost Fleet ini sebuah novel, tapi ditulis oleh dua ahli strategi dari intelijen Amerika, menggambarkan sebuah skenario perang antara China dan Amerika tahun 2030. Yang menarik bagi kita dari sini hanya satu, mereka meramalkan kalau 2030 Republik Indonesia sudah tidak akan ada lagi,” tegas Prabowo berapi-api.
ADVERTISEMENT
Lalu sebetulnya seperti apa novel Ghost Fleet yang dibicarakan Prabowo itu?
kumparan (kumparan.com) berkesempatan untuk menilik buku tersebut. Novel yang jadi rujukan Prabowo itu ditulis oleh P.W Singer dan August Cole, serta memiliki tebal sebanyak 400 halaman. Buku itu diterbitkan pada 30 Juni 2015 oleh Houghton Mifflin Harcour di New York, Amerika Serikat.
Selayaknya sebuah novel, 'Ghost Fleet' menawarkan bahan bacaan renyah penuh imajinasi. Jika terbiasa membaca novel-novel penulis kenamaan dunia seperti Dan Brown maupun Sydney Sheldon, maka sepintas 'Ghost Fleet' menawarkan aroma serupa dengan latar yang agak berbeda.
P. W. Singer dan novel Ghost Fleet (Foto: tangofuture.com)
zoom-in-whitePerbesar
P. W. Singer dan novel Ghost Fleet (Foto: tangofuture.com)
Begini, 'Ghost Fleet' mengawali cerita pada sebuah situasi 10.590 meter di bawah permukaan laut, Palung Mariana, Samudera Pasifik. Dikisahkan ada seorang geologis China bernama Zu Zhin yang tengah berada di sebuah kapal selam. Sebagai seorang geologis yang jauh dari keluarga, Zu Zhin digambarkan tengah merindukan istrinya.
ADVERTISEMENT
Konflik kemudian mulai mengemuka saat pecahnya perang dunia ketiga antara Amerika Serikat melawan China dan Rusia. Dalam novel itu, China dengan segala teknologi canggih yang dimiliki mampu melumpuhkan sistem satelit dan Global Positioning System milik Amerika Serikat.
Tak hanya itu, China juga berhasil menguasai Hawaii dan mendirikan kawasan administratif di sana. Kala itu, hampir seluruh Armada Pasifik Amerika Serikat hancur di tangan China.
Tentu cerita tak berhenti di situ, Amerika Serikat yang hampir porak-poranda berusaha melakukan perlawanan. Di sinilah kemudian istilah 'Ghost Fleet' itu dimunculkan sebagai upaya perlawanan terakhir. 'Ghost Fleet' yang secara harfiah bermakna ‘Armada Hantu’ mengacu pada armada cadangan Angkatan Laut Amerika Serikat.
Tokoh fiktif bernama Komandan Jamie Simmons yang kemudian menjadi tokoh kunci dalam ‘Armada Hantu’ itu. Ia mengarungi lautan bersama kapal perang USS Coronado. Semaksimal mungkin ia berusaha untuk merebut kembali Hawaii dari cengkeraman China yang ia sebut sebagai penjajah.
ADVERTISEMENT
Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Indonesia rupanya dilibatkan dalam novel tersebut. Namun, saat itu Indonesia dikisahkan tak lagi menjadi sebuah negara yang berdiri dan memiliki kedaulatan. Yang ada hanya lokasi yang disebut sebagai bekas Negara Indonesia. Menariknya, baik China maupun Amerika Serikat berkepentingan pada lokasi tersebut.
Peta Indonesia. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Indonesia. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Dari sisi Amerika Serikat, bekas wilayah Indonesia itu menjadi titik penting bagi perjalanan Kapal USS Coronado untuk melintasi Selat Malaka.
“Lebih dari separuh pelayaran dunia melewati jalur ini, yang mengakibatkan setiap titiknya berbahaya dan menjadi kekhawatiran global,” kata Komandan Simmons sambil menunjuk peta wilayah Indonesia.
Lebih jauh lagi, sang penulis, PW Singer dan August Cole, mengelaborasi wilayah bekas Negara Indonesia tersebut sebagai negara yang hancur akibar Perang Timor kedua. Tak jelas apa maksud dari Perang Timor itu.
ADVERTISEMENT
“Sekitar 600 mil jalur antara bekas Negara Indonesia dan Malaysia, kurang dari 2 mil lebarnya pada jarak tersempit, hampir memisahkan masyarakat otoriter Malaysia dari kekacauan, Indonesia lenyap setelah Perang Timor kedua," tulisnya.
Di sisi lain, China menganggap bekas Negara Indonesia itu sebagai wilayah penting yang tengah dikuasai. China mengklaim bekas negara Indonesia itu merupakan tempat beradanya cadangan energi.
“Kita masih harus menghalau mereka (Amerika Serikat) dalam kepentingan kita di Transyordan, Venezuela, Sudan, Emirat dan bekas Negara Indonesia,” ungkap Wakil Laksamana Wang Xiaoqian.
Prediksi atau Fiksi?
Sebagai sebuah karya sastra, novel 'Ghost Fleet' diganjar nilai 3,63 dari 5 di komunitas buku dunia, Goodreads.com. Saat diperkenalkan kepada publik, buku itu mendapat sambutan yang cukup meriah. Salah satunya datang dari penulis serial televisi ‘Game of Thrones’ D.B.Weiss.
ADVERTISEMENT
“Ghost Fleet merupakan perjalanan yang mendebarkan untuk melalui hari esok yang sangat menakutkan. Ini bukan hanya buku yang bagus, tapi buku yang sangat bagus oleh mereka yang tahu apa yang mereka bicarakan. Bersiaplah untuk tidur,” ucap Weiss dikutip dari Amazon.com.
Tak hanya penulis kenamaan seperti Weiss, badan intelijen Amerika Serikat, Central of Inteligent Agency (CIA), juga turut memberikan komentarnya. Komentar tersebut ditulis Darby Stratford dan diunggah di laman resmi CIA.
Badan Intelijen AS, CIA (Foto: AP Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Badan Intelijen AS, CIA (Foto: AP Photo)
Menurutnya, baik P.W Singer maupun August Cole layak untuk mendapat penghargaan dari novelnya tersebut. Novel ini, kata dia, merupakan novel techno thriller pertama yang membahas berbagai teknologi canggih saat ini.
"Aku ingin melihat lebih banyak visi pengarang tentang spionase dan perdagangan masa depan dalam novel mereka,” tulis Stratford.
ADVERTISEMENT
Bagi Stratford, apa yang digambarkan dalam novel itu dapat menjadi peringatan bagi Amerika Serikat untuk mengantisipasi kemampuan musuh. Ia juga menyebut novel tersebut dapat menjadi bahan renungan untuk para pelaku dunia intelijen.
Meski demikian, ia kian menyoroti kemampuan menulis P.W Singer dan August Cole yang menurutnya tak lihai dalam menulis fiksi. Ada banyak lompatan di dalam alur cerita yang dapat membingungkan pembaca.
“Sisi negatifnya adalah adanya interaksi antarkarakter, hingga pengembangan karakter individu yang cenderung klise. Hal itu ditambah dengan elaborasi yang minim akan bagaimana hubungan antara Amerika Serikat, China, dan Rusia dapat memanas seperti itu,” tutup dia.
Terkait dengan komentar yang memuji dan mengkritik karyanya, P.W Singer dan August Cole tak ambil pusing. Keduanya hanya berusaha menuangkan imajinasi liar, ditambah dengan pengetahuan keduanya di bidang intelijen.
ADVERTISEMENT
"Buku ini terinspirasi dari tren dan teknologi dunia saat ini. Meski pada akhirnya, buku ini merupakan sebuah karya fiksi, bukan prediksi," tulis P.W Singer dan August Cole di halaman V (lima) pada novel tersebut.