Menjaga Hutan Leuser Demi Suku Mante

27 Maret 2017 11:22 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hutan Leuser yang berkabut. (Foto: Flickr)
Kemunculan Suku Mante yang terekam kamera pengendara motocross, menjadi bukti legenda masyarakat Aceh itu masih ada hingga saat ini. Tapi Suku Mante tak mungkin terlihat, jika kawasan hutan tempat mereka tinggal banyak dirambah.
ADVERTISEMENT
Mantan Kepala Badan Pengawasan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauzan Azima, mengatakan kawasan Leuser sekarang sudah menjadi lokasi perburuan hewan langka, terutama Burung Rangkong.
Hutan Leuser, Aceh (Foto: wikimedia commons)
"Memang perlu ada penelitian khusus tentang (Suku Mante) itu, tapi perlu ada proteksi wilayah hutan yang diperkiran mereka ada. Salah satu yang pasti ada di Leuser," ucap Fauzan Azima kepada kumparan (kumparan.com), Senin (27/3).
Menurutnya, Kawasan Ekosistem Leuser luasnya mencapai 2,3 juta hektare di Aceh dan sekitar 300 ribu hektare yang masuk wilayah Sumatera Utara. Di kawasan itu, banyak terdapat hutan datar yang jadi penyumbang emisi karbon terbesar.
Hutan Leuser, Aceh (Foto: Wikimedia Commons)
Diduga di kawasan itulah hidup Suku Mante dengan sumber makanan ikan mentah dan dedaunan kayu. Fauzan yang pernah melihat sosok Mante di kawasan Samar Kilang, Syah Utama, Kabupaten Bener Meriah itu, menyebut mereka hidup di gua-gua dan di balik air terjun.
ADVERTISEMENT
Sebagai mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pernah tinggal 5 tahun di Kawasan Ekosistem Gunung Leuser, Fauzan hapal betul kondisi hutan dan ekosistem di sana.
"Ada 4 mamalia besar di sana. Gajah, orangutan, badak dan harimau. Badak saya pikir tinggal 8 di kawasan ekosistem Leuser. Jadi ya memang sayang," kata Fauzan.
"Dulu kita punya peta koridor satwa di kawasan konservasi untuk menghindari perburuan. Jadi (setelah ditetapkan jadi kawasan konservasi) tidak ada pembukaan jalan, tidak ada perkebunan, tidak ada pertambangan," bebernya.
ADVERTISEMENT
Kabut tebal di hutan Leuser, Aceh. (Foto: Flickr)
Saat ini, yang diperlukan adalah pembatasan jelas wilayah hutan untuk wilayah konservasi. Tidak hanya di atas kertas, tapi fakta di lapangan memang dijaga. Misal tapal batas hutan lindung, dan lainnya. Namun dengan tetap memberdayakan masyarakat sekitar agar tetap bisa bertahan hidup.
"Memang betul-betul masyarakat di sana difasilitasi, jangan karena (larangan perambahan) itu masyarakat susah. Itu jalan keluar yang adil, tak ada ekspansi lahan dan masyarakat diberdayakan," tutup Fauzan yang kini jadi petani kopi itu.