news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menghapus Stigma, Membangun Papua

22 Februari 2018 17:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Wabah campak dan gizi buruk kembali mendera anak-anak Papua. Kali ini, anak-anak di Kabupaten Asmat yang terpaksa mengalami derita itu. Ketika ditetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atas tragedi kesehatan di sana, tercatat 651 anak terkena campak, 228 jiwa mengalami gizi buruk, dan 72 di antaranya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Asmat bukanlah daerah pertama di Papua yang tersiksa oleh wabah penyakit. Sejak 2005, setidaknya tercatat sembilan krisis kesehatan dialami masyarakat Papua. Mulai dari gizi buruk hingga berbagai wabah penyakit telah menelan korban, sedikitnya 595 jiwa.
Duka di Asmat boleh dibilang hanya gejala atau puncak gunung es dari masalah yang lebih besar dan kompleks: logika pembangunan yang bermasalah. Tragedi yang terjadi, sekali lagi, adalah penyingkapan tentang persoalan pelik pembangunan di Papua.
Krisis kesehatan di Papua (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Laksmi A. Savitri, antropolog Universitas Gadjah Mada, berbincang dengan kumparan, Kamis (15/2), tentang bagaimana pendekatan pembangunan seharusnya diperhatikan di Papua.
Penulis buku “Korporasi dan Politik Perampasan Tanah”--tentang perampasan tanah masyarakat adat di Merauke oleh proyek pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)--ini menegaskan perlu dihapuskannya stigma negatif terhadap masyarakat Papua.
Laksmi A. Savitri, Antropolog UGM. (Foto: Dok. antropologi.fib.ugm.ac.id)
Cara hidup masyarakat Asmat kerap disalahkan sebagai penyebab wabah campak dan gizi buruk di sana. Bagaimana menurut Anda?
ADVERTISEMENT
Menurut saya, itu sesat pikir ketika terjadi wabah seperti itu yang disalahkan adalah cara hidup masyarakat atau pola makannya. Karena dari dulu sampai sekarang, kalau orang Papua itu tidak diperkenalkan dengan beras, mereka akan makan dengan bahan pangan yang ada di sekitarnya seperti sagu, ikan, kangguru, dan sebagainya.
Makanan-makanan itu, kalau diperbandingkan gizinya dengan makanan orang Jawa yang tinggal di pedesaan--yang barangkali cuma makan nasi sekali sehari atau sekali dua hari ditambah tempe dengan sayur. Maka protein yang mereka dapatkan dari makanan-makanan itu, barangkali tidak sebanding dengan diet masyarakat Papua yang makan ikan, kangguru, babi, rusa, atau yang paling jelek tikus tanah--yang rasanya itu seperti rasa ayam.
ADVERTISEMENT
Saya menduga--saya belum pernah ke Asmat--tapi apa yang saya saksikan sendiri di Merauke, mereka itu sakit karena lingkungan di sekitar mereka berubah. Saya tidak tahu di Asmat itu ada berapa konsesi perkebunan, Hak Pengelolaan Hutan atau Hak Tumbuhan Industri yang sudah beroperasi, atau pembangunan infrastruktur dan pembangunan lanskap yang berubah secara drastis dalam waktu pendek atau panjang.
Karena sesuai dengan pengalaman penelitian saya di Merauke misalnya, hanya dalam jangka waktu tiga tahun saja--dan selama tiga tahun itu saya bolak-balik dan tinggal selama tiga minggu sampai satu bulan di wilayah Merauke--saya menyaksikan sendiri orang yang memiliki penyakit entah itu Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Tuberkulosis, atau HIV/Aids, penyakit yang sebelumnya tidak pernah ada di wilayah itu. Bahkan malnutrisi juga baru muncul setelah wilayah hutan mereka, khususnya di Kampung Zanegi yang menjadi konsesinya Medco itu, 3000 hektar hutan dibabat.
ADVERTISEMENT
Fenomena itu sangat umum terjadi di mana hutan itu dibabat atau lanskap itu berubah, wabah malaria muncul. Sebelumnya malaria menjadi bagian yang sangat akrab dari keseharian masyarakat, tapi kalau dia kemudian menjadi muncul tiba-tiba meluas dan mewabah, itu pasti bukan hanya persoalan kebiasaan orangnya yang berubah, tapi lingkungannya berubah, sehingga habitat binatang yang membawa virus atau bakteri itu menjadi kehilangan tempat.
Ibarat orang punya rumah terus digusur kan bingung, nah si nyamuk itu tadinya punya tempat di pohon, di semak, kemudian ketika rumahnya dibabat, mereka pasti akan merajalela kemana-mana. Jadi menurut saya, yang perlu dilihat itu sebetulnya perubahan lingkungan seperti apa yang sudah terjadi di wilayah Papua yang kemudian menyebabkan timbulnya berbagai macam wabah penyakit.
Sepenggal Episode Muram di Asmat (Foto: M Agung Rajasa/ANTARA)
Apakah perubahan pola konsumsi masyarakat Asmat, atau Papua umumnya, jamak terjadi dan menyebabkan munculnya berbagai persoalan di bidang kesehatan?
ADVERTISEMENT
Itu sangat umum sekali terjadi di Papua, di Merauke, Teminabuan, Sorong Selatan--tempat saya sedang meneliti--saya melihat perubahan pola konsumsi yang menyebabkan banyak persoalan.
Di Merauke, dalam kasus yang saya lihat, hutan yang dihabisi menyebabkan wilayah buruan masyarakat lokal berubah cakupannya menjadi sangat jauh. Selain itu, mereka juga mendapat kerja upahan yang memberikan mereka uang setiap hari atau setiap minggu. Itu menyebabkan mereka lebih suka membeli makanan ketimbang mencari makanan.
Padahal, makanan yang dibeli itu nilai gizinya tentu jauh lebih rendah dari makanan yang mereka dapatkan ketika mereka berburu atau mengambil sagu. Ulat sagu, misalnya, itu proteinnya sangat tinggi, bahkan buat orang seperti saya yang tidak biasa, makan satu saja bisa bikin bisulan atau alergi karena proteinnya sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Jadi sangat wajar kalau mereka mensubsitusi makanannya dengan makanan yang dibeli dan berubah sama sekali tingkat gizinya, misalnya dari sagu ke mi instan. Jangankan sagu, nasi ke mi instan aja sudah jauh beda, apalagi sagu. Fenomena itu memang terjadi di banyak tempat di Papua.
Sepenggal Episode Muram di Asmat (Foto: M Agung Rajasa/ANTARA)
Di tempat penelitian saya di Temilabuan, ada bayi berumur satu minggu yang dikasih minum kopi instan sampai diare, tiga hari kemudian meninggal. Mungkin kita orang yang setiap hari terpapar atau mengonsumsi makanan instan, itu rasanya tidak masuk akal, “Kok bisa sih masih bayi diberi minum kopi instan”.
Tapi, bayangkan kalau barang itu baru pertama kali kita minum dan kita rasakan enak. Sementara kalau harus menokok sagu, mengolahnya menjadi makanan, atau mencari ikan, itu bukan pekerjaan ringan. Itu akan makan waktu minimal setengah hari atau sampai satu hari.
ADVERTISEMENT
Pergi pagi, pulang jam tiga. Ketika pergi pagi pulang jam tiga, anak-anak mereka hanya diberi minum kopi. Dan mereka itu terbiasa menahan lapar sampai jam 3 sore. Ketika ibunya pulang, entah bawa ulat sagu, bawa sayur, bawa sagu, mereka baru makan. Entah sore atau malam hari.
Sepenggal Episode Muram di Asmat (Foto: M Agung Rajasa/ANTARA)
Apakah modernitas yang masuk seiring pembangunan di Papua selalu merusak?
Sebenarnya kan yang salah itu bukan modernitas, tapi proses perubahan yang tidak memberikan jalan agar orang Papua bisa terinformasikan, mengenal perubahan dengan baik, dan memiliki pengetahuan.
Bayangkan saja ada ibu yang memberi minum bayi berumur seminggu dengan kopi instan yang menyebabkan bayi itu sampai meninggal. Tidak mungkin kan kalau ibunya mengerti bahwa kopi instan itu bukan minuman bayi, minuman itu akan dikasih ke anaknya.
ADVERTISEMENT
Tapi tidak ada sama sekali informasi tentang fungsi dari kopi sachet itu. Yang si ibu tahu bahwa minuman itu rasannya enak, manis, dan itu memberikan rasa kenyang yang cukup lama. Dia pikir kan selama ini bayi tidak masalah kalau dikasih (makanan atau minuman) yang manis-manis.
Mungkin karena dia punya pisang atau buah-buahan di kebun, si ibu sudah mulai memberi makan bayinya dengan makanan itu sejak kecil kan. Kalau bayi-bayi di Papua sana itu sudah diberi asupan selain ASI sejak mereka kecil.
Yang saya maksud persoalannya bukan modernitasnya yang destruktif. Modernitas itu tidak terelakan. Ia pasti datang dengan membawa jaringan pasar, dan jaringan pasar itu pasti akan datang ke kampung yang paling pelosok sekalipun di Papua.
Jalan trans Papua dilihat dari ketinggian. (Foto: Kementerian PUPR)
Dengan banyaknya proyek-proyek yang masuk, entah itu proyek pemerintah, entah itu pembukaan lahan, atau mulai dari yang paling sederhana pembukaan jalan yang mempekerjakan masyarakat menggunakan dana kampung di Papua--yang lebih dari Rp 1 miliar untuk setiap kampung.
ADVERTISEMENT
Bahkan ada kecenderungan sebagian dari uang itu dibagi-bagikan. Jadi uang tunai sudah ada di tangan mereka. Lalu, sudah ada barang yang bisa dibeli dan uang yang mereka miliki itu pasti akan dibelanjakan, tapi tanpa pengetahuan dan pengalaman memadai tentang apa sebenarnya yang dimakan atau dikonsumsi.
Jadi, mereka itu sedang dibentuk menjadi konsumen bukan produsen. Kita memang tidak pernah dimudahkan untuk jadi produsen, tetapi selalu dimudahkan menjadi konsumen. Itu persoalannya menurut saya.
Di kampung, tempat saya meneliti saat ini, 4 jam dari ibu kota kabupaten menggunakan kapal long boat; tidak ada jalan darat. Di sana baru mendapat listrik baru bulan Januari yang lalu dan tentu tidak ada siaran televisi juga.
ADVERTISEMENT
Jadi, dari mana pengetahuan itu didapat? Dari mana mereka mendapat sumber informasi? Tidak ada. Mereka--orang-orang Papua di pedalaman--tidak teredukasi dengan benar tentang barang-barang yang mereka konsumsi. Itu persoalannya.
Menyusuri sungai di Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Apa tantangan terbesar dalam memberikan edukasi kepada masyarakat Papua?
Saya melihat bahwa ada persoalan stereotyping dan stigma yang tertingal di kepala orang-orang non-Papua: stigma yang menyatakan bahwa orang Papua itu terbelakang dan miskin. Dan itu membuat mereka selalu diperlakukan semena-mena.
Stigmatisasi telah menjadi sejarah panjang terhadap orang Papua. Akibat mereka dianggap primitif, mereka selalu dipandang dalam posisi yang tersubordinasi. Seolah-olah mereka itu tidak bisa membudidayakan sesuatu. Melihat kopi instan Good Day baru kemarin dan bahkan listrik baru masuk ke wilayah mereka dari bulan lalu.
ADVERTISEMENT
Kesan bahwa mereka itu terbelakang, primitif, miskin, itu seakan tidak bisa dihapus lagi. Dan itu mengakibatkan cara pelayanan yang seharusnya sama untuk siapa pun, menjadi dibeda-bedakan karena ada stigma itu.
Stigma yang melekat itu telah berubah menjadi stereotyping terhadap orang Papua. Dan stigmatisasi dan stereotyping itu terjadi dari mulai level negara, sampai ke tingkat pelayanan publik yang paling rendah.
Misalnya, saya melihat sendiri ada seorang bapak di tempat biasa saya tinggal di Papua, mengeluh tidak bisa buang air kecil, kemudian bapak itu dikasih apa? dikasih panadol (obat sakit kepala). Nah, kenapa dikasih panadol? sekadar untuk meredakan rasa sakit bapak itu karena dia tidak bisa buang air kecil.
ADVERTISEMENT
Padahal ada kemungkinan dia menderita batu ginjal atau infeksi saluran kencing. Itu (penyakit) sama sekali tidak diterangkan oleh si pemberi pelayanan kesehatan. Apa hubungannya panadol dengan penyakit si bapak itu. Dia hanya merasa nyaman sebentar, namun setelah itu sakit kambuh lagi. Bayangkan kalau itu terjadi kepada orang yang penyakitnya lebih parah.
Jadi obat yang ada di puskesmas dan pelayanan kesehatan diberikan tanpa diberi penjelasan. Karena ada anggapan bahwa mereka ini kalau dijelaskan sekalipun tidak akan mengerti, karena mereka tidak sekolah, berpendidikan rendah, dan seterusnya. Hal-hal semacam itu menjadi terakumulasi dan menyebabkan mereka tertutup dari jalur informasi.
Aksi Puan di Asmat (Foto: Dok.PMK)
Bagaimana soal anggaran pembangunan yang dianggap kurang di Papua?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya apa betul itu anggarannya kurang? Karena kalau dipikir, setiap desa di Papua itu mendapat dana Rp 1 miliar lebih per tahun, dan itu dari satu sumber dana: dana kampung saja.
Di sisi lain, juga ada dana otonomi khusus atau dana dari Bank Dunia. Papua, selama era otonomi khusus telah digelontor dana habis-habisan. Apa betul persoalannya itu karena kurangnya anggaran, atau jangan-jangan alokasi anggarannya yang tidak tepat, atau penggunaan anggarannya yang koruptif. Jadi banyak persoalan yang dikaitkan dengan anggaran.
Tentu sudah banyak penelitian yang mengungkap penyimpangan dana kampung tersebut. Namun kadang-kadang--seperti yang saya temukan sendiri di kampung tempat penelitian saya--persoalannya itu bukan karena sengaja dikorupsi oleh kepala kampung, tapi justru karena lagi-lagi informasi dan pendampingan atau pendidikan yang kurang tentang prosedur administrasi dan pelaporan.
ADVERTISEMENT
Di sini kan ada asumsi kalau prosedur dan administrasi pelaporan dana bisa dilakukan dengan format yang sama rata. Asumsinya, semua orang pasti akan mengerti tata cara seperti itu, mulai dari kampung di Jakarta sampai di pelosok Asmat sana. Itu tidak mungkin diasumsikan sama rata seperti itu.
Dalam proses pengambilan keputusan penggunaan anggaran, kepala kampung itu bisa jadi tidak sengaja mengorupsi, tapi justru karena dia tidak tahu. Misalnya, anggaran pembangunan rumah di kampung di Papua itu harus ditenderkan. Itu kan prosedur yang lucu, di kampung di Papua kok ditender. Itu bagaimana caranya?
Itu menurut saya tidak masuk akal. Jadi, si kepala kampung ini harus membandingkan proposal lebih dari satu tender pembangunan rumah di kampung misalnya. Itu proses edukasinya dari mana, untuk mengetahui bahwa dalam proses pembangunan rumah di kampung itu harus ada tiga alternatif pendanaan proyek rumah kampung. Kan dia tidak tahu.
Suasana di Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Dengan cara pandang yang disama-ratakan seperti itu, seakan-akan semua kepala kampung, dari Jakarta sampai Boven Digul misalnya, sudah sama-sama teredukasi tentang apa yang disebut prosedur administrasi dana kampung. Itu menurut saya sangat tidak adil. Jadi kepala kampung tidak serta merta bisa disalahkan korupsi.
ADVERTISEMENT
Tapi lagi-lagi itu kan stereotyping kalau kepala kampung di Papua pasti korupsi atau dana otonomi khusus cuma dipakai oleh bupati di daerah. Itu satu persoalan anggaran.
Tapi melampaui hal itu, kalau saya melihatnya ini persoalan stigma yang sudah mengakar terhadap masyarakat Papua. Justru, stigma dan stereotyping itu menyebabkan orang Papua selalu dipandang rendah dan tidak cukup diberi tahu saja. Itu yang menurut saya jadi penyakit.
Menurut saya, berapa pun uangnya, itu tidak akan pernah cukup, karena selalu akan salah digunakan selama proses edukasinya tidak jalan.
Gizi buruk di Papua (Foto: M. Agung Rajasa/Antara)
Apakah perubahan yang dibawa oleh pembangunan menurunkan daya hidup masyarakat Asmat, atau Papua pada umumnya?
Saya selalu melihat ini ada kaitannya dengan perubahan, dan bisa jadi perubahan itu sangat materiil. Artinya, dulu mereka biasa melakukan pengobatan sendiri dengan tanaman atau ramuan tertentu yang diambil dari hutan. Tapi apakah kondisi dulu--ketika mereka membangun pengetahuan tentang hal-hal itu--masih sama seperti sekarang? Apa tanaman obat masih ada di tempatnya?
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, lagi-lagi saya mempertanyakan bahwa, sebetulnya kita tidak bisa mengasumsikan perubahan lingkungan tidak terjadi di Asmat, sehingga perubahan sosial seakan-akan berjalan dengan sendirinya tanpa terjadi perubahan lingkungan.
Kalaupun di Asmat memang tidak ada pembukaan konsesi perkebunan sawit atau minyak, Asmat ini kan daerah rawa--yang dikelilingi sungai-sungai besar, yang hulunya berada di tempat lain dan ada hilirnya juga berada di tempat yang lain. Sebagai sebuah sistem hidrologi, secara ekologis kan hal-hal itu terkait satu sama lain.
Bukan berarti kalau di Merauke terjadi kebakaran hutan karena pembukaan sawit, tidak ada hubungannya dengan kawasan Daerah Aliran Sungai di Asmat misalnya. Saya bukan ahli ekologi, tetapi kalau pulau atau tanah Papua itu dilihat sebagai satu kesatuan ekosistem, masa sih ketika ada perubahan ekosistem di satu tempat tidak akan mengubah ekosistem di tempat lain? Itu kan tidak mungkin.
ADVERTISEMENT
Karena mereka berada dalam lanskap yang sama, satu pulau yang sama. Kita saja--yang berada di Indonesia--bisa merasakan dampak perubahan iklim sebesar 2 derajat celsius, apalagi kalau cuma satu tanah di Papua.
Sepenggal Episode Muram di Asmat (Foto: M Agung Rajasa/ANTARA)
Bagaimana pendekatan pembangunan alternatif yang sebaiknya diterapkan di Papua?
Pertama, pembangunan harus dimulai dengan penghormatan pada martabat rakyat Papua. Selama kita tidak memandang mereka sama dengan kita, mereka akan selalu dilihat sebagai objek, bukan subjek pembangunan.
Kalau pembangunan itu dimulai dengan pendekatan yang apresiatif, itu akan diawali dengan melihat kapasitas, kemampuan, keahlian, kecerdasan, dan intelektualitas macam apa yang sudah dimiliki oleh orang Papua. Dan itu yang seharusnya didorong, bukan kemudian dipaksakan untuk mencerdaskan orang Papua ala modernisasi Barat. Karena itu tidak akan nyambung. Cara berfikirnya saja sudah berbeda.
ADVERTISEMENT
Jadi menurut saya kalau memang ingin membuat orang Papua cerdas, harus berangkat dari memahami dulu kecerdasan orang Papua. Bagaimana sih mereka berbahasa, dan nalar seperti apa yang mereka miliki. Itu menjadi penting: pendekatan berbasis kebudayaan.
Dan pendekatan kebudayaan itu tidak bisa diawali dengan cara berfikir modernis, karena cara berfikir modernis itu sangat berwatak orientalis dan merendahkan. Menganggap bahwa semua kebudayaan itu harus berkiblat ke Barat, karena itulah peradaban yang paling maju dan yang paling harus diacu.
Anak-anak SD di Papua mencintai Indonesia (Foto: Polres Pegunungan Bintang)
Proses perubahan kebudayaan itu berbeda-beda di setiap tempat, karena setiap kebudayaan itu membentuk karakter dan watak masyarakat di dalamnya. Entah itu terkait dengan alamnya, entah itu terkait dengan struktur sosialnya, terkait dengan cara bahasanya dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau tidak ada pemahaman atau pendekatan pembangunan melalui kebudayaan, ya percuma. Apapun yang akan dibangun di Papua akan sia-sia begitu saja, karena selalu dipandang orang Papua itu bodoh, miskin, dan terbelakang.
Pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan sudah harus menjadi keharusan. Kalau mau membangun Papua, (harus) bersama masyarakat Papua. Jadi tidak bisa lagi menggunakan pendekatan yang melulu bercorak ekonomistik. Apalagi pendekatan yang semata-mata politis. Itu hanya mereproduksi stigma dan memarjinalisasi orang Papua.
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.