Memupuk Nyali Memerangi Pelecehan Seksual

25 Januari 2018 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Saat itu pukul 10 malam. Jalanan di area Cikini masih terbilang ramai. Dari seberang jalan, kulihat beberapa orang perempuan keluar dari sebuah gedung.
ADVERTISEMENT
Aku dan temanku baru saja selesai makan dan hendak pulang. Sekitar tujuh orang perempuan di seberang jalan yang kami lihat tampak sehabis mengisi sebuah acara. Kelompok laki-laki, kebanyakan tukang ojek dan tukang parkir, menggoda para perempuan itu ketika mereka lewat.
Nyaring siulan bersahutan, mesum senyum terpasang di wajah para lelaki itu, “Mau ke mana, cantik?”
Para perempuan hanya bisa menunduk, saling berdekatan dan berpegangan tangan. Mereka cepat-cepat menghindar, menyegerakan langkah untuk berlalu.
Aku berada di seberang, bertanya pada teman di sebelahku, “Mesti gimana kita kalau ngeliat yang kayak begini?” Terbayang risih bercampur takut yang dirasa para perempuan itu, yang kuperkirakan berusia awal 20-an. Aku pun sering kali merasakannya.
ADVERTISEMENT
“Kita perhatiin aja, cari aman. Kalau kita protes ntar disebut lebay malah jadi ribut,” jawab temanku setelah jeda sekian lama.
Aku terdiam. Mobil dan motor melintas begitu cepat. Suara bising orang-orang mengobrol, makan, dan para pedagang di sampingku terasa begitu jauh.
Menghadapi pelecehan seksual (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Setiap malam ketika pulang kerja, suara siulan, “Mau ke mana?”, “Kok sendirian aja?”, atau bahkan “Assalamual’aikum” yang tak benar-benar salam sapa, seperti teror yang terpaksa kutelan. Bagi aku, kamu, dan mungkin banyak perempuan lain, cara terbaik mungkin adalah mengabaikannya dan segera berlalu.
“Cari aman” memang menjadi pilihan yang paling banyak diambil. Amarah, kesal bercampur takut, dan ragu, ditekan sebisa mungkin. Sementara pelecehan--terutama verbal--seolah dilanggengkan dan wajar.
“Karena orang melihat bahwa, ‘Ya, cuma sekadar omongan doang, enggak ada kontak fisik, jadi enggak ada dampaknya.’ Jadi dianggapnya itu minimal. It’s okay,” ujar Lia Boediman dari Yayasan Pulih ketika dihubungi kumparan, Jumat (19/1).
ADVERTISEMENT
Tak hanya dampaknya yang dianggap nihil, catcalling dan beberapa bentuk pelecehan secara verbal kemudian dibelokkan sebagai bentuk lain dari pujian: rasa teror.
“‘Anda seharusnya bahagia kalau kami siuli, karena artinya Anda menarik perhatian kami.’ Jadi seandainya si perempuan marah, pelaku seolah bilang, ‘Alah, lu belagu lu,’” kata Lia.
“Dia tidak memiliki rasa empati bahwa perempuan juga ingin diperlakukan secara terhormat dan bermartabat, sama seperti dirinya.”
Dianggap tak berdampak dan dinilai sebagai bentuk “lain” pujian yang kemudian didiamkan, membuat aksi pelecehan dinilai biasa saja.
“Sebetulnya sexual harassment secara verbal makin lama akan makin meningkat. Apalagi kalau dia tidak mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum akibat dari perbuatannya,” lanjut Lia.
ADVERTISEMENT
“Dan, jangan salah, catcalling leading to another serious acts of sexual harassment. Biasanya kayak begitu. Jadi makin lama makin meningkat.”
Siulan atau catcalling hanya salah satu. Masih ada dua, tiga, empat, dan sekian bentuk lainnya yang termasuk pelecehan seksual. Mulai dari pelecehan secara verbal seperti siulan, panggilan, atau komentar bernada mesum, dan pelecehan nonverbal mulai dari tatapan yang lekat dan penuh nafsu, rabaan, menunjukkan alat kelamin, hingga perkosaan.
Saksi mata pelecehan seksual (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Menjadi saksi mata pelecehan seksual, sama tak mudahnya dengan menjadi korban. Akhir tahun lalu, Virginia Rapp (19) sempat membagikan kisahnya melalui instastory dari akun instagram pribadinya.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialaminya terjadi di KRL rute Jakarta Kota-Cikarang pada Kamis (7/12/2017) sekitar pukul 19.00 WIB. Virginia melihat seorang laki-laki mengeluarkan lalu menggesek-gesekkan kemaluannya ke tubuh seorang perempuan di depannya.
"Tadinya dia di belakang aku, tapi karena aku udah merasa risih dan emang enggak suka kalau di belakangnya cowok, ada sela sedikit aku langsung geser ke sebelah kanan dia. Dan akhirnya depan dia mbak-mbak yang terlihat habis pulang kerja," ucap Virginia saat berbincang dengan kumparan, Minggu (10/12/2017).
Terkejut melihat hal itu, Virginia segera mencolek korban yang tak menyadari aksi pelecehan itu--karena sibuk memainkan ponsel--dan memberi isyarat dengan lirikan mata.
Ketika kereta tiba di Stasiun Manggarai dan semakin ramai, Virginia yang panik melakukan video call dengan ayahnya. Niatnya untuk menunjukkan wajah si pelaku disadari, pelaku langsung memelototi, memegang, dan mencakar tangannya.
ADVERTISEMENT
“Di situ gue langsung ngelawan dan ngelepasin genggaman dia dan memberanikan diri NGELIATIN MAS2 BASTARD INI SCR SINIS WALAU SEBENERNYA GUE TAKUT BGT WOI,” tulis Virginia.
Ketika kereta tiba di Stasiun Bekasi, Virginia segera menyelinap keluar dan lari. Ternyata si pelaku ikut lari membuntuti Virginia, karena mungkin tahu bahwa perbuatannya akan dilaporkan.
Saksi mata pelecehan seksual (Foto: Lidwina Hadi/kumparan)
Setibanya di pos keamanan, Virginia yang syok menceritakan peristiwa yang dialaminya sambil terisak. Namun si pelaku mendadak hilang, tak terlihat. Ciri-ciri pelaku seperti yang dilaporkan Virginia ternyata serupa dengan laporan kasus yang sama dua hari sebelumnya.
“Skrg gue cmn TRAUMA BGT naik kereta,” tulis Virginia di instastory-nya.
Curhat Penumpang KRL (Foto: Instagram/@virginiaraap)
Hal serupa dialami oleh Chrisna Waty yang juga menjadi saksi pelecehan seksual pada September 2017. Kereta yang ramai dimanfaatkan si pelaku untuk melancarkan modus bejatnya.
ADVERTISEMENT
“Pas kereta menuju arah Universitas Pancasila ada mbak-mbak gitu di depan pelaku. Kita sebut aja Cepot. Nah si Cepot ini awalnya dia cuman nyentuh penisnya ke arah mbaknya dan mungkin mbaknya risih dan mbaknya cuman bisa pindah posisi,” tulis Chrisna di akun Line miliknya.
Saksi mata pelecehan seksual (Foto: Lidwina Hadi/kumparan)
Chrisna yang kaget, dengan rasa takut di hati, mencoba mendokumentasikan tindakan si pelaku. Si pelaku yang tampaknya menyadari niat Chrisna, bergerak mendekatinya.
Chrisna berusaha menghindar dengan turun di Stasiun Citayam. Namun, si pelaku ternyata ikut turun dan mengikutinya. Ia pun batal turun dan kembali menaiki KRL. “Gue lihat dia dari jendela kereta gue takut, gue lari dan gue nangis gue jongkok. Akhirnya gue dikasih tempat duduk," tulis Chrisna.
ADVERTISEMENT
Rasa takut yang mencekam membuat banyak saksi mata aksi pelecehan seksual tak berani langsung menentang. Hal itu membuat para saksi lebih memilih mendokumentasikan aksi si pelaku sebagai upaya perlawanan.
Saksi Mata Pelecehan Seksual (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Laporan di akun media sosial pribadi seperti yang dilakukan oleh Virginia atau Chrisna adalah salah satu dari upaya berani yang bisa dilakukan oleh para saksi mata untuk bersuara (Active bystander).
Ada empat cara lain menurut United Nation Women yang sebaiknya kita lakukan dalam melawan eskalasi kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Pertama, Direct atau melawan langsung dengan mengatakan pada si pelaku bahwa perbuatannya salah. Tentu butuh keberanian besar untuk melawan rasa ciut di hati. Namun, kita juga tidak bisa tinggal diam terkurung rasa takut.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Distract atau segera memisahkan korban dan pelaku dengan menarik tangan korban untuk menyelamatkannya. Lalu, Delegate dengan melaporkan aksi bejat tersebut pada pihak berwenang atau siapapun yang sekiranya bisa membantu.
Saksi mata pelecehan seksual (Foto: Lidwina Hadi/kumparan)
Jika peristiwa itu terjadi di bus atau kereta, seharusnya akan ada banyak orang yang bisa membantu untuk melawan. “The problem is seringkali banyak kasus adalah, ketika terjadi orang-orang pura-pura tidak melihat atau tidur atau asik sendiri,” ujar Lia.
Untuk itulah dibutuhkan suara-suara yang lebih lantang menentang, demi membangun partisipasi semua orang.
Terakhir adalah, Delay yakni memastikan keadaan korban baik-baik saja.
Saksi mata pelecehan seksual (Foto: Lidwina Hadi/kumparan)
“Ini adalah PR besar. Bagaimana membangun kepedulian sosial ya terhadap kasus-kasus kekerasan seksual,” tegasnya.
Karena ruang publik adalah untuk semua orang, maka keamanan di ruang publik juga menjadi tanggung jawab semua orang: laki-laki atau perempuan.
ADVERTISEMENT
------------------------
Apakah kamu pernah mengalami pelecehan seksual? Atau menjadi saksi mata peristiwa tersebut? Mari berbagi kisah di kumparan. Kamu juga bisa mengikuti isu mendalam lain dengan mem-follow topik Ekspose di kumparan.