Mengapa Rusia Gencar Menghancurkan AS Melalui Internet?

27 September 2018 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pejabat GEC, Jonathan Henick (kiri) dan Gene Fishel (kanan) (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pejabat GEC, Jonathan Henick (kiri) dan Gene Fishel (kanan) (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah Rusia disebut kian gencar menghancurkan reputasi Amerika Serikat di mata internasional dan rakyatnya melalui situs internet dan media sosial penyebar hoaks. Serangan siber paling gencar dari Rusia adalah pada 2016, ketika AS menggelar pemilu.
ADVERTISEMENT
Rusia dituduh melakukan peretasan terhadap email pribadi Hillary Clinton yang membuat reputasi calon presiden Partai Demokrat itu ambruk. Tidak hanya sampai di situ, Rusia juga disebut bergerak di media sosial dan internet untuk mempengaruhi publik AS soal Clinton, berujung pada kemenangan Donald Trump pada pemilu presiden.
Lantas, mengapa tindakan ini dilakukan Rusia?
Menurut Gene Fishel, Biro Urusan Afrika dan Eurasia di Kementerian Luar Negeri AS, kampanye penyebaran propaganda dan disinformasi dilakukan Rusia untuk memicu "kebingungan, menipu, menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah, dan pengalihan isu".
Fishel, berbicara di forum diskusi Foreign Press Center (FPC) yang dihadiri jurnalis dari berbagai negara termasuk kumparan di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (26/9), mengatakan cara ini digunakan Rusia untuk melemahkan AS demi mempertahankan rezim.
ADVERTISEMENT
"Dasar dari narasinya adalah keberlangsungan rezim. Mereka ingin menunjukkan peran besar mereka di dunia, dan membuat masyarakat mempertanyakan nilai-nilai Barat," kata Fishel dalam rangkaian diskusi FPC bertajuk "Literasi Media dan Melawan Disinformasi".
Forum FPC di Washington DC, Amerika Serikat (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Forum FPC di Washington DC, Amerika Serikat (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
Pemerintah Rusia telah membantah seluruh tuduhan soal intervensi pada pemilu dan menyebarkan hoaks. Namun dalam berbagai penyelidikan AS yang masih berlangsung hingga saat ini, Rusia diduga kuat melakukan upaya menjatuhkan citra pemerintah AS.
Menurut Jonathan Henick, Plt Wakil Koordinator Global Engagement Center (GEC), badan di Kementerian Luar Negeri AS untuk melawan disinformasi dan propaganda terorisme, upaya memperkuat diri di kancah global dan melemahkan negara lain demi kepentingan dalam negeri memang merupakan praktik banyak negara, tidak hanya Rusia.
ADVERTISEMENT
Namun, kata Henick, hal itu tidak dilakukan dengan menyebarkan berita bohong dan propaganda. "Setiap negara punya peran itu. Tapi bedakan antara misinformasi dengan disinformasi," ujar Henick.
Misinformasi adalah berita bohong atau palsu yang disebarkan tidak sengaja oleh seseorang, biasanya karena ketidaktahuan. Sedangkan disinformasi menurut Henick, adalah "sengaja menyebar berita bohong untuk menipu".
"Ini dilakukan ketika mereka (Rusia) menyebarkan berita palsu soal NATO dan Uni Eropa," lanjut Henick lagi.
Sebelumnya tahun lalu NATO mengatakan Rusia meningkatkan kampanye disinformasi setelah pencaplokan Crimea dari Ukraina. Menurut juru bicara NATO ketika itu, media-media pemerintah Rusia seperti Sputnik dan RT telah membantu pemerintahnya menyebarkan berita palsu.
Berbicara soal media Rusia, seorang peserta forum FPC mengungkapkan unek-uneknya soal harga berlangganan video berita yang terlalu mahal yang dijual oleh kantor-kantor berita arusutama. Berbeda dengan harga berlangganan video dari sebuah situs berita Rusia yang jauh lebih murah.
ADVERTISEMENT
Menurut Fishel, media-media di Rusia memang digunakan sebagai alat propaganda rezim Putin sehingga harga tidak terlalu penting bagi mereka. Untuk itulah, kata dia, sangat mendesak di masa sekarang ini bagi masyarakat untuk memahami soal literasi media.
Literasi media adalah cara menganalisa sebuah info dari media dan menentukan apakah info itu palsu, asli, atau bias dan terdapat maksud buruk di baliknya.
"Salah satu cara mengidentifikasinya (media propaganda rezim) adalah mengetahui siapa mereka, siapa yang mereka wakili," kata Fishel.