news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membuang Nalar Sesat yang Membuat Asmat Tak Kunjung Sehat

22 Februari 2018 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bunyi langkah seseorang di atas jalanan berpapan memecah malam hening di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Papua. Langkah itu milik seorang lelaki. Ia berjalan dari dermaga menuju puskesmas sambil menggendong perempuan, istrinya, yang meringis kesakitan.
ADVERTISEMENT
Melihat kedatangan lelaki itu malam buta, Rabu (7/2), sontak para perawat dan dokter di puskesmas itu beranjak dari duduknya. Mereka--tenaga medis yang diperbantukan dari TNI, Ikatan Dokter Indonesia, dan Kementerian Kesehatan--baru saja selesai makan malam.
Si pasien perempuan, Saferina, segera diperiksa. Ia mengeluh sakit perut yang teramat melilit. Selain ditemani sang suami, Kayus Jigat, bersamanya juga ikut para kerabat, mulai nenek, adik, adik ipar, empat anaknya yang balita, sampai bayi lelaki yang baru ia lahirkan tiga hari lalu dan berbobot terlalu ringan, 1,7 kilogram (bandingkan dengan berat normal bayi baru lahir yang 2,9-3,6 kg).
Saferina direbahkan di atas matras di ruangan IGD Puskesmas Siret. Mendadak, salah satu perawat berseru, “Oh kau Saferina yang tiga hari lalu melahirkan, terus pergi itu? Kenapa pulang?” ucap Devi Dwiyani sembari mempersiapkan peralatan medis.
ADVERTISEMENT
Ia memang baru tiga hari lalu merawat Saferina yang terkulai lemas setelah bersalin di rumahnya sendiri. Saferina, seperti banyak ibu Asmat lainnya, melahirkan di rumah karena kampungnya jauh dari puskesmas.
Sesaat setelah bersalin, ia merasa perutnya sakit. Saferina bersama suaminya kemudian berangkat ke Puskesmas Siret, menempuh tiga jam perjalanan naik kapal dari kampungnya di Biwar Darat menuju Yausakor.
Tapi setelah susah-susah mencapai puskesmas, Saferina malah tiba-tiba pergi setelah dirawat Devi sebentar. Devi dan perawat lain pun kelimpungan mencari dia. Mereka menyusuri kampung terdekat, dan tak menemukan Saferina.
Gizi Buruk di Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Kayus Jigat yang melihat istrinya ditanyai kenapa langsung pergi padahal perawatan belum usai, menjawab terbata-bata. “Sa diberi tahu sama orang kalau melahirkan, badan sudah enak, bisa langsung pulang.”
ADVERTISEMENT
Saferina mengiyakan. Ia mengatakan, perutnya terasa lebih baik usai mendapat perawatan singkat. Maka Saferina berasumsi telah sembuh dan bisa langsung pulang. Pulanglah dia.
Jelas benar terdapat perbedaan pemahaman antara masyarakat setempat dan petugas medis. “Banyak yang sulit diatur,” ujar Kepala Puskesmas Yausakor, Antonio.
Warga memang paham puskesmas adalah tempat untuk mengobati sakit. Kala merasa sakit, mereka datang untuk meminta obat atau mendapat tindakan medis. Namun, menurut Antonio, tak semua anjuran perawat diikuti.
“Kadang-kadang waktu kami menerima pasien dan mau merawat, kami sering mengalami penolakan. Datang minta dirawat, tapi lalu satu-dua jam berubah pikiran minta pulang. Kami jadi pusing,” ujarnya.
Penolakan juga terjadi terhadap program kesehatan bulanan seperti puskesmas keliling. Lewat pelayanan keliling, petugas memberikan makanan tambahan dan imunisasi dasar yang menjadi agenda pemerintah pusat.
Suasana di Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Program puskesmas keliling mengandalkan kapal operasional bermaterial kayu dengan mesin 80 knot. Hanya dengan kapal itulah petugas puskesmas mampu menjangkau kampung-kampung yang berlokasi saling berjauhan dan terpisah rawa di Distrik Siret.
ADVERTISEMENT
Biaya menjalankan kapal puskesmas keliling itu pun tak murah. “Bisa habis ratusan liter satu kali jalan,” kata Antonio.
Pun dengan harga BBM yang sudah seragam dengan Pulau Jawa, yaitu Rp 8.000-an, biayanya tetap tak murah. Jutaan rupiah sekali jalan.
Kerugian lebih besar didapat bila setibanya di kampung-kampung yang dituju, warga tak ada di tempat.
Antonio bercerita, petugas medis kerap kesulitan bertemu dengan masyarakat setempat yang sehari-hari biasa hidup tradisional sebagai peramu. Mereka lebih sering di hutan untuk mencari makan atau menebang kayu gaharu yang laku di pasaran.
“Kampung kosong seperti kuburan,” ucap Antonio.
Warga Distrik Siret, Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Ketika kasus campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat merebak hingga menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada 9 Januari 2018, kondisi layanan kesehatan yang amat minim menjadi kambing hitam. Cakupan imunisasi campak selama periode Januari-Juni 2017 hanya 17,3 persen di Asmat, memicu kritik publik.
ADVERTISEMENT
Seperti dikeluhkan Antonio, masalah infrastruktur dan sumber daya menjadi kendala tersendiri. Puskesmas di Siret misalnya, memiliki 28 tenaga kesehatan tanpa dokter tetap. Belum lagi ketiadaan listrik dan terbatasnya transportasi.
Listrik di Puskesmas Siret hanya menyala pukul 18.00 sore hingga 24.00 tengah malam. Itu pun sumber listrik berasal dari genset, bukan PLN.
Kondisi di distrik lain tak lebih baik. Dari 23 distrik di Asmat, hanya 16 yang memiliki puskesmas. Sementara di ibu kota kabupaten, Agats, tersedia satu rumah sakit kelas D. RSUD tersebut memiliki 12 dokter umum, sedangkan 16 puskesmas yang tersebar di Asmat hanya memiliki 5 dokter.
Sebanyak 17 dokter itu untuk melayani 90.000 penduduk Asmat. Jelas tak sebanding dan tak semua warga dapat dijangkau.
Menyusuri sungai di Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Ketertinggalan infrastruktur juga membuat Asmat dianggap tak mampu mengelola anggaran kesehatan. Dana bukannya tak mengalir ke sana. APBD Kabupaten Asmat tahun 2017 mencapai Rp 1,5 triliun. Asmat juga mendapat dana perimbangan Rp 1,7 triliun dan dana otonomi khusus Rp 105 miliar.
ADVERTISEMENT
Anggaran otsus tersebut dibagi untuk beberapa bidang besar seperti pendidikan 30 persen, kesehatan 15 persen, infrastruktur 20 persen, dan dana kampung Rp 270 miliar.
Alokasi dana kesehatan pada APBD Asmat mencapai Rp 173 miliar pada 2017. Jumlah tersebut sesuai peraturan pemerintah pusat mengenai anggaran kesehatan sebanyak 10 persen dari total APBD.
Namun, seperti dikatakan Wakil Bupati Asmat Thomas Safanpo, dengan anggaran itu, pemerintah masih gagap dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Padahal, menurut Thomas, anggaran kesehatan telah disalurkan.
Kendala tak cuma soal duit, tapi juga sumber daya manusia. Thomas mencontohkan, anggaran untuk membayar dokter spesialis tidak terserap karena nyaris tak ada dokter yang mau bekerja di Asmat.
“Kami sudah sampaikan kepada Menteri Kesehatan supaya kami minta diprioritaskan untuk pemberian tenaga dokter,” ucap Thomas.
ADVERTISEMENT
“Yang tidak ada memang tenaganya,” ujar dr Pieter Pajala, Kepala Dinas Kesehatan Asmat.
Gizi buruk di Asmat. (Foto: Dok. ACT)
Gizi buruk jelas noktah hitam bagi Asmat. Dewi Linggasari, Pelaksana Tugas Dinas Kependudukan Kabupaten Asmat, mengatakan telah menyaksikan anak-anak kurus kering berperut buncit sejak dia tiba di Asmat tahun 1996.
Ketika kasus campak merebak awal 2018 ini, Dewi mengakui layanan kesehatan gagal berfungsi optimal. Hasil konkret belum terasa bangunan fisik dan jumlah tenaga medis di Asmat sudah lebih baik dari 20 tahun lalu.
“Lebih baik” pada kalimat di atas bukan berarti “jauh lebih baik”. Sebab perbaikan benar-benar terasa perlahan, bahkan lamban, di Asmat.
“Kami mengalami ketertinggalan infrastruktur. Jangankan kampung, di tingkat distrik saja warungnya mana? Listrik? Kalau malam gelap. Orang mau hidup (layak) bagaimana,” ucap Dewi.
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
Anggaran besar nyatanya tak cukup untuk menanggulangi permasalahan infrastruktur. Untuk mengaliri listrik di satu kampung, dibutuhkan dana Rp 4 miliar hingga Rp 7 miliar. Belum lagi biaya pembangunan menara telekomunikasi. Apalagi jika hendak menambah perahu untuk meningkatkan konektivitas antardaerah.
ADVERTISEMENT
Minimnya infrastruktur tentu menjadi kendala penyelenggaraan kesehatan di sana. Kepala RSUD Agats Riechard Mirino, misalnya, sering kehabisan stok alat medis karena hambatan distribusi dari Timika ke Agats.
“Alat-alat seperti obat dan oksigen kami beli di Timika, dan kadang-kadang terlambat datang,” kata Mirino.
Koordinasi dengan 16 puskesmas di penjuru Asmat juga terkendala ketiadaan listrik dan jaringan komunikasi. Sejauh ini, baru 5 distrik di kabupaten itu yang telah terjangkau layanan seluler. Sementara sebagian besar lainnya belum.
“Kemarin-kemarin waktu belum ada (sinyal) komunikasi, dibantu radio ORARI (amatir) dan HT (handy talky),” ujar Mirino.
Hingga kini, RSUD Agats sebagai tiang penyangga layanan kesehatan di Kabupaten Asmat juga belum bisa dibilang layak.
Krisis kesehatan di Papua (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Di Jawa, setiap orang dapat dengan mudah menjangkau fasilitas kesehatan. Mulai klinik, puskesmas, rumah sakit pemerintah, hingga rumah sakit swasta, tersebar di mana, bahkan dengan jarak berdekatan pada beberapa lokasi.
ADVERTISEMENT
Tapi kondisi di Papua jauh berbeda. Ini dunia yang sama sekali lain. Orang sakit harus menempuh perjalanan berat, entah berjalan kaki atau naik perahu, selama berjam-jam. Pun ketika puskesmas keliling mendatangi warga, giliran mereka tak ada di permukiman.
Orang Papua adalah petarung di alam bebas. Mereka menjelajah mencari penghidupan di pegunungan dan rawa-rawa, masuk terus ke dalam. Budaya itulah yang tak bisa dinihilkan, termasuk dalam memberikan layanan kesehatan.
Kesalahpahaman kerap muncul karena benturan budaya antara tenaga medis dan masyarakat lokal.
Tokoh masyarakat Asmat, Norbertus Kamona, menganggap layanan kesehatan di daerahnya memang gagap menghadapi pola hidup masyarakat yang berpindah-pindah untuk mencari makan di hutan, mencari kayu gaharu untuk dijual, dan bermalam di tengah hutan (bivak).
ADVERTISEMENT
“Ketika perawat turun ke kampung, orang-orang masih di tempat pencarian gaharu,” kata Norbertus.
Bivak, bagaimanapun, adalah budaya suku Asmat sejak zaman nenek moyang mereka. Di hutan, mereka biasa menjaga kesehatan dengan bantuan dukun dan obat tradisional seperti daun sirih.
Maka, konsep kedokteran modern merupakan hal yang benar-benar baru bagi mereka. Dan tentu saja, butuh waktu tak pendek untuk memperkenalkannya pelan-pelan kepada Asmat.
“Kita nggak bisa salahkan masyarakat. Apalagi dengan kondisi geografis yang seperti ini,” ujar Norbertus.
Kendala lain ialah minimnya keterlibatan masyarakat Papua dalam rantai layanan kesehatan. Tim Gabungan TNI, Kementerian Kesehatan, Polri, sampai Ikatan Dokter Indonesia yang diterjunkan untuk melakukan vaksinasi di seluruh distrik memang mampu mengentaskan Asmat dari KLB campak, namun bukan untuk menyelesaikan persoalan dalam jangka panjang.
Gizi Buruk di Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Norbertus menegaskan, orang lokal yang paham adat setempat mutlak dilibatkan. “Kalau kita datangkan tim ahli, mau dokter dengan berapa ribu gelar dari Amerika atau dari mana pun, ketika dia menyampaikan tentang pola hidup sehat, pasti tidak akan diterima masyarakat di sini.”
ADVERTISEMENT
Mengangkat pengetahuan lokal dalam penanganan medis di Asmat bukan tak mungkin. Dokter IDI Iqbal El Mubarak berdasarkan pengalamannya 11 hari di Asmat, menyimpulkan bahwa layanan medis mutlak menyesuaikan dengan kultur setempat.
“Biarlah mereka dengan budayanya. Hanya saja, kita tetap mempersiapkan infrastruktur yang baik untuk sektor kesehatan, dengan SDM yang lengkap dan mumpuni,” ujarnya.
Iqbal yang terjun ke beberapa distrik, salah satunya Siret, berpendapat bahwa tenaga medis harus sepenuhnya beradaptasi dengan kekhasan yang dimiliki Papua. Karakter fisik dan stamina orang Papua tak bakal ditemui oleh para dokter yang biasa berpraktik di Jakarta.
Contohnya terlihat ketika Dokter Iqbal ikut mengobati Saferina, perempuan yang pada awal cerita ini mendatangi puskesmas karena sakit perut. Iqbal saat itu menerima laporan, Saferina telah diare lebih dari sepekan. Ia lantas mendiagnosis Saferina syok hipovolemik atau pendarahan di bagian dalam.
ADVERTISEMENT
Biasanya, dalam kasus itu, nadi pasien akan terpacu di atas 100 per menit. Namun tidak pada Saferina. “Ketika saya cek dengan alat saya, pulsimeter, itu nadinya hanya 80-an. Kaget saya,” ujar Iqbal.
Artinya, Saferina lebih kuat dari kebanyakan orang. Ini amat mungkin karena ia terbiasa ditempa di alam bebas seperti umumnya orang Papua.
Bandara Ewer di Agats, Kabupaten Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Contoh lain, suatu hari Iqbal menjumpai anak Asmat berusia 6 tahun yang berlari-lari. Dari luar, ia terlihat sehat segar. Tapi ketika diperiksa, hemoglobin (sel darah merah) anak itu hanya 3-4 gr/dl alias sangat rendah, menandakan ia kekurangan vitamin dan zat besi. Padahal, kadar hemoglobin normal pada anak ada di kisaran 10-16 gr/dl.
Biasanya, anak dengan jumlah hemoglobin serendah itu telah terkapar dan membutuhkan tranfusi darah. Tapi si anak Asmat itu tidak demikian. “Sangat berbeda dengan yang selama ini saya pelajari,” kata Iqbal.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika merencanakan konsep layanan medis di Asmat, seorang dokter atau perawat tak boleh terlalu pongah merasa diri atau ilmunya paling benar. Sekali petugas medis berpikiran demikian, gagallah ia mengobati Asmat.
Iqbal menegaskan, “Amat perlu untuk mendekatkan dunia medis yang memegang disiplin evidence-based medicine dengan bahasa lokal.”
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.