Menjadi Muslim di Tanah Eropa

17 Desember 2017 17:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Migran melewati perbatasan Austria di Hegyeshalom (Foto: REUTERS/Leonhard Foeger)
zoom-in-whitePerbesar
Migran melewati perbatasan Austria di Hegyeshalom (Foto: REUTERS/Leonhard Foeger)
ADVERTISEMENT
“Mimpiku adalah Suriah bisa kembali seperti dulu. Setelah itu, aku akan jadi salah satu orang pertama yang pulang (ke Suriah),” kata Mahmoud Bitar kepada BBC Trending, 17 Agustus 2015.
ADVERTISEMENT
Dia adalah salah satu imigran muslim dari Suriah yang terpaksa meninggalkan negaranya yang dilanda konflik. Meski begitu, Suriah tetap berada di hatinya.
“Tidak ada tempat lain seperti Suriah,” kata dia.
Mahmoud termasuk imigran yang beruntung. Setelah berjuang selama tiga tahun mencari suaka ke sana kemari, dia akhirnya mendapat kehidupan amat layak di Swedia.
“Aku datang ke Swedia karena orang-orangnya memperlakukan imigran dengan baik,” ujar Mahmoud. Pria yang juga seorang seleb Instagram dan YouTube ini mengatakan, dia diberi rumah dan pekerjaan oleh pemerintah Swedia.
Namun, meski sudah memperoleh kehidupan yang sangat sejahtera di Swedia, Mahmoud mengimbau imigran lain untuk tidak datang ke sana --atau setidaknya, pikirkan lebih dulu dengan matang. Sebab, hidup di Swedia tak semudah pikiran orang.
ADVERTISEMENT
Memang, pemerintah Swedia memberinya rumah dan uang sebagai modal untuk memulai hidup baru, namun betapapun, biaya dan standar hidup di sana relatif tinggi.
Hal itu Mahmoud singgung dalam salah satu video banyolan yang ia buat. Dalam sebuah adegan, Mahmoud tampak sedang memetik uang Euro di pohon.
“Wah, pohon Euro sudah siap dipanen! Akhirnya yang kutunggu-tunggu datang juga,” ucap Mahmoud dengan air muka semringah, dalam salah satu adegan di video, sambil memasukkan uang-uang itu ke dalam plastik.
Ia kembali berucap, “Apakah pohon Dolar juga sudah siap? Ternyata belum.”
Lewat videonya itu, Mahmoud bercerita bahwa dia harus berutang beberapa kali demi mencukupi kebutuhan hidup di Swedia.
“Aku akan lunasi ketika subsidi pemerintah sudah turun,” kata Mahmoud kepada teman yang sebetulnya keberatan dia utangi.
ADVERTISEMENT
Seorang travel blogger, Matt Kepnes, dalam tulisannya membenarkan biaya hidup di Swedia mahal. Menurutnya, tak ada yang bisa dilakukan selain berhemat.
Matt mengatakan, dalam 19 hari perjalanannya di Swedia, dia menghabiskan uang sebanyak hampir 1,892.83 dolar AS atau setara dengan Rp 25 juta.
Imigran Afrika (Foto: Giorgios Moutafis)
zoom-in-whitePerbesar
Imigran Afrika (Foto: Giorgios Moutafis)
Badan Statistik Swedia mencatat, negara kelahiran Zlatan Ibrahimovic itu merupakan negara yang paling banyak menerima imigran dari Suriah. Angkanya, pada 2014, mencapai 30.500 imigran. Ini sangat tinggi, semisal, apabila dibandingkan dengan Inggris yang menerima 24.000 imigran dalam rentang waktu lima tahun.
Penerimaan imigran oleh pemerintah Swedia tersebut senada dengan keterbukaan masyarakat Swedia. Mereka tidak memandang imigran sebagai masalah, dan siap menampung imigran selama negara mampu melakukannya.
Seorang warga asli Swedia bahkan mengatakan, rela membayar pajak lebih tinggi demi membantu para imigran.
ADVERTISEMENT
Tak semua imigran muslim seberuntung Mahmoud. Nasib imigran di negara lain di Eropa, utamanya Eropa Tengah, tak sebaik dia.
Banyak negara di Eropa tak mau menerima imigran muslim dan menganggap mereka sebagai ancaman. Diskriminasi terhadap para pendatang begitu nyata.
“Bukankah sudah cukup mengkhawatirkan ketika nuansa Kristiani di Eropa sudah tidak dapat mempertahankan kekristenan Eropa?” ujar Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban, dalam opininya di Frankfurter Allgemeine, 2 Oktober 2015.
Orban adalah salah satu pemimpin negara yang vokal menolak imigran muslim. Penolakan itu banyak terjadi di seluruh Eropa, meski Uni Eropa menekan sejumlah negara di Benua Biru untuk menerima imigran.
Salah satu negara yang paling keras menolak imigran muslim adalah Denmark. Dikutip dari Huffington Post, pemerintah Denmark bahkan menggelontorkan 30 ribu euro untuk mengiklankan kebijakan memperketat imigrasi ke negaranya, di sebuah koran nasional Lebanon.
ADVERTISEMENT
Poin yang digarisbawahi adalah keputusan pemerintah memotong subsidi kesejahteraan sosial sebesar 50 persen untuk pendatang baru. Proses masuk imigran pun cukup sulit, yang mewajibkan mereka untuk fasih berbahasa Denmark terlebih dahulu.
Pun begitu dengan Republik Ceko. Sebuah jurnal dari Goteborgs Universitet menuliskan bahwa 75 persen responden (1.028 orang) melihat imigran Timur Tengah sebagai ancaman bagi negaranya.
Mengutip Huffington Post, Presiden Republik Ceko, Milos Zeman, mengatakan bahwa imigran Timur Tengah bagaikan “tsunami yang akan membunuhnya”. Dia beranggapan gelombang imigran tersebut akan menghancurkan Eropa Timur karena mereka akan mengajak keluarganya.
Republik Ceko pernah menjadi sorotan sebelumnya. Ini terjadi ketika petugas kepolisian menandai 200 imigran yang datang dengan menuliskan nomor di badannya. Hal tersebut sama dengan praktik yang dilakukan Nazi kepada Yahudi saat Holocaust.
ADVERTISEMENT
Kejadian itu dikecam oleh Hana Frankova, ketua departemen hukum sebuah lembaga sosial setempat.
“Ini adalah pemandangan yang mengerikan,” katanya kepada BBC.
Di lain sisi, pihak kepolisian Republik Ceko mengklaim penandaan itu hanya untuk memudahkan identifikasi imigran. Mereka berdalih, para imigran tidak membawa dokumen apapun dan kebanyakan tidak dapat berbahasa Inggris.
Migran melewati perbatasan Kroasia dari Serbia (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)
zoom-in-whitePerbesar
Migran melewati perbatasan Kroasia dari Serbia (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)
Di tengah gelombang penolakan itu, bagaimana respons muslim di Eropa?
“Kepada 25 ribu Pendemo Anti-Islam,” tulis Rabah Kherbane di Huffington Post. “Aku dengar kalian melakukan demonstrasi terhadap agamaku. Pekan lalu dan bulan lalu, kalian melakukan demo terhadap imigran, pendatang, dan yang kulitnya lebih gelap daripada kalian,” lanjutnya.
Dalam tulisannya, dia menyajikan berbagai macam data untuk mematahkan tudingan anti-imigran muslim. Target khususnya adalah gerakan Pegida atau Patriotic Europeans against the Islamisation of the West.
ADVERTISEMENT
“Kalian mengklaim bahwa Jerman sedang diserbu oleh muslim. Namun hanya 5 persen orang Jerman yang muslim,” tulis Rabah kepada para pendemo. Rabah mengatakan, masalah yang para pendemo takutkan sebenarnya tidak ada.
Rabah menyayangkan para ekstremis yang mentah-mentah menelan informasi media provokatif sehingga perlakuan diskriminatif terhadap muslim di Eropa makin marak.
“Bertahun-tahun, kami harus berhadapan dengan pandangan merendahkan dan berbagai ancaman,” kata Taslima Amar, seorang guru di Pantin, Paris.
Marine Le Pen (Foto: Dok. Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Marine Le Pen (Foto: Dok. Wikimedia)
Prancis adalah salah satu negara yang memiliki gerakan anti-Islam cukup gencar. Gerakan ini semakin gencar setelah kehadiran Marine Le Pen sebagai salah satu calon presiden Prancis di 2017, yang menyerukan pengusiran Islam dan budayanya dari Prancis.
Karena tekanan semacam itu, sebagian muslim di Prancis --dan juga seluruh Eropa-- memutuskan untuk pindah ke negara yang lebih ramah terhadap Islam. Seperti Fatima Adam, muslim asal Prancis yang pindah ke London, Inggris.
ADVERTISEMENT
Mengutip The Guardian, dia meninggalkan Prancis 11 tahun lalu. Alasannya adalah semakin maraknya kasus rasisme dan islamofobia.
Dalam wawancaranya dengan The Guardian, dia mengatakan senang ketika melihat perempuan muslim bebas mengenakan kerudung di tempat publik. Itu berlawanan dengan seruan Le Pen yang ingin melarang pemakaian kerudung di Prancis.
“Aku merasa bebas menjadi muslim di sini. Ada fasilitas untuk beribadah di beberapa tempat kerja, dan aku dapat melakukan kegiatan keagamaan bersandingan dengan non-muslim,” katanya.
Hidup mesra bersanding. Apa yang lebih indah dari itu?
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!