news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengkritisi RUU KUHP soal Pidana Penghinaan Terhadap Presiden

1 Februari 2018 12:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang paripurna DPR. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang paripurna DPR. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Desakan agar RUU KUHP tak disahkan menguat. Ada banyak pasal dikritisi dalam rancangan UU-nya. Salah satunya soal pidana penghinaan kepada presiden.
ADVERTISEMENT
"Diaturnya kembali pasal inkonstitusional, seperti pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting dalam keterangannya, Kamis (1/2).
Miko lalu membeberkan salah satu pasal soal penghinaan kepada presiden dalam RKUHP di pasal 264 yang berbunyi:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
"Pasal yang bermuatan sama telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Ketidakkonsistenan dalam penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP dengan putusan MK ini merupakan indikasi berikut bahwa RKUHP memiliki permasalahan mendasar," beber dia.
ADVERTISEMENT
Menurut Miko, RKUHP masih mempertahankan pasal yang pernah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku untuk umum (erga omnes).
"Diaturnya kembali pasal inkonstitusional, seperti pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia," tegas dia lagi.
Miko menambahkan, dari Rancangan KUHP yang ada hingga saat ini, terlihat bahwa misi untuk melakukan setidaknya demokratisasi hukum pidana belum tercapai. Ancaman pidana penjara masih cukup tinggi dan dikedepankan.
"Meskipun terdapat beberapa jenis pemidanaan baru seperti pidana kerja sosial, ternyata tidak berbanding lurus dengan paradigma pemenjaraan yang masih kental dalam Rancangan KUHP. Karena itu PSHK meminta pemerintah dan DPR Menunda pengesahan RKUHP dan membuka kepada publik semua dokumen serta proses perumusan RKUHP agar dapat dicermati dan dikawal lebih lanjut," tutup dia.
ADVERTISEMENT