Mengarungi Sungai Menuju Asmat
ADVERTISEMENT
Suara mesin long boat memantul dari pepohonan dan hutan mangrove saat mengiringi perjalanan menuju distrik-distrik di pedalaman Kabupaten Asmat, Papua. Sungai yang berkelok nan panjang dengan anak-anak sungainya menjadi jalur penghubung utama untuk menembus Asmat.
ADVERTISEMENT
Dikepung hutan tropis dan rawa-rawa, diselimuti rasa waswas akan buaya, menjadi salah satu tantangan bagi orang non-Papua untuk berkunjung ke sana. Sementara bagi masyarakat setempat, sungai adalah kehidupan dan halaman rumah--bagian yang tak terpisahkan dari keseharian mereka.
Hutan bakau, sagu, dan kayu besi menjadi salah satu contoh sumber yang menghidupi warga Asmat. Menurut Rene Wassing dalam bukunya Asmat Art, sungai merupakan jantung transportasi bagi warga Asmat.
Kondisi geografis yang didominasi oleh rawa-rawa membuat kampung-kampung yang berdiri seolah melayang. Jalan-jalan dari papan yang menjembatani area perkampungan dibangun dengan beton komposit. Bangunan yang didirikan berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Semua seolah serba “melayang” alias tak melekat di tanah.
ADVERTISEMENT
Medan yang terjal dan sulit ditempuh menjadi salah satu alasan sulitnya akses akan kesehatan di sana. Januari 2018, tragedi campak dan gizi buruk mendera warga Asmat. Setidaknya, tercatat 651 anak mengidap campak, 228 anak menderita gizi buruk, dan 72 di antaranya meninggal di dunia.
Di kabupaten seluas 31.984 kilometer persegi itu terdapat 23 distrik. Namun, hanya 16 distrik yang memiliki puskesmas. Sementara rumah sakit hanya satu, di ibu kota Asmat, Agats--yang memerlukan waktu tempuh 2-12 jam dari distrik-distrik lain.
Hidup di atas rawa-rawa dan tanah berlumpur dianggap menjadi penyebab mewabahnya penyakit di sana. Namun, pernyataan ini tentu saja dengan mudah dibantah karena sungai dan rawa sejak dulu akrab melekat dalam kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
“Itu sesat pikir, ketika terjadi wabah seperti itu yang disalahkan adalah cara hidup masyarakat atau pola makannya,” ujar Laksmi A. Savitri, antropolog UGM, kepada kumparan, Kamis (15/2). Lebih jauh ia menjelaskan, “Mereka itu sakit karena lingkungan di sekitar mereka berubah.”
Di balik kelok sungai itu, tersimpan asa masyarakat Asmat untuk bisa lepas dari jerat segala wabah dan persoalan sosial yang melingkupinya.
------------------------
Ikuti isu mendalam dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.