Menaker: Upaya Penyelamatan Zaini Terkendala Hukum di Saudi

20 Maret 2018 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Com-Menaker  M. Hanif Dhakiri (Foto: Kemenaker)
zoom-in-whitePerbesar
Com-Menaker M. Hanif Dhakiri (Foto: Kemenaker)
ADVERTISEMENT
Dieksekusinya Muhammad Zaini Misrin Arsyad, oleh Pemerintah Arab Saudi meninggalkan luka mendalam bagi Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri. Zaini dipenggal usai dituduh membunuh majikannya pada 2004 lalu.
ADVERTISEMENT
“Kami terkejut, menyesalkan dan berduka,” kata Hanif dalam keterangan pers Kementerian Ketenegakerjaan kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (20/3).
Hanif menegaskan, sebelum Zaini dieksekusi Pemerintah sama sekali tidak tinggal diam. Langkah-langkah pembelaan luar biasa untuk membebaskan Zaini Misrin dari hukuman mati telah dilakukan.
Dia mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Presiden Joko Widodo tiga kali berkirim surat resmi ke Raja Saudi. Bahkan Presiden Joko Widodo telah tiga kali bertemu Raja Saudi untuk mengupayakan pembebasan Zaini Misrin.
Pemerintah juga melakukan langkah hukum baik banding maupun kasasi. Bahkan pada belum lama ini, pengajuan peninjauan kembali (PK), yang belum pernah diambil akhirnya dilakukan.
Selain itu, lanjut Hanif, pada 2011 Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar membentuk Satuan Tugas Anti Hukuman Mati yang bertugas melakukan upaya pembebasan TKI terpidana mati di luar negeri.
ADVERTISEMENT
“Seluruh upaya pemerintah terkendala sistem hukum di Saudi yang dalam kasus Misrin ini tergantung dari keputusan ahli waris apakah bersedia memaafkan terpidana atau tidak. Memang seperti itu aturan hukum di sana," papar Hanif.
"Raja Saudi tidak bisa mengampuni, karena ahli waris tidak memberikan maaf pada Misrin. Ini mau tidak mau harus kita hormati. Kita juga menghadapi kendala dari sikap aparat penegak hukum kerajaan Saudi pada waktu lalu yang cenderung kurang terbuka dalam masalah-masalah seperti ini," sambung dia.
Sebagai anak seorang TKW, Hanif mengaku sangat memahami kasus Misrin dan kasus-kasus sejenisnya merupakan residu dari kebijakan tata kelola penempatan TKI pada masa lalu, yakni sebelum era reformasi.
Karena itu, menurut Hanif, salah satu pekerjaan rumah yang terus dilakukan pemerintah adalah memperkuat negosiasi bilateral kepada negara-negara tujuan. Hal ini agar dapat terwujud sistem tata kelola dan perlindungan yang lebih baik lagi.
ADVERTISEMENT
"Sehingga ke depan resiko migrasi dapat terus ditekan dan penanganan masalah yang ada lebih efektif,” tegas Hanif.