news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mendulang Sinabar, Memupuk Asa di Gunung Tembaga

20 Maret 2017 13:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana pulau Seram penghasil batu Cinnabar (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Satu jam lamanya aku mendaki Gunung Tembaga di Dusun Hulung, Desa Iha, Kabupaten Seram Bagian Barat, Minggu (12/3). Kaki yang telah lama tak mendaki ini membuatku sesekali kepayahan mengikuti langkah cepat aparat bintara pembina desa (babinsa) yang mengantarkanku ke area penambangan batu sinabar di sekitar puncak Gunung Tembaga.
ADVERTISEMENT
Kamu tahu sinabar? Batu cokelat kemerahan yang digunakan sebagai bahan baku merkuri atau air raksa --larutan beracun berwarna perak yang kerap digunakan penambang liar di Pulau Buru, Maluku, untuk berburu emas. (Baca: Emas dan Racun Perak yang Mengubah Wajah Pulau Buru)
Batu Cinnabar di pulau Seram Bagian Barat, Maluku (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Demi sinabar itulah orang rela berlelah-lelah mendaki Gunung Tembaga. Sementara lelahku, membuatku tergoda kesejukan yang ditawarkan sebuah warung beratapkan kedaunan kering di Gunung Tembaga. Warung itu berbeda dengan gubuk lain yang beratapkan terpal.
Peluh dan dahaga membuatku bertanya kepada pemilik warung, “Pak, ada es enggak yang dingin-dingin?”
Sayangnya, sang pemilik warung yang kemudian kuketahui bernama Isman, mengatakan ia hanya menyajikan minuman hangat.
Isman yang berusia 30 tahun, telah mendirikan warung itu bersama istrinya dua bulan terkahir. Di daerah itu, warung bukan barang langka. Kemungkinan persaingannya pun ketat.
ADVERTISEMENT
Di warung Isman itu pun saat kutiba, hanya aku dan si anggota babinsa pengantarku yang meramaikan warung tersebut.
Seperti kuduga, keuntungan yang didapat Isman dari warungnya tak banyak. “Paling Rp 50 ribu sehari. Baru lumayan (jika dapat) sekitar Rp 480 ribu,” ujarnya.
Namun, warung itu bukan satu-satunya sumber pemasukan Isman. Sebab ia selama setahun terakhir juga menambang batu sinabar, dan jumlah penghasilannya dari tambang jelas melebihi warungnya.
Isman, seorang penambang dan pemilik warung. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Isman bercerita, dia bersama tiga orang kawannya menambang di Gunung Tembaga itu dengan fasilitas seorang “bos besar” yang menyediakan peralatan dan tempat. Dengan demikian, penghasilan tambang mereka dibagi 5, dengan proporsi ⅗ untuk bos dan ⅖ untuk Isman dan teman-temannya.
“Sehari 160 kilo dibagi 4. Seorang, 40 dikali Rp 120 ribu harga orang ngambil, itung-itung Rp 480 ribu bisa,” kata Isman.
ADVERTISEMENT
Sementara warung hanya ia dirikan untuk mengisi waktu luang, sekaligus guna dijadikan rumah keduanya. Di sana, Isman tinggal bersama seorang istri dan dua orang anaknya.
Lelaki asli Pulau Seram itu berasal dari Tanjung Sial, Maluku Tengah. Dari tempat kelahirannya ke Gunung Tembaga membutuhkan waktu 2 jam perjalanan.
Sebelum menjadi penambang sinabar di Gunung Tembaga, Isman ialah petani cengkih. Namun penghasilannya sebagai petani cengkih kurang dapat menopang kebutuhan keluarga. Terlebih kedua anaknya sebentar lagi akan masuk SD.
Itu sebabnya Isman banting setir menjadi penambang sinabar, dan membawa istri serta kedua anaknya ke Gunung Tembaga, lantaran di Tanjung Sial tak ada yang bisa dititipi merawat anak-anaknya yang masih kecil.
Usman dan Panu, penambang batu cinnabar. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Lain orang, lain cerita. Usman dan Panu punya alasan lain berada di Gunung Tembaga. Dan kali ini, alasannya bukan uang.
ADVERTISEMENT
Usman dan Panu sesungguhnya dulu mendulang emas di Gunung Botak, Pulau Buru. Namun kini mereka pindah ke tambang sinabar di Gunung Tembaga, Pulau Seram, dan baru saling kenal di gunung itu.
Di Gunung Tembaga, Usman dan Panu baru dua minggu menambang. Di situ mereka bertemu dua orang lainnya yang kemudian merasa cocok satu sama lain.
Keempatnya kemudian memutuskan untuk bergabung menjadi satu tim dalam menambang batu sinabar. (Baca: Menggadaikan Nyawa demi Sinabar si “Api” Merkuri)
Mendulang sinabar tak menghasilkan uang sebesar menambang emas. Saat masih menambang emas di Buru, Usman bisa mengantongi Rp 10 juta dalam seminggu, cukup untuk membeli mobil yang kini terparkir di rumah kecilnya di Ambon.
Pak Usman membuat galian tambang batu cinnabar (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Namun setelah setahun menambang emas di Buru, Usman mendapat firasat buruk tentang Gunung Botak melalui mimpinya.
ADVERTISEMENT
“Orang desa kalau sudah ada firasat, hati gelisah, susah tidur. Lihat ada keributan di lubang sana situ di Botak, bisa saja saya dapat giliran (ribut). Pengen saya tenang saja,” ujar Usman.
Panu teman Usman, merasa Gunung Tembaga memang jauh lebih damai daripada Gunung Botak tempat para pemburu emas berkumpul.
“Beda suasananya, di sini masih aman, meski penghasilan jelas turun,” kata Panu yang berasal dari Ambon seperti Usman.
Uang dari hasil menambang emas di Gunung Botak, bahkan tak bertahan lama buat Panu. Uang itu sudah habis buat membiayai kegemarannya berfoya-foya dan mabuk-mabukan.
“Biasa, kenakalan anak muda. Dapat uang sedikit untuk senang-senang,” ujar Panu.
Namun tentu saja, selain untuk mencari kedamaian, Usman dan Panu pindah menambang sinabar di Gunung Tembaga untuk keberlangsungan hidup mereka. Sebab, tambang emas liar di Gunung Botak telah resmi ditutup per 17 Maret.
ADVERTISEMENT
Meski tim Usman belum memperoleh hasil apapun dua minggu terakhir ini, mereka yakin akan mendapatkan pundi-pundi uang dari sinabar ketika galian lubang yang mereka buat secara manual itu telah menumbuk “dinding rezeki”.
Di Gunung Tembaga, mereka menggantungkan asa.
Warga membawa batu Cinnabar di pantai Seram. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)