Menjadi Ateis di Republik Islam

12 Desember 2017 8:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan di Pakistan. (Foto: Unsplash/Hussain Ibrahim)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan di Pakistan. (Foto: Unsplash/Hussain Ibrahim)
ADVERTISEMENT
Memilih tak beragama di negara bertitel “Republik Islam”.
Ini adalah tindakan nekat dan kurang ajar bagi mayoritas, sehingga hidup sudah pasti sulit bagi si “degil”. Dan itulah yang terjadi pada sekelompok ateis di Republik Islam Pakistan, barat daya India.
ADVERTISEMENT
Seperti Indonesia, Pakistan dihuni mayoritas muslim. Pakistan bahkan mengancam tindak penistaan agama dengan hukuman mati. Di negara semacam ini, berterus terang dengan identitas ateis--apapun alasannya--sama sekali bukan pilihan.
Pakistan, dalam data Global Index of Religiosity and Atheism 2012 yang dirilis Worldwide Independent Network-Gallup International, kerja sama lembaga survei independen dunia, menempati salah satu peringkat teratas sebagai negara dengan populasi paling religius di dunia.
Sebanyak 84 persen penduduk Pakistan pada 2012 merasa diri mereka religius, naik 6 persen dari survei serupa pada tahun 2005. Namun, segelintir orang Pakistan, tepatnya 2 persen dari total populasi, menyebut diri sebagai ateis. Dan jumlah tersebut naik tipis sebanyak 1 persen sejak 2005.
Survei Global Index of Religiosity and Atheism 2012 menunjukkan, terdapat 13 persen populasi ateis di dunia. Survei ini digelar pada November 2011-Januari 2012 di 57 negara di lima benua terhadap 51.927 responden, dengan sampel sekitar 1.000 orang untuk masing-masing negara.
ADVERTISEMENT
Responden diwawancara secara tatap muka (di 35 negara), via telepon (di 11 negara), dan secara online (di 11 negara). Margin eror pada survei ini 3-5 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Satu di antara 2 persen ateis di Pakistan itu ialah Omar. Ia menolak mengimani keyakinan para leluhurnya, dan membentuk wadah bagi para ateis di negerinya yang bergerak secara online di jagat maya.
Mereka yang tergabung di dalamnya menyamarkan diri alias menggunakan identitas palsu. “Kami harus hati-hati. Harus memperhatikan betul dengan siapa kami berteman,” kata Omar seperti dikutip dari BBC (12/7).
Omar bercerita, seorang lelaki menghubunginya, mengatakan telah mengunjungi laman Facebook-nya, dan mencetak foto-foto dia bersama keluarganya yang diunggah di Facebook. “Anda tak bisa aman,” ujar Omar.
Ilustrasi Ateis (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ateis (Foto: Thinkstock)
Dalam artikel berjudul “Pakistan’s secret atheists”, BBC mengisahkan bagaimana minoritas ateis mencoba bertahan hidup di negara yang berbatasan dengan Afghanistan dan Iran itu.
ADVERTISEMENT
Di Pakistan, mengunggah segala sesuatu secara online tentang ateisme, bahkan dalam forum privat, bisa berdampak serius. Perbuatan itu, menurut undang-undang kejahatan siber yang belum terlalu lama disahkan, dapat dikategorikan menghujat Tuhan (blasphemous).
Gara-gara dakwaan mengunggah konten menghujat pula, Taimoor Raza, seorang ateis, dijatuhi hukuman mati. Menurut Shafiq Qureshi, jaksa penuntut umum di Bahawalpur, seperti dilansir Al Jazeera (12/6), Raza dituduh membuat komentar yang menghina Nabi Muhammad, istri, dan para sahabatnya.
“Pengadilan antiterorisme Bahawalpur memvonisnya mati. Ini adalah hukuman mati pertama (di Pakistan) dalam kasus yang melibatkan media sosial,” kata Qureshi kepada Reuters.
Komentar apa persisnya yang dibuat Raza, tak diungkap gamblang. Upaya menelusurinya pun amat sulit. Unggahan Raza itu diduga telah dihapus.
ADVERTISEMENT
BBC melaporkan, pengacara Raza mengatakan bahwa kliennya yang berusia 30 tahun itu terlibat perdebatan tentang Islam di jejaring sosial Facebook dengan seseorang yang ternyata merupakan aparat kontraterorisme negeri itu.
Raza disebut ditangkap setelah memutar pidato kebencian dan materi menghujat dari telepon selulernya di sebuah halte bus. Ponsel beserta handset-nya itu kemudian disita untuk dianalisis aparat penyidik.
Raza kini belum mati. Ia masih punya kesempatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Lahore dan--jika diperlukan--ke Mahkamah Agung Pakistan.
Twitter. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Twitter. (Foto: Pixabay)
Zahir, seorang ateis yang menggunakan media sosial untuk mengekspresikan pemikiran-pemikiran ateis dan mengomentari isu politik Pakistan, mengatakan, “Saya telah berganti empat akun Twitter dalam setahun. Akun yang terakhir baru saja diblokir. Tak peduli seberapa samar rincian profil saya, atau betapa umum foto yang saya pakai, seolah selalu ada yang mengawasi saya. Mereka ingin membungkam saya.”
ADVERTISEMENT
Zahir tentu nama samaran.
Tahun 2017 ini, enam orang dilaporkan diculik setelah mengunggah postingan pada forum-forum online pro-ateis dan antipemerintah. Salah seorang dari mereka yang diwawancara BBC namun tak mau disebutkan namanya, meyakini dinas intelijen Pakistan tak hanya hendak membungkam kritik atas Islam, tapi juga kritik terhadap negara.
Ia berpendapat, pemerintah Pakistan mencoba menanamkan gagasan bahwa warga negara yang baik haruslah juga seorang muslim yang baik.
Meski ateisme secara teknis tak ilegal di Pakistan, kemurtadan dianggap wajar dijatuhi hukuman mati. Maka, berbicara tentang ateisme atau mempertanyakan eksistensi Tuhan secara terbuka di depan umum, dapat mengancam jiwa.
Bendera Pakistan. (Foto: Pixabay/Uzairmaqbool.)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Pakistan. (Foto: Pixabay/Uzairmaqbool.)
Tahun ini Pakistan merayakan 70 tahun kemerdekaannya. Pakistan yang merdeka pada 1947, sejak 1956 memilih bentuk Republik Islam. Dan dalam beberapa tahun terakhir, keislaman makin kental di muka umum, melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Sampai ke gaya busana.
ADVERTISEMENT
Penggunaan busana ala Saudi, misalnya, makin didorong kuat. Hingga kini tumbuh semacam dogma: menjadi seorang Pakistan adalah menjadi muslim yang taat.
Masyarakat Pakistan. (Foto: Reuters/Faisal Mahmood)
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat Pakistan. (Foto: Reuters/Faisal Mahmood)
“Beberapa orang menyebutnya penangkapan, tapi itu penculikan. Saya ditahan selama 28 hari. Mereka (penangkap) tidak menyebutkan identitas diri, tapi saya yakin itu militer. Saya melalui 8 hari penyiksaan dan 20 hari pemulihan. Selama itu, seluruh tubuh saya hitam lebam (akibat disiksa).”
“Mereka membuat saya menandatangani pernyataan bahwa saya menyesali apa yang telah saya lakukan, bahwa saya tidak akan terlibat lagi dalam aktivitas menulis blog politik atau religius, dan bahwa keluarga saya bisa menjadi target jika saya berbicara dengan media tentang ini,” kata Hamza (juga nama samaran), seorang blogger dan salah satu pendiri forum ateis online di Pakistan.
ADVERTISEMENT
Sementara Suhaib, pemuda Pakistan yang belum lama ini lulus dari universitas di Punjab, menceritakan momen berbahaya yang pernah ia alami.
“Pada satu sore, seorang kenalan mendekati saya dan berkata, Saya ingin berdebat dengan anda. Saya dengar anda seorang ateis. Dia mengucapkan itu dengan ekspresi ketidakpercayaan. Dia ingin tahu dari mana saya memperoleh moral saya. Baginya, moralitas berasal dari agama, dan tanpa mengimani Tuhan, anda tak bisa diharapkan punya moral. Saya kemudian berkirim pesan tertulis kepada teman-teman saya, Berhenti memberi tahu orang-orang bahwa saya ateis. Saya belum mau mati.
Masjid di Pakistan. (Foto: Pixabay/Hswajid)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid di Pakistan. (Foto: Pixabay/Hswajid)
Bagi kaum ateis di Pakistan, diam memendam pertanyaan yang berkecamuk di benak adalah hal terbaik. Sekali bertanya tentang keberadaan Tuhan, nyawa bisa melayang entah bagaimana dan kapan.
ADVERTISEMENT
Zafer tahu persis hal itu, dan ia menyembunyikan identitas ateisnya dengan cukup lihai.
“Saya salat Jumat dan merayakan Idul Fitri seperti seremoni sosial. Keluarga saya tahu saya tak beriman, tapi mereka memberi ruang untuk diri saya--selama saya tidak berkoar-koar bahwa saya ateis,” kata Zafer yang dahulu muazin dan mahasiswa teologi Islam.
Saat pertama kali mendapati pergeseran keyakinan putranya, ibunda Zafer mengira anaknya itu telah dijampi-jampi. Zafer lantas diminumi air suci untuk merusak jampi yang ia terima. Namun Zafer tetap kafir.
Kompromi adalah kunci Zafer untuk selamat. Ah, dan Zafer tentu saja--lagi-lagi--nama samaran.
“Jika anda bersedia melakukan hal-hal tertentu--memiliki etiket, menghormati orang tua, dan bersikap pantas di depan umum, anda dapat lolos sebagai kafir,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perilaku Zafer sudah tentu disebut munafik--berpura-pura beriman kepada agama dan Tuhan, padahal sebetulnya dalam hati tidak.
Tapi dengan nyawa sebagai taruhan, adakah pilihan lain?
Memasuki Negara Pakistan. (Foto: PIXABAY/PublicDomainPictures)
zoom-in-whitePerbesar
Memasuki Negara Pakistan. (Foto: PIXABAY/PublicDomainPictures)
Kementerian Teknologi Informasi Pakistan mengatakan sosialisasi undang-undang kejahatan siber--yang menjadi pintu masuk hukuman mati bagi penista agama--adalah untuk “meningkatkan kesadaran” masyarakat.
Dua bulan sebelum Taimoor Raza dijatuhi vonis mati, Mashal Khan, seorang mahasiswa Abdul Wali Khan University Mardan, utara Pakistan, dipukuli sampai mati menyusul debat asrama tentang agama.
Investigasi atas kasus kematian Khan digelar, dan parlemen Pakistan membahas perlunya menambah “pengaman” pada pasal penistaan dalam undang-undang mereka.
Nyatanya, untukmu keyakinanmu dan untukku keyakinanku tak sesederhana itu. Persepsi dan penafsiran yang tak sama pada kepala-kepala manusia membuat penilaian objektif nyaris mustahil--dan bisa berujung pada penghakiman.
ADVERTISEMENT
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!