Menelusuri Jejak Yahudi di Indonesia: dari VOC hingga Era Sukarno

30 Maret 2019 17:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rabi Yaakov Baruch menjalani ibadah pagi di rumahnya di Manado. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rabi Yaakov Baruch menjalani ibadah pagi di rumahnya di Manado. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
ADVERTISEMENT
Yahudi adalah agama samawi yang diyakini merupakan agama langit seperti dua agama lainnya, Islam dan Kristen. Di Indonesia, turut bermukim orang-orang Yahudi, meski jumlahnya jauh lebih kecil dari kedua agama itu.
ADVERTISEMENT
Saat ini, seperti yang tercantum dalam ‘Eksistensi Yahudi Keturunan di Jakarta’ karya Ilawati, jumlah orang Yahudi di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 2.000 orang. Mereka tersebar dari Aceh sampai Papua.
Salah satu komunitas Yahudi di Indonesia hidup di Pulau Sulawesi. Tepatnya di Manado, Sulawesi Utara.
“Kalau yang aktif (ibadah) kalau keluarga Yahudi hanya 3 atau 4 keluarga, keluarga Ezekhiel, Bollegraf, keluarga Ishak, tapi banyak yang menyembunyikan diri udah enggak mau tahu,” ujar seorang rabi Yahudi di Manado, Yaakov Baruch, kepada kumparan, Sabtu (23/3).
Dalam pandangan Muslim Arab, Yahudi adalah komunitas sendiri yang mencintai identitas keyahudiannya. Penguasa dan masyarakat Muslim tampak tidak merasa terancam dengan Yahudi. Bahkan memang tidak ada rivalitas di antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut orang Eropa, Yahudi sangat mudah membaur sehingga mereka tak ada bedanya dengan orang Eropa.
Lantas, bagaimana sejarah awal masuknya kaum Yahudi di Indonesia?
Ada beberapa versi terkait sejarah masuknya orang Yahudi di Indonesia. Terutama soal waktu dan bagaimana mereka bisa ke Indonesia.
Kaum Yahudi di Indonesia adalah etnis Yahudi yang berketurunan Indonesia. Mereka ada jauh sebelum orang Eropa datang ke Nusantara.
“Mereka dalam jumlah kecil tersebar di Aceh, Jambi, Lampung, Bandung, Cirebon dan memiliki konsentrasi terbesar di Jakarta, Surabaya, dan Manado,” kata sejarawan Romy Zarman.
Menurut catatan De Jong, kehadiran Yahudi di Indonesia sudah ada sebelum tahun 1492. Kehadiran mereka bersamaan dengan maraknya perdagangan rempah-rempah dari dunia Timur ke Eropa. Timur Tengahlah yang berperan sebagai jalur transit.
ADVERTISEMENT
“Perdagangan itu berada di tangan orang Muslim dan Yahudi. Yang datang ke Nusantara pada masa itu adalah Yahudi dari Timur Tengah,” tulis De Jong.
Beda lagi dengan keterangan yang disebutkan dalam buku ‘Di Bawah Kekuasaan Antisemitisme Orang Yahudi di Hindia Belanda’ karya Romy Zarman (2018), Yahudi sudah ada di Indonesia pada abad ke-10. Dia adalah pedagang yang datang ke Sumatera.
“Pada awal abad 10 orang, Ishaaq Yehuda seorang Yahudi Oman berdagang di Sumatra dan tewas dirampok di wilayah kerajaan Sriwijaya,” kata Romy.
Tiga abad kemudian, lewat dokumen Geniza, diketahui bahwa seorang Yahudi Mesir berlabuh dan berdagang di Barus, pesisir barat Sumatera.
Sementara itu, menurut keterangan Rabi Yaakov, orang Yahudi masuk di Indonesia pada abad 17. Salah satu bangsa yang membawanya adalah orang Belanda.
Rabi Yaakov Baruch menjalani ibadah pagi di rumahnya di Manado. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Sementara untuk di Sulawesi sendiri, orang Yahudi yang ada di sana adalah utusan Verregnigde Oostindische Compagnie (VOC).
ADVERTISEMENT
“Awalnya ketika VOC mengutus 2 orang utusan itu tahun 1600-an. Ada 2 orang utusan itu masuk ke Sulawesi, kebetulan mereka berdua orang Yahudi. Saya lupa namanya, yang satu namanya Rosenberg,” ujar Yaakov.
Menurutnya, kedatangan Belanda mulai tahun 1600-an itu juga membawa beberapa orang Yahudi. Ditambah lagi orang Yahudi dari Irak yang masuk dengan pedagang-pedagang Arab yang masuk pada awal abad 19.
“Mereka yang masuk ini yang kemudian mereka masuknya lewat India, di Mumbai ke Singapura. Dari Singapura dibagi ada yang ke Aceh, Padang, Surabaya, ada yang terus ke Makassar, terus ke Manado,” jelasnya.
Jadi, kata dia, ada 2 kelompok Yahudi besar, yaitu Eropa dan Timur Tengah. Dari Eropa ini sebagian besar Belanda campuran Inggris dengan Jerman.
ADVERTISEMENT
“Ya, mereka beranak, ada yang kawin campur ada yang tidak. Ada yang tetap papa-mamanya Yahudi tapi kebanyakan kawin campur sehingga tinggal keturunan gitu,” ujar Yaakov.
Jejak Yahudi secara khusus di Manado pun terbukti dengan adanya kuburan kakek buyut Yaakov bernama Elias van Beugen, seorang Belanda yang meninggal tahun 1935. Di kuburan pinggir jalan raya Pineleng, yang menghubungkan Manado dan Tomohon, tertulis aksara Ibrani dan simbol Bintang Daud di nisan miliknya.
Makam Yahudi di Manado atas nama Elias Van Beugen. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Kisah Jeheode di Batavia
Pada tahun 1775, seorang Yahudi kelahiran Grodka -sekarang masuk ke wilayah Ukraina- Jehoede Leip Jegiel Igel mengikat diri dalam kontrak militer dengan VOC di Batavia. Saat itu usianya baru 20 tahun.
Pada saat penugasan di VOC ia pernah dihukum cambuk 50 karena tertidur saat piket di rumah majikannya. Hukuman itu sangat membekas di hatinya sehingga ia berjanji akan membalas penghinaan itu.
ADVERTISEMENT
Yahudi dan Eropa yang sebelumnya tak pernah ada masalah kemudian gegar karena Jeheode.
“Bersumpah pada Abraham, Ishak, dan Yakub, pada suatu hari saya akan membeli seluruh bangunan milik majikannya itu,” ujar Jeheode.
Jejak Komunitas Yahudi Manado. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
Awalnya, keyakinan Jeheode itu ditertawakan oleh rekan-rekan yang mendengarnya. Namun, spirit yang kuat membuat Jeheode tak patah arang.
Hingga pada akhirnya Jeheode sukses sebagai seorang pengusaha. Pada tahun 1819 akhirnya Jeheode benar-benar membeli rumah yang di dalamnya terselip kenangan pahit itu.
Jeheode kemudian menikah pada tahun 1808. Ia lalu memiliki anak pada tahun 1809.
Anak itu diberi nama Sewa Diana Miero. Miero adalah nama keluarga yang diberikan Jeheode perlambang kesejajaran antara Yahudi dan Eropa.
Ibadah Sabat di Sinagoge Tondano. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Yahudi di Mata Bung Karno
ADVERTISEMENT
“Pada tahun 1956, Sukarno mengundang Eisenhower berkunjung ke Jakarta. Presiden AS ini mengacuhkan undangan tersebut. Ia sudah berkomplot akan menggeser Bung Karno. Sementara Kliment S Voroshilov dari Uni Soviet menyambut undangan Bung Karno dan ia tiba pada tahun 1957,” (Willem Oltmans ‘Di Balik Keterlibatan CIA’).
Hal inilah yang kemudian membuat Bung Karno tak bisa menerima kehadiran orang Yahudi. Sebab, ia menduga Yahudi adalah Amerika Serikat yang ingin mengotak-atik kedaulatan Indonesia.
Kemudian pada tanggal 25 Juli 1962 Sukarno mengeluarkan Perpres No. 3 / 1962 tentang larangan organisasi yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia sehingga menghambat penyelesaian revolusi karena bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.
Memang, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia tidak pernah memiliki hubungan diplomatik dengan bangsa Yahudi, lebih khusus Israel. Secara terang-terangan, Bung Karno mendukung perjuangan bangsa-bangsa di Asia-Afrika dan Timur Tengah melawan penjajahan atau imperialisme AS dan Yahudi.
ADVERTISEMENT
“Imperialisme tidak akan pernah mati, hanya bajunya saja yang berubah. Namun bagi Morgenthau, seorang keturunan Yahudi Israel, istilah imperialisme diganti dengan sebuah negara yang memiliki kepentingan nasional,” kata Bung Karno.
Meski begitu, keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia atau di negara lain secara umum sama sekali tidak ada hubungannya dengan imperialisme. Bagi Yaakov, komunitas Yahudi Indonesia hanya ingin fokus beribadah saja, tak ingin disangkut-pautkan dengan politik pendirian negara Israel.
“Banyak kalangan religius Yahudi menentang pendirian negara Israel karena konsep negara itu tidak ada di dalam Taurat,” terangnya. “Jadi banyak rabi-rabi ortodoks di Amerika, di Israel di mana (pun) menentang ini.”
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga pernah memberikan pernyataannya soal kaum Yahudi. Mereka tetap dilindungi keberadaannya.
ADVERTISEMENT
"Keberadaan agama Yahudi di Indonesia itu bukan karena diresmikan pemerintah, tapi memang dilindungi undang-undang bahkan sejak 1965,” kata Lukman di Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Simak story lain tentang komunitas Yahudi di topik Kisah Yahudi Manado.