news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengapa ISIS Bisa Melakukan Serangan Mematikan di Mesir?

28 November 2017 14:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Rawda pasca serangan bom di Mesir (Foto: Reuters/Mohamed Soliman)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Rawda pasca serangan bom di Mesir (Foto: Reuters/Mohamed Soliman)
ADVERTISEMENT
“Jika masjid saja sudah menjadi target, lalu di mana kami akan merasa aman?”
ADVERTISEMENT
Petikan kalimat itu diungkapkan oleh Mohammed Abdel Salam (22) dalam sebuah wawancara dengan New York Times. Abdel Salam ialah salah satu korban selamat dalam serangan yang diduga kuat dilakukan oleh ISIS di Sinai Utara, Jumat (24/11) lalu.
Kalimat dari mulut Abdel Salam itu mengisyaratkan satu hal: masjid adalah satu-satunya tempat yang aman di Sinai Utara.
Kegamangan serupa juga dialami oleh Mohammed Ali. Dalam serangan teroris yang sama, 18 orang anggota keluarga besarnya terbunuh secara mengenaskan. Ia mempertanyakan kemampuan pasukan bersenjata yang membiarkan serangan seperti ini terjadi.
“Di mana tentara Mesir? Mereka hanya beberapa kilometer dari sini. Ini pertanyaan yang tidak bisa kami temukan jawabannya.”
Para korban itu risau dengan keadaan yang tengah berlangsung di Sinai Utara. New York Times menyebut, kini para penduduk lokal tengah terjepit keadaan yang sungguh memprihatinkan: berada di tengah kepungan militer Mesir yang tak punya hati dan harus menghadapi barbarisme militan ISIS di saat yang sama.
ADVERTISEMENT
Tidak cuma para korban yang risau. Israel, negara yang berbatasan langsung dengan Semenanjung Sinai di sebelah timur itu pun terkesiap melihat bagaimana ISIS dapat secara leluasa melakukan serangan yang begitu mematikan di halaman belakang mereka.
Kekagetan lain terhadap besarnya serangan ini juga muncul apabila melihat tren negatif sepak terjang ISIS di berbagai negara. Bagaimana, di tengah kemundurannya di bebagai front pertempuran, ISIS di Mesir justru mampu melakukan serangan mematikan, sekaligus mempermalukan militer Mesir yang sebenarnya adalah salah satu yang terkuat di Timur Tengah?
Korban tewas teror penembakan di Mesir. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Korban tewas teror penembakan di Mesir. (Foto: AFP)
Tren Kemunduran ISIS
ISIS, tidak dapat dipungkiri, sedang mengalami kemunduran. Terebutnya kota Mosul di Irak, dan yang terakhir ibu kota politik mereka di Suriah, Raqqa, telah memberikan pukulan hebat kepada kelompok ini.
ADVERTISEMENT
Tanda-tanda kemundurannya terlihat ketika pasukan Irak bersama-sama dengan milisi Kurdi dan Syiah berhasil merebut Mosul pada 10 Juli 2017. Mosul berhasil direbut dengan susah payah melalui pertempuran selama 266 hari --dua bulan lebih lama dari pertempuran Stalingrad.
Jatuhnya Mosul memberi pukulan berat bagi ISIS di berbagai sisi. Yang paling utama adalah dampaknya terhadap sumber ekonomi ISIS. Mosul memang dikenal sebagai pusat ekonomi dari ISIS.
Dengan penduduk mencapai 2,5 juta jiwa, Mosul telah menyediakan sumber pendapatan berupa pajak dan tenaga kerja paksa bagi ISIS. Meski telah dilanda gelombang eksodus yang menyebabkan jumlah penduduk menyusut menjadi sekitar 1 juta jiwa, Mosul tetap menjadi kota dengan populasi terbesar yang dikuasai ISIS.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya melalui pajak, ISIS juga mengeruk pendapatan dengan menjual minyak mentah yang ditambang di sekitar wilayah Mosul untuk dijual ke pasar gelap.
Selain menjadi lumbung pendapatan, Mosul juga mempunyai nilai simbolik yang besar bagi ISIS. Di kota itu, pada 2014, Abu Bakar Al-Baghdadi untuk pertama kalinya mendeklarasikan terbentuknya kekhalifahan Islam
Jatuhnya Mosul jelas memberikan pukulan telak kepada ISIS. Tiga bulan pasca kekalahan tersebut, ibu kota politik mereka di Raqqa, Suriah ganti direbut oleh koalisi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) lewat pertempuran yang berlangsung selama kurang lebih 4 bulan.
Dengan jatuhnya dua kota tersebut, secara simbolik kekhalifahan Islam yang dideklarasikan ISIS tiga tahun silam telah runtuh. Namun seperti yang pernah diungkapkan oleh salah seorang juru bicara mereka, Abu Mohammed Al Adnani, kekalahan ISIS di Mosul ataupun Raqqa bukanlah kiamat bagi organisasi ini.
ADVERTISEMENT
Pada faktanya ISIS masih mempunyai jaringan di 32 negara di seluruh dunia. Sejarah telah membuktikan, dalam menghadapi organisasi teroris yang berbasis pada ideologi macam Al-Qaeda atau Taliban, senjata semata tak akan pernah cukup.
Haider al-Abadi menyatakan Mosul bebas ISIS (Foto: REUTERS/Stringe)
zoom-in-whitePerbesar
Haider al-Abadi menyatakan Mosul bebas ISIS (Foto: REUTERS/Stringe)
Sinai Utara Menjadi Sarang Teroris
Ketika ISIS mengalami berbagai kemunduran dalam pertempuran mereka di Timur Tengah, cabang mereka di Sinai Utara justru baru saja menorehkan sejarah. Mereka berhasil melakukan serangan teroris paling mematikan dalam sejarah modern Mesir, dengan korban tewas mencapai 305 orang.
Masalahnya, sebelum serangan tersebut terjadi, masjid masih menjadi tempat paling aman di Sinai Utara. Namun, setelah masjid Al Rawdah juga menjadi target serangan, jaminan keamanan itu hilang sudah. Tak berlebihan rasanya untuk menasbihkan kawasan Sinai Utara sebagai kawasan paling mematikan di Mesir.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, pada Oktober 2016 silam, di kawasan ini pula terjadi peristiwa ditembaknya pesawat metrojet milik maskapai asal Rusia. Seluruh penumpang dan kru pesawat (berjumlah 225 orang) tewas dalam serangan itu.
Jumlah tersebut luar biasa besar. Selama tahun 2017 saja, hanya peristiwa bom bunuh diri di Mogadishu, Somalia yang punya catatan korban lebih banyak. Secara umum, rangkaian serangan ISIS sejak tahun 2013 telah menewaskan 1.000 aparat keamanan Mesir.
Satu hal yang perlu dicermati, kawasan ini tidak hanya dikuasai oleh ISIS. Terdapat berbagai kelompok teroris, mulai dari jaringan Al-Qaeda (Jund Al-Islam), hingga milisi lokal Bedouin yang kecewa atas perlakuan pemerintah Mesir terhadap mereka. Kawasan Sinai, yang sebelumnya masyhur dengan pantai yang menjadi pusat pariwisata, justru berubah menjadi ladang semai kelompok teror.
Masjid Rawda pasca serangan bom di Mesir (Foto: STR / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Rawda pasca serangan bom di Mesir (Foto: STR / AFP)
Apa yang terjadi di Sinai Utara boleh jadi merupakan buah simalakama atas apa yang telah dilakukan pemerintah Mesir yang berpusat di Kairo.
ADVERTISEMENT
Selama lebih dari satu dekade, suku Bedouin yang menjadi masyarakat lokal Sinai hidup dengan penuh keterbatasan. Mereka kesulitan memperoleh akses pendidikan, layanan sosial, dan pekerjaan. Tidak heran kalau selama ini mereka lebih sering terlibat dalaam kegiatan penyelundupan manusia atau barang-barang ke wilayah Gaza, Palestina.
Bahkan, masyarakat Sinai Utara hampir tidak memiliki kedekatan kultural, suatu hal esensial dalam pembentukan nasionalisme, dengan penduduk yang berada di Kairo. Mereka memanggil masyarakat Mesir yang berada di Kairo sebagai “orang-orang lembah”, seolah-olah terpisah sepenuhnya dari mereka yang hanya berjarak 270 kilometer di sebelah timur.
Sikap Pemerintah Mesir yang selalu memandang Bedouin dengan penuh curiga pun tak membantu. Bagi mereka, para Bedouin di Sinai Utara itu tampak lebih setia kepada Israel ketimbang pada Mesir.
ADVERTISEMENT
Yang lebih buruk, selama lebih dari satu dekade terakhir, kawasan Sinai Utara telah dijadikan kawasan operasi militer. Dalam banyak operasi itu, warga sipil lokal tak jarang turut menjadi korban.
Maka, tak ada yang aneh ketika seorang perempuan tua Bedouin yang tak mau disebutkan namanya berkata bahwa ISIS dan Militer Mesir sebenarnya sama buruknya.
“Militer akan terus memenjara dan membunuhi pemuda-pemuda lokal. Sementara teroris-teroris yang membenci kami dan orang-orang Kristen akan terus menggunakan ini (pembunuhan oleh militer itu) sebagai alasan untuk membunuh kami. Tidak ada gunanya lagi untuk berbicara,” ucapnya seperti dikutip dari The New York Times.
Kombinasi antara rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk dan opresi militer telah membentuk Sinai Utara sebagai kawasan subur bagi perkembangan terorisme.
ADVERTISEMENT
Seorang pakar politik Mesir yang pernah bertugas di Dewan Keamanan Nasional AS, Andrew Miller, menyatakan, “Orang-orang Mesir telah salah kaprah kalau ISIS bukan sekadar ancaman terorisme. Membunuhi para teroris tidak akan cukup. Mereka perlu memutus dukungan warga lokal terhadap ISIS yang berakar dari sejarah pengabaian mereka oleh Kairo.”
Perang Melawan ISIS di Mosul. (Foto: REUTERS/Ahmed Saad)
zoom-in-whitePerbesar
Perang Melawan ISIS di Mosul. (Foto: REUTERS/Ahmed Saad)
Kegagalan Strategi Kontra-Terorisme Mesir
Karena serangan besar di Masjid Al Rawdah tersebut, Presiden Mesir, Jenderal Abdul Fatah El Sisi kebakaran jenggot. Dalam pidatonya, ia bersumpah akan membalaskan kematian para martir-martir yang tewas oleh serangan itu dengan serangan militer balasan tanpa ampun.
El Sisi tentu saja merasa kecolongan oleh serangan itu. Dalam beberapa tahun terakhir, militer Mesir telah mengadakan pembelian persenjataan yang cukup besar: kapal selam dari Jerman, helikopter tempur Rusia, kapal induk Prancis, dan sebuah satelit militer. Tapi tetap saja, aktivitas teroris di kawasan Sinai Utara belum bisa diredam.
ADVERTISEMENT
Fakta ini tentu membuat banyak pihak geram. Mesir, tidak seperti Irak atau Suriah, adalah negara di Timur-Tengah yang mempunyai sumber daya militer yang kuat. Negeri ini juga dikuasai oleh rezim militer bertangan besi. Serangan ISIS jelas menampar muka rezim El Sisi.
Israel sebagai negara tetangga mengklaim bahwa mereka telah membantu militer Mesir dengan berbagai data intelijen. Mereka mengizinkan pesawat-pesawat tempur Mesir untuk beroperasi di atas kawasan Semenanjung Sinai (kawasan yang berdasarkan Perjanjian Camp David harus bebas dari aktivitas militer).
Selama beberapa tahun terkahir pun, militer Mesir telah mengadakan operasi pembersihan teroris di wilayah itu. Namun mereka masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin teroris ISIS (yang jumlahnya kurang dari 1.000 orang) bisa sedemikian mudahnya melakukan serangan di Masjid Al-Rawdah?
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat juga frustasi dan heran dengan serangan ini. Dalam berbagai kesempatan, Washington menilai strategi Sisi serta orang-orangnya di militer Mesir sangat ceroboh dan mudah ditebak. Menurut mereka, dalam perang melawan kelompok teroris yang bergerilya, aksi-aksi yang lebih cepat sangat diperlukan, dengan mengombinasikan ketepatan data-data intelijen dan operasi pasukan komando.
Media Israel, Haaretz, menganggap militer Mesir masih sangat inkompeten dalam menerapkan strategi semacam ini. Oleh sebab itu, seorang pejabat militer AS menyarankan kepada Jenderal El Sisi untuk mengalokasikan anggaran militer mereka (termasuk bantuan dari AS) sebesar US$1,3 miliar untuk meningkatkan kemampuan intelijen pasukan Mesir. Namun, menghadapi berbagai desakan ini, El-Sisi justru bergeming.
Sejak Sinai Utara dideklarasikan sebagai kawasan darurat militer pada tahun 2014, pendekatan yang cenderung dikedepankan dalam strategi kontra-terorisme di kawasan Sinai Utara adalah dengan pendekatan represif. Militer Mesir tidak segan-segan menangkap, memenjarakan, menyiksa, hingga mengeksekusi penduduk lokal di kawasan itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam beberapa kali operasi militer --seperti dalam operasi Sinai pada 2012-- militer juga melakukan pengeboman ke pemukiman-pemukiman penduduk. Itu kerap kali membunuh masyarakat tak bersalah, tak jarang memakan satu keluarga sekaligus sebagai korban. Alih-alih meredam gerakan terorisme, pendekatan strategi ini justru semakin menguatkan kebencian warga lokal terhadap Kairo.
Dengan kondisi demikian, apakah munculnya serangan besar oleh ISIS adalah sebuah hal yang mengherankan? Apa kita tak ingat dengan yang dikatakan Howard Zinn, sejarawan dan aktivis AS, bahwa “Bagaimana kita bisa memenangkan perang melawan terorisme, kalau perang itu sendiri adalah terorisme?”
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!