Mencari Marwah PKS si Partai Dakwah

7 Mei 2018 9:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendukung Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO/Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO/Bay Ismoyo)
ADVERTISEMENT
“Istikamah (teguh pendirian dan konsisten). Saya yakin kalau (partai) istikamah, jadi besar. Kalau enggak istikamah, malah enggak besar.”
ADVERTISEMENT
Begitulah Presiden PKS Sohibul Iman menegaskan arah Partai Keadilan Sejahtera di bawah kepemimpinannya. Pernyataan yang ia lontarkan itu tentu bukan tanpa alasan.
Sejak dideklarasikan pada 20 Juli 1998, partai berlambang padi dan bulan sabit yang kini ia pimpin memperkenalkan diri sebagai partai dakwah. Sebutan yang sering kali dipertanyakan konsistensinya, terlebih setelah beragam skandal dan kasus korupsi mewarnai perjalanannya.
Berbeda dari partai lain seperti PKB dan PAN yang memisahkan kendaraan dakwah dan politik, PKS justru menggabungkannya. Adagium al-jama’ah hiya al-hizb wa al-hizb huwa al-jama’ah (jemaah adalah partai dan partai adalah jemaah) adalah doktrinnya paling kental.
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, tak heran jika PKS banyak memanfaatkan isu agama untuk memobilisasi massa atau menggunakannya sebagai strategi elektoral.
ADVERTISEMENT
“Mereka akan jauh lebih mudah untuk memobilisasi isu agama, karena memang dari sisi raison d’etre-nya (tujuan utama) itu. Jadi sulit untuk menafikan kenyataan bahwa PKS terlahir untuk melakukan semacam islamisasi politik indonesia,” tutur Burhanuddin yang menerbitkan buku Dilema PKS: Suara dan Syariah.
Ia menjelaskan, jumlah pemilih yang berada di kurva kanan (berdasar agama) hanya sedikit. Belum lagi ditambah dengan ketiadaan tokoh utama, maka wajar jika perolehan suara PKS dari pemilu ke pemilu cenderung stagnan di angka tujuh persen.
Sementara kader PKS Arief Munandar dalam disertasinya, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menulis bahwa “stagnasi perolehan suara PKS sebagai sinyal menguatnya dinamika internal partai ini, terutama (terjadi) pasca-Pemilu 2004.”
ADVERTISEMENT
Arief mencium tumbuhnya faksionalisasi di tubuh partainya itu. Kubu-kubu yang bersifat dinamis biasa disederhanakan dengan istilah Kubu Keadilan. Mereka identik dengan sikap idealis. Di seberangnya, terdapat Kubu Sejahtera yang cenderung realis.
Friksi internal itu kembali terendus setelah muncul maklumat larangan terhadap kader PKS untuk menghadiri deklarasi dukungan Anis Matta (yang diidentikkan dengan kubu Sejahtera), beredarnya dokumen berjudul Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS, dan rumor rotasi hingga pemecatan kader.
Evolusi Partai Dakwah
Di zaman Orde Baru yang represif, para pendakwah muda yang terhimpun dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Islam Indonesia (KAMMI) mencari cara agar gerakan mereka bisa terakomodasi di arena politik.
Tak lama setelah Orde Baru jatuh, tepatnya 20 Juli 1998, Partai Keadilan dideklarasikan di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Tahun berikutnya ia sudah bertanding pada Pemilu 1999.
ADVERTISEMENT
Partai Keadilan, menurut buku Dilema PKS: Suara dan Syariah, saat itu menyasar kalangan urban, terdidik, kelompok tarbiyah dengan pandangan agama ortodoks. Namun karena asyik dengan ‘mainannya’ sendiri--meminjam istilah Burhanuddin Muhtadi, PK hanya memperoleh 1,36 persen suara, gagal menembus ambang batas parlemen sebesar 2 persen.
Agar bisa mengikuti pemilu berikutnya, ia pun bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera pada Juli 2002. PKS kemudian memilih slogan ‘Bersih, Peduli, dan Profesional’ yang bersifat lebih universal.
PKS pun mulai mengubah strategi menggenjot raihan suaranya. Ia berupaya menyasar dua ceruk, yakni massa tradisional PKS yang muda, urban, terdidik, dan konservatif, tapi juga pemilih non-Islam.
ADVERTISEMENT
Strategi itu terbukti sukses. Perolehan suara PKS meroket menjadi 7,34 persen atau setara dengan 45 kursi parlemen saat itu. Setelahnya, langkah progresif terus diambil PKS, dan pembaruan yang terus dilakukan.
Kader PKS. (Foto: AFP PHOTO/Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Kader PKS. (Foto: AFP PHOTO/Bay Ismoyo)
Pada 2004, PKS menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional di Bali--provinsi yang sama sekali tak berbasis massa Islam. Pilihan itu dinilai sebagai strategi PKS mencitrakan diri sebagai partai terbuka.
Namun, pemilihan lokasi gelaran Mukernas tersebut dikritik. Menurut Arief Munandar, sejumlah pihak di internal PKS merasa langkah yang digagas kubu Hilmi Aminudin dan Anis Matta (Ketua Majelis Syuro dan Presiden PKS saat itu) telah kebablasan.
Tak hanya itu, arah PKS menjadi partai terbuka ternyata memperoleh tentangan dari internal partai, hingga timbul kegaduhan yang membuat petinggi PKS mengeluarkan bayanat atau penjelasan terkait wacana transformasi PKS menjadi partai terbuka.
ADVERTISEMENT
Di dalam bayanat tertulis: Istilah ‘terbuka’ tidak pernah menjadi keputusan sebagai slogan, baik oleh sidang-sidang Majelis Syuro, Dewan Pimpinan Tinggi Partai (DPTP), maupun dalam Khitob Qiyadi (arahan pimpinan).
Penjelasan tersebut menjadi semacam instruksi bagi para kader untuk menghentikan pembicaraan partai terbuka di muka publik. Akan tetapi, pembahasan soal itu masih terus berlangsung di internal partai.
Safari politik Anis Matta. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)
zoom-in-whitePerbesar
Safari politik Anis Matta. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)
Dalam bukunya, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, Anis Matta yang lebih realis menjadi aktor pendukung wacana PKS sebagai partai terbuka. Hingga akhirnya hal itu menjadi konsesus bersama yang resmi disampaikan kepada publik.
Wacana partai terbuka mulai diwujudkan terbatas melalui slogan PKS, ‘partai kita semua’, jelang Pemilu 2009. PKS juga mulai menampilkan iklan yang lebih universal, berisi sosok para pahlawan nasional--iklan yang kemudian menuai kritik karena menyejajarkan Soeharto dengan pahlawan nasional.
ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya kritik dari luar maupun dalam, PKS mampu mempertahankan perolehan suara di angka 7,88 persen. Ia menduduki peringkat empat raihan suara terbesar, dan paling unggul di antara partai-partai Islam lainnya.
Pada 2010, PKS dengan terang menunjukkan keterbukaannya. Partai dakwah ini mulai membuka perekrutan kader bagi non-Islam. Anis Matta, sekjen PKS saat itu, dengan tegas menyatakan ingin menjadikan partainya market leader bukan hanya bagi pemilih muslim.
Partai terbuka, menurut mantan Ketua DPP dan Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, merupakan pilihan realistis demi berkontribusi lebih luas untuk masyarakat heterogen di Indonesia.
“PKS ini kan hidup di Indonesia, berkerja di Indonesia, sedangkan Indonesia ini negara yang beragam, plural. Ketika PKS punya kantor di Papua atau NTT, di sana kan mayoritas non-muslim, jadi PKS juga harus kerja untuk kebaikan mereka,” ujar Mahfudz.
ADVERTISEMENT
Pada Mukernas tahun 2010, PKS kembali merumuskan AD/ART demi mengakomodir keanggotaan bagi kader non-muslim. Pasalnya, selama ini partai mewajibkan pembacaan syahadat bagi calon kader.
Namun, menurut Burhanuddin, upaya untuk membuka diri bagi kader nonmuslim masih belum bisa diterima secara luas oleh kader. Mereka yang idealis, kukuh pada niat awal partai, tak sepakat dengan upaya pembaruan demi perolehan suara.
Jalan PKS, si Partai Dakwah (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan PKS, si Partai Dakwah (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
Kembali ke Khittah
“Jadi semangat untuk kembali ke khittah (tujuan) partai dakwah itu nilai dasar yang membuat PKS berbeda dari partai politik pada umumnya. Itu sekarang menjadi lebih kuat (di internal PKS),” kata Arief.
Arief melihat keinginan kembali ke khittah digerakkan oleh semangat religius usai pergantian kekuasaan di tubuh PKS, ketika kursi Presiden PKS beralih dari Anis Matta ke Sohibul Iman.
ADVERTISEMENT
Menurut Arief, PKS sempat begitu progresif di bawah Anis Matta. Padahal, tidak semua sepaham dengan caranya.
“Yang dilakukan Anis Matta bagi sebagian orang ini progresif, bisa membuat PKS menjadi partai besar. Tapi sebagian orang lainnya menganggap kultur kami bukan seperti itu. Memaknai kultur partai dakwah (bukan seperti itu),” ujar Arief.
Oleh sebab itu, kini PKS sedang mencoba menarik kembali identitas awalnya sebagai partai dakwah.
“Kultur berpolitik PKS itu santai. Dikasih amanah jabatan publik, kerjakan dengan baik. Amanahnya (jabatan) diambil, ya enggak apa-apa. Toh kami punya kerjaan dakwah,” tutur Arief.
Hal itulah yang kemudian, menurut Arief, membedakan Anis Matta dari delapan kandidat calon wakil presiden lainnya yang disodorkan PKS untuk bertarung di Pilpres 2019.
Ahmad Heryawan di pelatihan guru olahraga Jabar. (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
zoom-in-whitePerbesar
Ahmad Heryawan di pelatihan guru olahraga Jabar. (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
“Kalau Pak Anis Matta, yang aktif menaikkan elektabilitasnya beliau sendiri. Tapi kalau Pak Aher (Ahmad Heryawan) tuh enggak pernah mempromosikan diri sendiri. Itu kultur PKS. Kalau ada orang bagus, kader PKS lain yang akan mempromosikan dia, mengangkat namanya,” ujar Arief.
ADVERTISEMENT
Anis Matta dan Aher saat ini menjadi dua dari sembilan nama kandidat cawapres PKS yang sedang ditimbang oleh Prabowo Subianto untuk mendampinginya dalam Pilpres--kalau jadi.
Mahfudz Siddiq yang lama bekerja di bawah kepemimpinan Anis menjelaskan, “Yang dipahami Pak Anis Matta, PKS ini parpol. Kalau ingin memimpin negara ya harus kampanye, bikin relawan, sosialisasi sesuai prinsip dakwah.”
Sementara bagi Sohibul Iman, kesembilan calon PKS itu ibarat wali songo. Mereka tak perlu membuat tim sukses, melakukan deklarasi, atau apa pun hanya demi mengerek elektabilitas.
Aturan pasif untuk sembilan kandidat cawapres itulah yang kemudian dikritik keras oleh Mahfudz. Menurutnya, hal itu secara keseluruhan akan merugikan PKS dalam Pemilu Legislatif yang tahun depan digelar berbarengan dengan Pemilu Presiden.
ADVERTISEMENT
“Aturan itu tidak membuat sembilan orang ini bisa populer, sebab mereka harus duduk manis, diam, tenang. Nggak usah sosialisasi dan nggak usah bikin tim sukses juga relawan. Nanti partai yang menyodorkan kepada calon partai koalisi. Ini kan kayak orang mau nikah zaman Siti Nurbaya. Dipingit di rumah, lalu calon pengantin pria datang, disodori, ‘Nih, anak perempuan saya ada 9. Silakah dipilih,’” ujar Mahfudz.
Di sisi lain, Prabowo membutuhkan calon yang layak dari segi elektabilitas untuk mendampinginya. “Jadi mestinya calon PKS berupaya meningkatkan elektabilitasnya dengan gencar berkampanye supaya bisa menambal elektabilitas yang diperlukan Prabowo,” kata Mahfudz.
ADVERTISEMENT
Padahal jika kesembilan calon PKS itu dimaksimalkan berkampanye, menurut Mahfudz, mereka akan mengerek perolehan suara partai secara signifikan--yang target angkanya kini dinaikkan signifikan oleh DPP menjadi 12 persen dari raihan di Pemilu 2014 yang 6,79 persen.
“Misal Iwan Prayitno (Gubernur Sumatera Barat, satu dari 9 cawapres PKS) diberi tanggung jawab keliling Sumatera, dari ujung Aceh sampai ujung Lampung, itu pasti punya efek bagus. Lalu Ahmad Heryawan keliling Jawa Barat, Hidayat Nur Wahid keliling Jawa Tengah dan Yogya, Anis Matta keliling Sulawesi. Pokoknya 9 orang itu muter se-Indonesia. Dampaknya kan bisa mendongkrak perolehan suara PKS.”
Mahfudz berpendapat, soal apakah nantinya salah satu dari 9 calon itu betulan jadi cawapres atau tidak, itu perkara berikutnya. “Yang penting PKS aman dulu di Pileg. Prioritasnya adalah capaian di Pileg.”
ADVERTISEMENT
Kecemasan Mahfudz itu segaris dengan analisis Burhanuddin. Ketiadaan tokoh menonjol adalah problem utama PKS, sedangkan masyarakat Indonesia masih mengandalkan ketokohan sebagai preferensi mereka memilih partai pada pemilu.
Jadi pertanyaannya kini: di tengah elektabilitas kesembilan nama calon mereka yang rendah dan aturan main yang membatasi ruang gerak para calon itu, mungkinkah PKS meraih posisi cawapres seperti yang diimpikan, dan 12 persen suara nasional yang ditargetkan?
Yang penting istikamah--teguh pendirian dan konsisten, ujar Sohibul Iman sang nakhoda partai.
ADVERTISEMENT
“Saya yakin kalau istikamah, partai jadi besar. Kalau enggak istikamah, malah enggak besar,” kata dia, tegas.
Ambisi PKS di Pilpres 2019 (Foto: Putri Sarah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ambisi PKS di Pilpres 2019 (Foto: Putri Sarah A/kumparan)
------------------------
Endus aroma PKS ‘Pecah’ di Liputan Khusus kumparan.